OPINI: TEOLOGI EKONOMI
Hadi P. Sahardjo
Pendahuluan
R. W. Mackey,
II, Professor of
Business Administration dari Department of Business Administration,
Pepperdine University, dalam tulisannya
“Proposing A Biblical Approach to Economics” mengatakan bahwa studi tentang ekonomi itu
merupakan studi yang berkaitan dengan masalah manusia yang berakar pada
kebutuhan dan ketidakpuasan yang tidak
ada habisnya. Sejak manusia merasa memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi atau dipuaskan, mereka terus didorong untuk mencari dan memperoleh apa yang diinginkannya itu.[1]
Selama manusia masih dan terus memiliki kebutuhan, maka masalah itu akan terus
timbul. Celakanya, masalah itu tidak
akan pernah terselesaikan, meskipun apa yang diinginkan itu telah
dicapainya. Mengapa? Karena akan terus
muncul keinginan dan kebutuhan lainnya.
Akar Ekonomi
Thomas Robert
Malthus (1766-1864), adalah seorang pendeta Inggris yang dikenal sebagai
pencetus ekonomi modern. Dalam buku
kecilnya, An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future
Improvement of Society (1898) ia memrediksi bahwa populasi penduduk akan
terus bertumbuh sekitar tiga persen per tahun. Artinya, setiap 25 tahun
penduduk bumi akan bertambah menjadi dua kali lipat. Akibatnya terjadi scarcity atau kelangkaan karena kebutuhan manusia yang
bersumber pada hasil pertanian dunia tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan
penduduk.[2]
Kondisi semacam inilah yang akhirnya mendukung adanya teori kebutuhan, selanjutnya
melahirkan teori ekonomi. Di antaranya yang sekarang sedang hangat
diperbincangkan adalah isu ekonomi kerakyatan, liberal atau neoliberal.
Penebusan
Secara Ekonomi (The Economic Redemption)
Ditinjau dari segi
teologis-alkitabiah ada tiga hal penting yang harus dilakukan agar manusia
terbebas dari beban ekonomi dan tercukupi kebutuhannya.[3]
Pertama, bekerja (working).