Friday, April 7, 2017

INERANSI


SEKALI LAGI TENTANG INERANSI  ALKITAB
Hadi P. Sahardjo

Pendahuluan
Soal ineransi (ketanpasalahan, ketidakbersalahan) Alkitab merupakan sutu permasalahan yang tidak pernah ada habisnya, khususnya semenjak munculnya metode-metode penafsiran higher criticism  di Eropa pada abad 18 yang lalu. Selanjutnya dibawa ke gereja-gereja  di seluruh dunia yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, berbarengan dengan munculnya reaksi kaum fundamentalis. Pada waktu ini gereja dan dunia kekristenan memang mengalami kegoncangan, karena banyak teolog dan mahasiswa sekolah teologi yang meragukan Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas. Mereka banyak yang beranggapan  bahwa Alkitab itu hanyalah tulisan manusia belaka, oleh karenanya banyak mengandung kesalahan fakta historis dan ada kekeliruan dalam ajaran. Pengaruh kaum modernis itu hingga kini masih sangat terasa—khusunya di gereja-gereja “arus utama”, ketika para pendetanya mengkritik Alkitab ‘bersalah’ sebelum mampu membuktikan kesalahannya.  Itulah sebabnya dalam menghadapi hal ini pada akhirnya kelompok-kelompok injili lalu kembali menegaskan tentang ketanpasalahan (ineransi) Alkitab.

Definisi Ineransi
Beberapa sarjana terdahulu mengatakan bahwa inerrancy  bisa disinonimkan dengan inspirasi.  Maksudnya, dengan mengatakan bahwa jika Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah maka secara langsung menunjukkan  bahwa Alkitab itu mutlak akurat dan tanpa salah. Dua orang sarjana yang berpendapat demikian adalah B.B. Warfield dan Charles Hodge. Meskipun harus diakui bahwa pendapat semacam ini akhirnya bisa membingungkan.[1]  Yang kedua adalah kata indefectibility sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kung. Indefectibility  berarti tinggal tetap dalam kebenarannya kendatipun bisa salah dalam penerapan doktrin terhadap Alkitab. Kata lain yang bisa disejajarkan adalah infallibility yang sudah memiliki sejarah panjang dalam teologi Kristen.
Soal ineransi memang dapat dianggap sebagai suatu istilah yang relatif kontemporer dalam perbendaharaan doktrin Kristen. Namun itu bukan berarti bahwa  bahwa ajaran Alkitab sebagai firman Allah  yang sempurna dan tanpa salah itu baru muncul di zaman ini. Karena sebenarnya sejak zaman gereja mula-mula—bahkan sejak zaman raul-rasul—persoalan  ini sudah muncul. Hanya saja istilah yang dipakai adalah kata “infalibel” yang menyatakan dan menekankan pada kebenaran Alkitab. Perubahan istilah dan tema pembahasan injili tentang doktrin inereransi dimulai pada awal abad ke-20 oleh B.B. Warfield ketika dia berhadapan dengan kaum rasionalis dengan metode  radikalnya yang menentang ortodoksi Kekristenan.  Semenjak itulah istilah inerrancy lebih populer daripada infallibility—meskipun pada kenyataannya kedua kata itu sering dipertukartempatkan dengan pengertian yang sama. Namun menurut Joseph Tong, ide infalibilitas (ketidakkeliruan) Alkitab itu mengandung tiga unsur utama, yaitu: (1) Alkitab adalah tidak  memalsukan dan tidak  bersalah. (2) Alkitab adalah tidak  gagal dan dapat dipercaya. (3) Alkitab adalah tidak  bersalah dan adalah kebenaran.[2]

Kontroversi, Ketidakcocokan dan Kontradiksi
Perbedaan tulisan-tulisan Alkitab biasanya dianggap sebagai “kontroversi”, “ketidakcocokan” atau “kontradiksi”, bagi sebagian orang masih dianggap sebagai suatu dugaan. Namun banyak juga yang langsung menuduhnya sebagai suatu kesalahan (error) secara membabi buta. Beberapa perbedaan istilah, teks, dan versi (dalam kitab-kitab Injil), dugaan ketidakcocokan angka (Kej 11:26; Kis 7:4; Za 11:12, 13; Mat 27:9, dll); anggapan ketidaklengkapan kronologis, ketidaksamaan waktu; dugaan ketidaksesuaian secara etis (2Sam 24:1; 1 Taw 21:1) dll yang seringkali memang dikesankan memiliki banyak kontradiksi atau ketidakcocokan, sehingga dianggap sebagai sebuah kebersalahan Alkitab. Meskipun sebenarnya lebih banyak sarjana Kristen yang telah meneliti ayat-ayat tersebut dengan seksama yang akhirnya bisa membuktikan bahwa ayat-ayat tersebut sebenarnya tidak  berkontradiksi. Hal tersebut bukanlah suatu kesalahan ketika direinterpretasi dalam makna sensus pleniornya.[3] Itulah sebabnya maka sejak semula kaum injili hanya memandang fenomena ketidakcocokan teks-teks tersebut sebagai “kesulian-kesulitan”  daripada sebagai kesalahan Alkitab. Dengan demikian berarti ada niatan untuk memecahkan kesulitan tersebut  tanpa buru-buru menganggapnya sebagai suatu kesalahan.
     Itulah sebabnya maka orang  percaya seharusnya tidak  langsung  menilai fakta-fakta sulit yang muncul dalam Alkitab itu sebagai suatu kesalahan. Karena kemungkinan besar adalah pengertian kita yang memang terbatas ini tidak  memadai untuk bisa mengerti maksud penulis secara menyeluruh, oleh karena perbedaan yang jauh antara zaman Alkitab dengan zaman kini. Togardo Siburian menyebutkan bahwa kesalahan yang mungkin  terjadi seringkali lebih mengarah pada pengertian keterbatasan pembaca  akan kesulitan ayat-ayat, dikarenakan ketidaksabaran dalam penyelidikan Alkitab, kemudian langsung menghakimi sebagai “Alkitab penuh kesalahan,”  layaknya musuh-musuh Kristen atau para pembenci Alkitab.[4]
Oleh karena itu tidak  bisa diterima begitu saja jika ada pihak-pihak yang mencoba untuk memberikan kesan, dugaan, anggapan atau bahkan tuduhan atas fenomena kebersalahan Alkitab. Melainkan harus diselidiki secara komprehensif, sehingga diperoleh fakta dan kebenaran Alkitab yang sesungguhnya. Karena seringkali anggapan kontradiksi dan ketidakcocokan yang terdapat dalam Alkitab itu sebenarnya dapat dijelaskan secara eksegetis dengan prinsip umum grammatical historical guna mendapatkan pengertian yang  sesungguhnya dalam konteks usus loquendi (kebiasaan masa lalunya).  D.A. Carson menggarisbawahi pendapat Bernard Ramm ketika menuliskan bahwa penafsiran yang memadai haruslah mempertimbangkan aspek-aspek: leksikal, gramatikal, kultural, teologis, historis, geografis serta pembenaran lainnya.[5]
Pandangan-Pandangan yang Salah Tentang Inspirasi
Gary Cramptom dalam bukunya: Verbum Dei [6] mencatat paling tidak  ada 6 (enam) pandangan yang salah tentang inspirasi, yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1). Dinamis. Para penulis Alkitab digerakkan oleh Roh Kudus  pada satu tingkat kehidupan Kristen yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat melihat hal-hal dengan lebih jelas dari kebanyakan orang percaya. Tetapi hal ini tidak  menyebabkan adanya  suatu tulisan yang dinafaskan oleh Allah. Hanya manusianya  yang diinspirasikan dan pemenuhan Roh Kudus yang dinamis ini  mempengaruhi keseluruhan hidup mereka secara permanen. Hal ini ditolak oleh Galatia 2:11 dst. Dalam bahasa  William Menzies,  ini sebenanya berarti  tidak  menyampaikan kebenaran yang bersifat proporsisi.[7]
2). Parsial. Hanya bagian-bagian tertentu Alkitab  yang diinspirasikan. Cara yang biasanya digunakan untuk memandang hal ini yaitu dengan menganggap bahwa ajaran-ajaran moral/religius adalah dinafaskan oleh Allah, tetapi ajaran yang ilmiah, historis dan yang lainnya tidak  dinafaskan oleh Allah (lihat 2Tim 3:16,17).
3) Konseptual. Hanya konsep-konsep Alkitab saja yang diinspirasikan,  dan bukan pada kata-kata yang ada di dalamnya (lihat 2Tim 3:16). Jadi manusia penerima ilham atau inspirasi Allah tetap dapat dilihat karakter pribadinya
4) Alami (natural).  Para penulis Alkitab hanya dianggap sebagai orang-orang yang sangat jenius. Bagaimana pun karya mereka tidak  dapat dipertimbangkan sebagai karya yang berasal-usul Illahi (lihat Yer 1:1,2,9).
5) Dapat salah. Teori yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri diinspirasikan, tetapi tidak  tanpa kesalahan. Maka, menurut pandangan ini Allah mungkin menginspirasikan kesalahan (lihat Yoh 17:17).
6) Neo Ortodoks. Alkitab ditulis oleh manusia yang sudah jatuh oleh karena itu pasti mengandung kesalahan. Pandangan ini mengasumsikan bahwa segala sesuatu yang manusia lakukan dicemari oleh dosa. Jika konsep ini ditarik hingga kesimpulan akhir, maka manusia tidak  dapat menjumlahkan dua ditambah dua dan menghasilkan jawaban empat. Fakta bahwa manusia berdosa tidak  berarti bahwa ia harus selalu berdosa, tidak  berarti bahwa ia harus selalu berdosa dalam setiap tindakannya (lihat Yer  1:1,2,9).
Doktrin Ineransi
     Ineransi didefinisikan sebagai “kualitas bebas dari kesalahan” yang dimiliki Alkitab. Doktrin ineransi ini mengajarkan bahwa Alkitab bebas dari kesalahan. Firman Allah tidak  dapat salah dan tidak  menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan fakta. René Paché menyebutkan dua istilah yang sebenarnya bisa dipertukartempatkan, yaitu ineransi (inerrancy)  dan infalibiliti (infallibility).[8]  Ada beberapa orang yang berusaha untuk  mempertentangkan doktrin ineransi dengan  doktrin infalibiliti, padahal kedua doktrin ini pada dasarnya mengajarkan hal yang  sama tentang Alkitab, yakni: Alkitab adalah mutlak benar, tanpa cacat.[9]. Jakob van Bruggen menyebutnya sebagai “tak mengandung kesalahan” menjadi syibolet (Hak 12:6) yang menunjuk pada sifat yang sesuai dengan ajaran yang benar.[10]  Dengan demikian,  menurut van Bruggen maka Alkitab itu “layak dipercaya” [11], yang menurut saya (penulis), Alkitab itu tidak  hanya sekedar layak dipercaya, tetapi bahkan mutlak “harus” dipercaya.
     Meskipun demikian harus diakui bahwa doktrin ini tidak  mengajarkan kalau  masing-masing terjemahan Alkitab itu sempurna dalam terjemahannya. Juga tidak  mengajarkan bahwa tidak  ada kesalahan yang kadang-kadang dilakukan penyalin, yang dapat ditemukan dalam teks yang telah dilindungi demi kita. Pada waktu berbicara tentang infalibilitas atau ineransi Alkitab, berarti kita sama dengan membicarakan tentang manuskrip yang asli.
Pengakuan Iman Westminster memberikan rumusan yang sangat bagus, “seluruh kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dalam keseluruhan Kitab Suci atau firman Allah yang tertulis” (I.2), “semua yang diberikan oleh ilham (inspirasi) Allah” di mana Dia adalah penulisnya sendiri, menjadikannya “kebenaran dalam diri-Nya” (I.4). “Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru—dalam dirinya—adalah mutlak benar dan memiliki otoritas ilahi”[12]
Aspek Pengilhaman dan Konsep Ineransi Alkitab
Perlu disadari bahwa konsep ineransi itu  tidak  berdiri sendiri, namun saling terkait secara koheren dengan konsep-konsep bibliologis lainnya seperti: wahyu khusus inskripturasi, pengilhaman, kewibawaan, wahyu proporsional, infalibilitas Alkitab dsb. yang  pada dasarnya semua itu mendasari pengakuan iman gerejawi, bahwa Alkitab itu adalah firman Allah.  B.B. Warfield mengatakan bahwa, “apa yang dikatakan Alkitab adalah perkataan Allah melalui agen manusia dan tanpa salah dalam hal apa pun, di dalam naskah aslinya. Sedangan pengilhaman  verbal adalah sarananya, di mana Alkitab dimengerti sebagai perlindungan Allah dalam menuliskan firman-Nya, lewaat ide dan kata-kata manusia, sehingga tidak  mungkin bersalah. Inilah keunikan pengilhaman Kristen, mengandung kepengarangan berganda (bukan dua) dalam tindakan “saling yang menyepakati” (concursive operation).[13] Ini  berarti bahwa Allah adalah penyebab utama dan pertama, sedangkan penulis kitab itu “hanya” sebagai penyebab sekunder dalam proses supranatural.  Ini berarti bahwa  meskipun manusia  itu memiliki kelemahan dan kemungkinan untuk  keliru, namun ketika menuliskan Alkitab, ia tidak  dapat bersalah dalam kebebasannya sebagai pribadi yang utuh sehingga tidak  bisa dianggap sebagai robot belaka. Dengan demikian dalam konsep pengilhaman tersebut, terjadilah “ineransi total”—dan bukan ineransi mutlak sebagaimana sering diucapkan oleh kaum fundamentalis—dari  Allah. Salah besar kalau David Robert Ord dan Robert B. Coote memberikan kesimpulan bahwa karena, “Paulus tidak pernah mengklaim bahwa Alkitab itu tidak mungkin salah (ineransi Alkitab), yang mereka mau tegaskan ialah bahwa ada pengilhaman.”[14]   Maksud dari pernyataan ini ialah bahwa mereka memang mengakui bahwa, “Paulus mengalami ilham dari Allah karena apa yang ditulisnya memang bernafaskan kehidupan dari Allah. Penglihatan tentang apa yang Allah kerjakan dalam sejarah dan makna kehadiran gereja  dalam dunia ini adalah suatu visi yang datang dari Allah. “Namun,” tambahnya, “mengatakannya sebagai suatu yang ‘tidak  mungkin salah’ tentu akan mengejutkan Paulus sendiri.”[15] Intinya sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa Paulus sendiri tidak  mengakui adanya ineransi itu, sehingga kita pun akan salah dengan mempercayai doktrin ineransi Alkitab. Ini sangat bertentangan dengan pendapat dua sarjana lainnya, William W. Menzies dan Stanley M. Horton yang mengatakan sebaliknya, yakni bahwa Yesus sendiri “telah menerima inspirasi penuh seluruh Perjanjian Lama (artinya Alkitab, pen), ketika Ia mengucapkan deklarasi-Nya yang luas, ‘Kitab Suci tidak  dapat dibatalkan’ (Yoh 10:35; Mat 5:18). “[16]  Mereka menegaskan bahwa pandangan ini yang disebut sebagai pengilhaman plenary  (menyeluruh) dan verbal  (sampai dengan kata-kata).[17]
Inilah contoh sarjana yang membela doktrin inetransi Alkitab, meskipun penulis (saya sendiri) kurang setuju dengan istilah pengilhaman secara verbal, karena itu akan selbih menjurus pada pendiktean mekanis di mana Allah berbicara melalui manusia sampai kepribadian individualnya ditekan. Melainkan dengan ilham Roh Allah sendiri yang menyatakan kebenaran kepada , manusia yang tetap dalam keberadaannya sebagai manusia “sebagaimana adanya” sehingga apa yang  dituliskannya tidak  mungkin salah, namun tetap menunjukkan sikap, kepribadian, karakter serta kosakata masing-masing  penulisnya yang bsa dibedakan dengan jelas (perlu diingat bahwa Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 penulis dengan latar belakang keluarga,  pendidikan, pekerjaan atau jabatan yang berbeda).  Dalam bukunya The Canon of Scripture, F.F.Bruce juga mengakui adanya ineransi sehingga terjadi kanonisasi Alkitab dengan mengambil contoh-contoh para tokoh penting dan bapa-bapa gereja, seperti:Clement dari Roma yang mengakui bahwa tulisan-tulisan Paulus sebagai “true inspiration”. Demikian pula totoh-tokoh seperti Irenaeus dan Origen yang juga mengakui serta menerima kemutlakan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sebagai firman Allah yang tidak salah.[18]

Makna Ontologis Konsep Ineransi Alkitab
Pencarian makna ontologism adalah suatu refleksi atas konsep pengetahuan yang paling umum, konkret, luas mendalam, dasar, total, ultima tentang suatu realitas yang ada, sehingga dikatakan sebagai pengetahuan yang universal dan mutlak.[19]  Hal itu berarti bahwa  kebenaran dalam tingkat ontologism, konsep ineransi tersebut tidak  hanya hadir dalam pikiran manusia (in mind), yakni apakah menolak atau menerima bahwa  Alkitab itu tidak  bersalah atau keliru, melainkan juga niscaya hadir dalam realitas sesungguhnya.  Dalam hal ini realitas ontologis selalu  mempertrimbangkan kenyataan yang ada di belakang kosep tentang ineransi tersebut,  misalnya Allah yang tidak  mungkin  bersalah dan mahabenar, Allah yang mewahyukan diri-Nya sendiri dalam dalam kalimat-kalimat proporsional, melalui bahasa dan budaya khusus manusia. Jadi jelas bahwa ide tentang kesempurnaan Alkitab itu mendasari konsep yang hadir dalam pikiran manusia, dalam hal ini adalah firman Allah sebagai kebenaran yang berotoritas. Gagasan kesempurnaan sebagai prediksi bagi firman Allah dalam hal ini membuat keniscayaan ineransi menjadi semakin mutlak dipercaya karena secara  rasional Alkitab sebagai firman Allah memang mengandung segala kepastian kesempurnaan. Oleh karenanya secara konseptual kesempurnaan Allah tidak  dapat digagalkan oleh kelemahan manusia, karena yang menjadi “penggagas” Alkitab itu adalah Allah sendiri  yang ngin menyatakan diri-Nya kepada manusia. Sebaliknya, secara supranatral, maksud Allah tidak  mungkin dibelokkan  oleh keinginan manusia  yang penuh dengan kelemahan ini.  Ini berarti bahwa  kesempurnaan Allah dalam kehendak-Nya untuk menyatakan diri-Nya sendiri tidak  mungkin bisa digagalkan oleh manusia yang serba terbatas dalam seluruh keberadaan dan kemampuannya, dikarenakan proses supranaturalisasi dalam pengilhaman Alkitab yang organik tersebut. Dengan demikian maka kita dapat mematahkan deduksi silogisme dari mereka yang anti terhadap ineransi dengan pemikiran bahwa:
  • Karena manusia adalah berdosa dan penuh kelemahan
  • Dan Alkitab itu ditulis oleh manusia
  • Maka itu berarti bahwa Alkitab pasti penuh kesalahan
Kalau berdasarkan premis seperti ini pasti adalah suatu pengambilan kesimpulan yang terburu-buru dan ngawur. Kalau mau jujur, seharusnya yang dikedepankan harus dimulai dari Allah serta aspek supranatural dalam penulisan Alkitab tersebut, sehingga kalimat itu akan berbunyi demikian:
  • Allah adalah benar (Roma 3;4)
  • Alkitab itu dinafaskan oleh Allah (2 Timotius 3:16)
  • Maka Alkitab pasti benar
Itulah sebabnya maka saya tidak  sependapat dengan James Barr yang mengatakan bahwa, “skriptura (Alkitab, pen.) diilhamkan, namun berstatus “mungkin salah” juga.[20]  Meskipun menggunakan kata “mungkin”, tetapi ini sudah jelas hal ini menunjukkan sikap keraguan terhadap ketidakbersalahan Alkitab sebagaimana yang kita percayai.

Simpulan
Meskipun serangan terus bertubi-tubi terhadap kebenaran mutlak Alkitab—baik dari orang-orang yang tidak  percaya maupun orang-orang yang mengatakan diri Kristen tapi justru mengikari kebenaran firman Tuhan—tetapi Alkitab tidak  akan pernah digoyahkan karena kebenaran dirinya yang adalah firman Allah yang hidup. Terbukti bahwa selama berabad-abad Alkitab tetap bisa bertahan dan telah mengubah jutaan orang mengalami perubahan  hidup  baru yang berkemenangan setelah perjumpaannya dengan Tuhan melalui firman Tuhan. Oleh karena itu tanpa dibela sekalipun Alkitab telah dapat membela dirinya dalam kebenaran yang dimilikinya. Pendapat-pendapat yang meragukan dan mengritik Alkitab justru semakin menunjukkan betapan luasnya kebenaran Allah dan keterbatasan manusia. Meragukan—apalagi tidak  mempercayai—Alkitab  sebagai firman Allah yang benar sama saja dengan menghilangkan kekristenan yang  mendasarkan iman  dan kepercayaannya atas firman Tuhan. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Jakob van Bruggen bahwa: “Siapa yang menyerang sesuatu yang dapat dipercaya dan bersifat histories dari kanon, telah memotong dahan yang ia duduki.[21] Sehingga sampai kapan pun motto reformatories: sola fide, sola gracia, sola scriptura  akan tetap berkumandang seriring dengan kekekalan firman Allah  sampai Tuhan Yesus Kristus, Firman Yang Benar dan Hidup itu datang kembali. Soli Deo Gloria.




[1] Paul D. Feinberg. The Meaning of Inerrancy dalam Inerrancy  oleh Norman L. Geisler [ed].  (Academie Books. Grand Rapids, Michigan: 1980), 287.
[2] Joseph Tong. Systematic Theology and Pastoral Ministry [Syllabus and Classnote] (International Theological Seminary. Los Angeles, USA. 1998), 24.
[3] Donald G. Bloesch. The Holy Scripture: Revelation, Inspiration, Interpretation (Downers Groove: InterVarsity Press, 1994),  39.
[4] Togardo Siburian. Keniscayaan Doktrin Ineransi Alkitab [dalam Sola Scriptura dan Pergumulannya Masa Kini: Kumpulan Esai], (Sekolah Tinggi Teologi Bandung, 2005),  34.
[5] D.A. Carson. Exegetical Fallacies. Grand Rapids: Baker Books: 1996 (2nd ed), 16.
[6] W. Gary Crampton. Verbum Dei [Ind.: Alkitab: Firman Allah]. (Momentum, Surabaya:  2000), 58-59.
[7] William W. Menzies. Doktrin Alkitab. (Gandum Mas Malang: 1998),. 23.
[8] René Paché. The Inspiration and Authority of Scripture. (Moody Press. Chicago, 1989), 120.
[9] W. Gary Crampton…, 63 dyb.
[10] Jakob van Bruggen. Siapa yang Membuat Alkitab? (Momentum Surabaya, 2002), 125.
[11] Ibid, 126-127.
[12] Greg L. Bahnsen. “The Inerrancy of the Autographa.” Dalam Inerrancy”  oleh Norman L. Geisler [ed]. (Academie Books, Grand Rapids, Michigan. 1980), 153.
[13] B.B. Warfield. The Interpretation an Authority of Scripture.               (The Presbyterian and Reformed Publ. Co. Philadelphia: 1948),. 95.
[14] David Robert Ord & Robert B. Coote. Apakah Alkitab Benar?: Memahami Alkitab Pada Masa Kini. (BPK Gunung Mulia, Jjakarta: 1997), 145.
[15] Ibid., 145.
[16] William Manzies. Doktrin Alkitab…, 24.
[17] Ibid.
[18] F.F. Bruce. The Canon of Scripture. (InterVrsity Press, Downers Grove, Illinois:. 1988),  266-267.
[19] Bdk. Anton Baker. Ontologi-Metafisika Umum. (Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1994), 13 dyb.
[20] James Barr. Alkitab di Dunia Modern. (BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997), 237-238.
[21] Jakob van Bruggen. Siapa yang Membuat Alkitab? (Peneribit Momentum, Surabaya: 2002), 145.
                                   BELAJAR MENGAJAR DARI PENGAJARAN YESUS

Hadi P. Sahardjo

Abstrak
 Mengajar bukan sekedar melaksanakan tugas. Mengajar perlu bekal yang memadai. Mengajar bukan asal menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didiknya. Bukan sekedar menyampaikan bahan pengajaran dan menransfer ilmu. Mengajar juga bukan sekedar kemampuan serta penguasaan materi pembelajaran, namun perlu keterampilan dan penguasaan metode pengajaran yang baik dan tepat guna. Bukan sekadar menonjolkan kemampuan otak, tetapi berkaitan dengan sentuhan hati dan nurani. Pembelajaran seperti ini akan menjadikan setiap individu pebelajar bisa mengalami transformasi kehidupan secara utuh. Itulah sebabnya seorang pendidik perlu belajar dari Tuhan Yesus sebagai model pembelajar dan pengajar yang sesungguhnya.