Thursday, October 27, 2016

OPINI: TEOLOGI EKONOMI

OPINI: TEOLOGI EKONOMI

Hadi P. Sahardjo

Pendahuluan

R. W. Mackey, II,  Professor  of  Business Administration dari Department of Business Administration, Pepperdine University, dalam tulisannya  “Proposing A Biblical Approach to Economics”  mengatakan bahwa studi tentang ekonomi itu merupakan studi yang berkaitan dengan masalah manusia yang berakar pada kebutuhan dan ketidakpuasan yang tidak  ada habisnya. Sejak manusia merasa memiliki kebutuhan yang  harus dipenuhi atau dipuaskan,  mereka terus didorong untuk mencari  dan memperoleh apa yang diinginkannya itu.[1] Selama manusia masih dan terus memiliki kebutuhan, maka masalah itu akan terus timbul. Celakanya, masalah itu tidak  akan pernah terselesaikan, meskipun apa yang diinginkan itu telah dicapainya. Mengapa? Karena   akan terus muncul keinginan dan kebutuhan lainnya.
Akar Ekonomi

Thomas Robert Malthus (1766-1864), adalah seorang pendeta Inggris yang dikenal sebagai pencetus ekonomi modern. Dalam  buku kecilnya,  An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of Society (1898) ia memrediksi bahwa populasi penduduk akan terus bertumbuh sekitar tiga persen per tahun. Artinya, setiap 25 tahun penduduk bumi akan bertambah menjadi dua kali lipat. Akibatnya terjadi scarcity  atau kelangkaan karena kebutuhan manusia yang bersumber pada hasil pertanian dunia tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.[2] Kondisi semacam inilah yang akhirnya  mendukung adanya teori kebutuhan, selanjutnya melahirkan teori ekonomi. Di antaranya yang sekarang sedang hangat diperbincangkan adalah  isu  ekonomi kerakyatan, liberal atau neoliberal.

Penebusan Secara Ekonomi (The Economic Redemption)

Ditinjau dari segi teologis-alkitabiah ada tiga hal penting yang harus dilakukan agar manusia terbebas dari beban ekonomi dan tercukupi kebutuhannya.[3] Pertama, bekerja (working).


Allah menciptakan manusia dengan organ tubuh yang diberikan dengan  potensi untuk bekerja. Semua yang diciptakan untuk kebutuhan manusia (Kejadian 1:29). Namun setelah jatuh ke dalam dosa, mereka harus mengusahakannya sendiri dengan mengolah tanah agar bisa makan (Kejadian 3:17-19). Tetapi  dalam pengamatan penulis kitab Amsal disebutkan adanya orang-orang yang disebut sebagai pemalas, yang dikiaskan seperti “pintu yang berputar pada engselnya.” Pekerjaannya tidur melulu, enggan bangun dari tempat tidurnya (Amsal 26:14).  Padahal kemalasan adalah pangkal kemiskinan (26:13). Orang semacam ini selalu gagal untuk melakukan suatu pekerjaan, bahkan yang paling mudah sekalipun (19:24). Para pemalas itu akhirnya menjadi beban dan tidak berguna sama sekali bagi orang lain (10:26, 18:9).[4] Pada akhirnya orang-orang pemalas itu akan menemukan dirinya bangkrut dan kehilangan segala-galanya (24:30-31). Tepat sekali yangdikagtakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika, kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan. No work, no food!
Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.  Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna.  Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri (2Tesalonika 3:10-12).
Kedua menyimpan (saving). Pengajaran Alkitab jelas sekali. Menurut kitab Amsal,  manusia perlu belajar dari semut yang  rajin dan memiliki naluri menyimpan [menabung] (6:6-9 dan 30:25). Ayat-ayat ini mengajarkan kepada manusia suatu prinsip. Kata kunci dari ayat-ayat ini adalah: musim panas dan musim panen. Waktu musim panas menyiapkan roti, dan ketika musim panen tiba mengumpulkan makanan. Jadi tidak ada waktu untuk berkhenti bekerja. Semut memberikan teladanan dalam hal ketekunan kerja dan menabung. Menabung bukan untk diri sendiri, melainkan untuk anak-cucunya. rasul Paulus pun memberikan tekanan pada soal ini, “…Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya.” (2Korintus 12:14). Ketiga, memberi (giving) sebagai gaya hidup. Ini sangat paradoks. Dengan memberi, mestinya berkurang. Tetapi pengajaran Alkitab berbeda. Dengan memberi kita malah akan menerima. Hidup kekristenan berarti memberi dan berkorban (Kisah 2:41-47; 1Korintus 16:1-4 dll.). Ini yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, bahkan menyerahkan diri-Nya hingga mati disalib. Oleh karena itu jadi manusia jangan serakah. Tuhan Yesus mengingatkan, “Jangan mengumpulkan (harfiah: menimbun) harta di bumi, karena ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga …” (Matius 6:19-20) dan,  “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36).  Kebutuhan hanya akan terpenuhi dan terpuaskan ketika individu  bertemu dengan firman Allah dan memiliki-Nya secara pribadi. Itulah harta sebenarnya dan yang bersifat kekal.

Kekayaan Pribadi

Orang Kristen yang menganut sistem sosialisme menuntut bahwa kekayaan pribadi akan mendorong keserakahan dan iri hati, sedangkan kepemilikan publik akan menyingkirkan banyak godaan untuk berdosa. Apaakh ini sesuai dengan Alkitab? Irving E. Howard tidak berpikir demikian: “Peringan ‘jangan mencuri’ merupakan deklarasi yang paling jelas tentang hak terhadap kekayaan pribadi di dalam Perjanjian Lama.[5]
Sebenarnya hampir di setiap bagian dalam Alkitab yang menyebut tentang hak milik ini, soal kepemilikan pribadi dan penatalayanan kekayaan dianggap paling sesuai, misalnhya: Ulangan 8; Rut 2; Yesaya 65:21-22; Yeremia 32:42-44; Mikha 4:1-4; Lukas 12:13-15; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28, dsb. Calvin Beisner menegaskan dengan sebuah pertanyaan,: Mengapa Alkitab meminta restitusi termasukpelipatgandaan restitusi, dalam kasus pencurian bahkan jika membayar restitusi duminta untuk menjual dirinya ke dalam perbudakan (Keluaran 22)?”[6] Dengan jelas Alkitab meminta ini karena Allah telah menganugerahkan kepada umat manusia hak atas kekayaan tersebut. Masalahnya adalah bagaimana setiap orang mampu dan bertanggung jawab untuk mengelolanya secara tepat dan benar.
Hak atas kekayaan itu berasal dari kewajiban kita untuk bekerja. Sesudah mengusir dari taman Eden, Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras (Kejadian 3:17-19. Namun dalam kemurahan-Nya, Allah mengizinkan bahwa manusia yang bersungguh-sungguh memenuhi tugasnya ini akan diupah dengan kekayaan pribadi. Amsal mengatakan, “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikaan kaya.” (Amsal 10:4). Oleh karena itu sebenarnya Allah sendiri yang telah merancang dunia ini yang keberadaan dari kekayaan pribadinya akan mendorong manusia menjadi semakin berbuah (lihat 1Tawarikh 29:14).

Orang Kaya dan Miskin

Dalil yang paling banyak dikemukan oleh orang Kristen yng menganut faham sosialis atas perlunya kesetaraan ekonomi adalah pada asumsi bahwa oang kaya itu mengambil kekayaannya dari orang miskin. Jika pandangan itu benar, maka panggilan para pengikut sosialis untuk kesetaraan ekonomi mungkin bisa dibenarkan. Meskipun demikian, pandangan ini jauh dari kenyataan. Menurut David Noebel,[7] paling tidak ada dua hal mendasar yang harus diperhatikan. Pertama,  Alkitab sudah dengan  sangat jelas memberitahukan bahwa kemiskinan tidak selalu dihasilkan oleh karena eksploitasi orang kaya. Mengomentari pandangan ini, Ronald Nash mengatakan demikian, “Hal itu tentu benar, bahwa Alkitab membenarkan  kemiskinan kadang-kadang dihasilkan dari tekanan eksploitasi. Tetapi Alkitab juga mebgajarkan bahwa kemiskinan dihasilkan dari ketidakberuntungan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan eksploitasi. Ketidakberuntungan  ini termasuk di dalamnya seperti kecelakaan, terluka dan kesakitan dan—tentu  saja—bahwa  Alkitab membuat sangat jelas bahwa kemiskinan dihasilkan dari kemiskinan dan kemalasan (Amsal 6:6-11; 13:4; 24:30-34; 28:19.[8]

Harta yang sebenarnya

Menurut catatan Alkitab, inilah harta yang sesungguhnya: jiwa-jiwa manusia (Matius 16:26);   kebenaran (Amsal 16:8); hikmat dan pengetahuan (Amsal 16:16); nama baik (Amsal 22:1); hukum atau perintah Tuhan (Mazmur 19:10-11); integritas dan harga diri (Amsal 19:1); istri yang bijaksana (Amsal 31:10); anak-anak yang diberkati (Mazmur 127:3-5); mengenal dan memercayai Kristus (Filipi 3:7-9) dan mengenal Allah (Yeremia 9:23-24). 
Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, namun terdapat banyak informasi dan gagasan penting berkaitan dengan pandangan serta sikap terhadap soal ekonomi. Lebih tujuh ratus bagian atau ayat Alkitab yang berbicara baik secara langsung maupun tidak  langsung, tentang uang, harta atau kekayaan. Kitab Amsal termasuk salah satu yang paling banyak berbicara tentang harta benda dan kekayaan. Yang barangkali mengejutkan kita, ternyata Tuhan Yesus lebih banyak  menyinggung soal sikap terhadap harta benda dan uang ini lebih banyak jika dibandingkan dengan soal surga atau neraka.
Dalam dunia ekonomi, berlaku prinsip: modal sedikit untung banyak. Sedikit bekerja, banyak  hasil. Adanya kebutuhan dan kelangkaan, scarcity, membuat orang berusaha untuk mengatasi dan mencari jalan keluar. Inilah awal kompetisi. Siapa bekerja, dia akan makan. (lihat Amsal 6:6-8, 2Tesalonika 3:10).

Peringatan

Matius 6:19  "Janganlah kamu mengumpulkan (harfiah: menimbun) harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 20  Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.  21  Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.
Ayat 21 merupakan ringkasan dari  konsep bahwa sikap   pengelolaan dan kepemilikan harta atau kekayaan itu jelas merupakan suatu indikator dari bagaimana sikap hati seseorang. Uang dan harta memang merupakan salah satu kebutuhan. Tetapi orang yang selalu jatuh cinta pada uang (inamorata dei soldi), karena hal ini pasti akan berpengaruh terhadap sikapnya dalam upaya untuk memperoleh uang atau harta, termasuk menghalalkan segala cara. Korupsi, manipulasi, tidak  peduli, merampas hak orang lain, berlaku curang dsb. Hal itu seolah-olah sudah biasa, dan bukan merupakan dosa yang harus dihindari dan memalukan.Yang penting bisa mendapat uang. Namun konsep Alkitab sangat  jelas. Kekekalan itu lebih penting dari kekayaan (eternity is better than prosperity). Itulah sebabnya rasul Paulus mengingatkan kepada orang-orang percaya bahwa, “… kewargaan kita adalah di dalam surga, …” (Filipi 3:20). Jelasnya, karena kita ini   warga negara surga, lalu untuk apa terlalu memusingkan hal-hal dunia?  Pemahaman yang  tepat terhadap kreasi ekonomi Allah, niscaya kita akan dijauhkan dari sifat serakah, menang sendiri dan tidak  peduli, sebaliknya bisa memuaskan diri dengan apa yang ada pada kita.
Banyak orang Kristen terbagi dalam isu ekonomi. Di samping ada banyak orang Kristen yang percaya Alkitab mendorong sebuah sistem kekayaan pribadi dan tanggung jawa individu dan inisiatif (lih. Yesaya 65:21-22; Yeremia 32:43-44; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28). Sementara di pihak lain, menurut David A. Nobel,[9] banyak pula orang Kristen yang secara terbuka memberi dukungan mereka pada ekonomi sosialis yang mendasarkan pada Kisah Para Rasul 2:44-45. Dalam kenyataannya sebagian orang Kristen menyatakan bahwa Alkitab mengajarkan sebuah bentuk Marxisme. Orang-orang ini—teolog-teolog liberal—yang mengharapkan sebuah bentuk dari sosialisme untuk menghantarkannhya ke dalam Kerajaan Surga.[10]   Pernyataan demikian merupakan suatu jebakan yang harus diwaspadai oleh setiap orang Kristen, karena  tidak ada sebuah sistem ekonomi –apakah komunisme, sosialisme atau kapitalisme—yang sanggup menyelamatkan umat manusia. Tidak ada sebuah sistem ekonomi yang sempurna. Bagaimana pun, ini tidak berarti bahwa semua sistem ekonomi adalah setara, karena pada kenyataannya sebuah sistem cukup cocok dengan  firman Tuhan dan dunia kita yang tidak sempurna. Kebanyakan orang mengatakan bahwa kekayaan berarti kepuasan. Banyak pula orang Kristen percaya bahwa: Allah + Kekayaan = Kepuasan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa: Allah + Kepuasan = Kekayaan. Kelompok pertama adalah orang-orang dunia, yang hanya mementingkan harta kekayaan minus Tuhan. Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang Kristen, yang mengatakan dirinya percaya kepada Allah dan meyakini bahwa jika percaya kepada Allah, maka Dia akan memberikan kekayaan kepadanya. Karena itu muncul aksioma: orang Kristen harus kaya karena Tuhan kaya. Atau, “kita adalah anak-anak Raja” jadi jangan mempermalukan Sang Raja. Kita harus kaya. Jadi pada`praktiknya yang dikejar hanya kekayaan, karena itu yang memberikan kepuasan. Ayat pegangannya antara lain: Mazmur 37:5; Matius 6:33; Ibrani 13:5 dll. Tetapi untuk kelompok ketiga, mereka memiliki prinsip bahwa, Tuhan adalah yang terutama. Memiliki ataupun tidak memiliki kekayaan, tetap merasa hidupnya puas karena harta kekayaannya yang paling utama adalah Allah sendiri.

KESIMPULAN

Bagi penulis, tidak  ada ayat yang lebih tepat untuk menunjukkan bagaimana seharusnya sikap gereja dan semua orang Kristen terhadap persoalan ekonomi, kecuali tulisan rasul Yakobus, yang berbunyi demikin:  Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." (Yakobus 4:13-15).
Jelas bukan, siapa yang harus dilibatkan dalam setiap usaha dan pekerjaan kita? Juga menjadi jelas bukan, bagaimana kita membuat prioritas untuk setiap rancangan yang kita buat? Semakin jelas pula bukan, siapa kita ini sebenarnya, manusia-manusia yang hanya terbatas, yang tidak  mungkin bisa kita ketahui dengan pasti apa yang akan terjadi di esok hari—bahkan nanti! (HPS)






[1] R.W. Mackey, II. “Proposing A Biblical Approach to Economics” dalam John MacArthur,  Think Biblicall .(Wheaton, Illinois: Crossway-Books) 297. 
[2] R.W. Mackey, II. …,  298. 
[3] R. W Mackey, II. …, 303-305
[4] Derek Kidner, Proverb: AN Introduction and Comentary (Downer Grove, IL: IVP, 1964) 42.
[5] Irving Howard, The Christian Alternative to Socialism (Arlington, VA: Better Books, 1986), 43.
[6] E. Calvin Beisner, Prosperity and Poverty: The Compassionate Use of Resources in a World of Scarcity (Westchester, ILL: Crossway Books, 1988) 66.

[7] David A. Noebel, …, 379.
[8] Ronald Nash, Poverty and Wealth: The Christian Debate Over Capitalism (Westchester, IL: Crossway ooks, 1987), 63.
[9] David A. Nobel, The Battle for Truth [terj. Peperangan untuk Kebenaran] (Jakarta: YWAM Publishing Indonesia: 2004) 373.
[10] Ibid.

No comments:

Post a Comment