Thursday, January 21, 2016

PERKAWINAN, PERCERAIAN DAN PERKAWINAN ULANG

Hadi P. Sahardjo
PENDAHULUAN

Sebenarnya sudah sangat banyak tulisan yang membahas maslah perkawinan, perceraian dan perkawinan kembali. Namun penulis terdorong untuk kembali mengangkat topik ini sebagai bahan perenungan bagi setiap orang Kristen, khususnya para hamba Tuhan. Anda boleh setuju ataupun tidak dengan apa yang penulis paparkan di sini. Tetapi ini suatu fakta yang kita hadapi saat ini.

Dari tahun ke tahun, perceraian bukannya berkurang, tetapi justru semakin menunjukkan peningkatan. Hal ini juga sering melanda kehidupan jemaat Tuhan. Akhirnya gereja diperhadapkan dengan masalah yang sulit antara yang “harus” merupakan perintah Allah dengan “keharusan” untuk menghadapi anggota jemaatnya yang tertimpa kasus semacam itu.

Meskipun yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah tentang perceraian dan perkawinan ulang, namun untuk menjembatani keterkaitan dan guna mendapatkan suatu konsep yang runtut, maka selain masalah perceraian juga akan dibahas dua hal yang terkait erat dengan masalah perceraian, yaitu tentang perkawinan dan perkawinan kembali (remarriage). Kedua hal ini akan dibahas masing-masing pada awal dan akhir tulisan. Ketiganya—khususnya perceraian—akan dibahas terutama dari segi iman Kristen. Namun masalah perceraian akan tetap mendapat porsi bahasan lebih banyak. Dengan tulisan ini diharapkan agar gereja /hamba Tuhan dapat bersikap secara tepat dan benar terhadap masalah tersebut –khususnya perceraian—sehingga dapat memberikan layanan serta bimbingan kepada keluarga-keluarga Kristen agar dapat melewati kehidupan perkawinan mereka dengan aman sejahtera sampai akhir hidupnya.


PERKAWINAN

Pelurusan Istilah

Menurut Guru Besar dalam Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Dr. Soetojo Prawirohamidjojo, SH., istilah yang paling tepat untuk maksud di atas—khususnya bagi orang Kristen—adalah “perkawinan dan bukan “pernikahan”.[1] Karena kata “nikah” itu berasal dari Bahasa Arab yang arti dasarnya adalah “bersetubuh”. Sehubungan dengan hal tersebut maka di kalangan Isllam dikenal istilah “akad nikah” atau “ijab Qobul” yang sebenarnya mempunyai makna “kontrak”, yaitu perjanjian antara dua laki-laki (yang seorang adalah calon mempelai laki-laki, dan lainnya adalah calon mertua laki-laki) yang dilakukan di depan modin (penghulu) serta calon mempelai perempuan dengan menyerahkan “peningset” atau mas kawin. Karena memiliki makna kontrak, maka di sini tidak ada unsur suci seperti yang dikenal dalam perkawinan Kristen dan hanya mirip dengan sebuah perjanjian biasa yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan dengan ditandai diambilnya kembali mas kawin yang telah diberikan. Jelas konsep ini sangat berbeda dengan arti perkawinan dalam pandangan kekristenan. Karena itulah dalam pembahasan ini istilah tersebut yang akan terus digunakan. Jadi judul tersebut di atas sudah tepat.


Perkawinan Kristen

Seperti telah dikemukakan di atas, perkawinan Kristen memiliki pengertian yang sangat berbeda dan arti yang demikian mendalam serta mendasar yang hendak dibahas berikut ini:

Prinsip Dasar Perkawinan[2]

Setiap orang Kristen selayaknya menyadari benar bahwa perkawinan itu bukan sesuatu yang remeh dan bisa dipermainkan, karena:
Pertama. Perkawinan adalah penetapan atau kehendak Allah sendiri sejak awal kejadian serta berdasarkan sifat atau kodrat manusia sebagai ciptaan Allah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fakta berikut ini:

1) Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) dengan kemampuan untuk perkawinan (Kej. 1:27-28; Mrk. 10:6-8).
2) Allah menciptakan manusia dengan sifat yang memerlukan perkawinan (Kej. 2:28).
3) Dari kedua hal ini memberikan makna bahwa:

a) Allah menghendaki agar kebanyakan manusia kawin (1 Kor. 7:2, 8-9).
b) Perkawinan dan keluarga merupakan sebagian sifat manusia di mana suami dan istri harus bersama-sama atau menyatu (1 Tes. 4:3-5; Kej. 2:24).
c) Meskipun demikian jika yang oleh karena kehendak Tuhan dan demi Tuhan, Tuhan memperkenankan untuk tidak kawin (Mat. 19:10-12).

Kedua, Perkawinan adalah hubungan yang paling erat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Ini sesuai dengan rencana Allah sendiri.

1) Rencana Allah untuk perkawinan adalah seumur hidup (Mat. 19:4-5; 1Kor. 7:39.
2) Rencana Allah terhadap perkawinan adalah agar mereka menjadi satu daging (Kej. 2:24; Mrk. 10:2-9; 1 Kor. 7:3).
3) Rencana Allah terhadap perkawinan adalah suatu hubungan yang berdasarkan pada kasih Kristus (Ef. 5:25-33).

Tujuan Perkawinan

Seringkali diumpai bahwa pasangan yang mau memasuki jenjang perkawinan masih belum tahu untuk apa sebenarnya mereka harus kawin. Bedasarkan prinsip-prinsip Alkitab dapat dirumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah: [3]
a) Untuk mendaptkan “penolong” yang sepadan (Kej. 2:18).
b) Untuk menjadi ikatan kasih sayang timbal balik antara laki-laki dan perempuan (Kej. 2:24).
c) Untuk melangsungkan keturunan (Kej, 1:28).
d) Untuk mewujudkan suatu hubungan yang sepantasnya dan berdaya cipta (1 Kor. 7:2-5).
e) Untuk mengembangkan/memuliakan Kerajaan Allah di muka bumi ini (1 Ptr.3:1-2,7).

Sifat Perkawinan Kristen

Menurut hemat penulis, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang harus kita perhatikan sehubungan dengan sifat perkawinan Kristen, yaitu:

a. Kudus.[4]
Dalam bukunya Toward Old Testament Ethics, Walter C. Kaiser, Jr. secara panjang lebar memaparkan tentang kudusnya perkawinan (Pasal 12). Karena demikian kudusnya perkawinan itu, maka untuk tetap bisa menjaga kekudusan perkawinan tersebut harus menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh, perzinaan, incest, homoseksualitas, bestialitas, dsb. (band. Im, 18:1-30).

b. Eksklusif.
Piet Go dan Suharto menekankan sifat eksklusifnya perkawinan itu dengan mengatakan bahwa seorang laki-laki haruslah hanya untuk seorang perempuan (monogami), demikian sebaliknya. Jadi tidak dikenal adanya WIL (Perempuan Idaman Lain) maupun PIL (Laki-laki Idaman Lain) dalam hidup perkawinan yang sejati.[5]

c. Permanen/tak terceraikan
Perkawinan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, karena itu tidak ada seorang pun yang berhak untuk menceraikan, kecuali oleh sebab kematian (1 Kor. 7:39).

Prinsip Perjanjian Dalam Perkawinan Kristen.

David Atkinson, sebagaimana dikutip oleh John Stott,[6] menegaskan bahwa Alkitab menganggap perkawinan itu sebagai suatu perjanjian, yaitu ‘perjanjian Allah’ (Ams. 2:17) yang diinstitusikan dan disaksikan oleh Dia sendiri. Perjanjian perkawinan itu pada intinya mencakup: (1) kasih (seperti halnya dalam setiap perjanjian), tapi kasih perkawinan yang mempunyai kewajiban-kewajiban yang spesifik; (2) hidup bersama-sama sebagai suatu rumah tangga dan keluarga yang tunggal; (3) kesetiaan (terhadap seksual ranjang perkawinan); (4) sang istri ditanggung oleh sang suami; (5) sang istri tunduk pada suami.

Senada dengan hal tersebut, George E. Sweazey juga mengingatkan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) telah ditetapkan oleh Allah melalui perintah-Nya (Kej. 1:27; 2:23,24) untuk bersatu dalam suatu lembaga perkawinan.[7] Lebih lanjut Sweazey juga mengingatkan agar orang yang sudah terikat perkawinan itu harus selalu mengingat janjinya kepada Tuhan, yaitu untuk hidup dalam suka maupun dalam duka, dalam keadaan kekurangan atau kelebihan, dalam keadaan sakit atau sehat serta setia seumur hidupnya,[8] karena saksi atas ‘perjanjian’ itu adalah Tuhan sendiri beserta orang-orang lain juga (yang hadir dalam janji perkawinan tersebut).[9]

Hal-hal yang berpengaruh terhadap stabilitas perkawinan.

Ada banyak kondisi dalam keluarga yang bisa menjadi kendala atau bisa mempengaruhi stabilitas perkawinan yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

a. Adanya perbedaan-perbedaan latar belakang.
Bagi Piet Go dan Suharto[10], perbedaan latar belakang laki-laki dan perempuan dalam suatu mahligai perkawinan memang bisa menimbulkan kesulitan-kesulitan tersendiri kedua belah pihak. Perbedaan-perbedan yang paling utama adalah:
  • Agama atau keyakinan: kendatipun banyak orang/pasangan yang seringkali mengabaikan masalah ini, namun kenyataannya banyak pasangan yang tidak mengalami “kebahagiaan” sejati dalam perkawinannya karena perbedaan tersebut.
  • Suku dan budaya: Meskipun tidak terlalu serius seperti yang pertama, namun perbedaan ini juga memerlukan penyesuaian tersendiri bagi keduanya.
  • Pendidikan atau intelektual: Seringkali komunikasi antara suami-sitri kurang lancar karena faktor perbedaan pendidikan dan intelektual tersebut.
  • Status sosial/ekonomi: Kadang-kadang perbedaan status sosial ekonomi juga bisa menyebabkan disharmoni antara pasangan suami istri, khususnya apabila istri berasal dari latar belakang keluarga yang lebih mampu dari suami.

b. Kondisi-kondisi dalam perkawinan.

Hampir senada dengan keempat hal tersebut di atas, masih ada lagi beberapa faktor yang menyebabkan instabilitas dalam perkawinan. Elizabeth Hurlock, seorang pakar psikologi menyebutkan beberapa kondisi yang berpengaruh itu antara lain adalah sebagai berikut:[11]
  • Masalah jumlah anak. Berdasar penelitian yang dilakukan oleh A. Thornton yang bertajuk Children and Marriage Stability yang dimuat dalam Journal of Marriage and the Family edisi 39 tahun 1977, Hurlock mengutip bahwa jumlah anak memiliki korelasi positif terhadap stabilitas suatu perkawinan. Dikatakan pula bahwa pasangan yang tidak memiliki anak mempunyai peluang lebih besar terhadap perceraian.
  • Masalah perbedaan latar belakang. Perceraian lebih banyak terjadi antara pasangan yang mempunyai latar belakang kebudayaan, suku, bangsa, agama dan sosial konomi yang berbeda. Di antara sekian banyak penyebab perceraian, ternyata perbedaan agama merupakan penyebab utama perceraian.
  • Masalah ekonomi keluarga. Berkaitan dengan masalah ekonomi ini Hurlock mengatakan bahwa makin rendah status ekonomi keluarga, makin besar kemunghkinannya akan terjadi perceraian. Hal ini berlaku untuk segala usia. Penulis juga berpendapat, bahwa masalah ekonomi ini sebaiknya bukan sekedar dilihat dari cukup tidaknya kebutuhan ekonomi dalam keluarga itu, tetapi juga berkaitan dengan masalah peran dan tanggung jawab soal kebutuhan perekonomian keluarga.
  • Masalah alasan perkawinan. Orang yang terpaksa kawin karena si perempuan telah mengandung terlebih dulu kemungkinan untuk bercerai juga lebih besar
  • Masalah tanggung jawab/peran suami-istri (misalnya: suami lemah, istri lebih dominan).
  • Masalah mempertahankan identitas atau intervensi pihak lain (misalnya mertua atau keluarga dari salah satu pihak yang ikut campur dalam urusan keluarga). Orang dewasa yang tetap dapat mempertahankan identitas dirinya setelah menikah serta memiliki kesempatan untuk memperbarui diri, kemungkinan untuk bercerai itu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pasangan yang sangat dipengaruhi oleh keluarganya (orang tua istri atau suami).


Perkawinan—suatu Hubungan yang Baru

Dengan mengambil dasar dari Kej. 2:24, H. Norman Wright[12] mengemukakan bahwa pada saat ‘seorang laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging’ itu mengandung makna bahwa tatkala laki-laki dan perempuan itu akhirnya bersatu dalam perkawinan, maka keduanya telah benar-benar menyatu dalam suatu hubungan yang baru, yakni ‘menjadi satu’ dalam keintiman hidup mereka berdua yang disimbulkan dengan persatuan/hubungan seksual.

Kesimpulan mengenai Perkawinan

Sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan mengambil analogi yang dikemukakan oleh Prof. G.R. Dunstan seperti dikutip oleh David Atkinson dan dikutip ulang oleh John Stott,[13] dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian kehendak Allah dalam perkawinan manusia mengandung suatu:
  • Prakarsa kasih yang mengundang respons, dengan demikian menciptaklan suatu sambung rasa.
  • Sumpah kesepakatan yang melindungi kesatuan itu terhadap ketidaklanggengan perasaan.
  • Kewajiban-kewajiban kesetiaan yang satu terhadap yang lainnya.
  • Janji pemberkatan bagi yang setia pada ketetapan-ketetapan perjanjian itu.
  • Pengorbanan, yaitu kerelaan untuk pasrah terhadap kematian, khususnya kerelaan untuk mengorbankan ego kita yang lama yang hanya mau mengutamakan diri sendiri.

Jadi, perkawinan adalah terikatnya dua manusia (laki-laki dan perempuan) ke dalam suatu perjanjian (kesepakatan antara dua pihak berdasarkan janji), yang meliputi: pertama, pernyataan akad kesetiaan yang disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain (atau satu sama lain); kedua, penerimaan pernyataan itu oleh pihak yang lain; ketiga, pengetahuan khalayak umum (khususnya jemaat atau para saksi) bahwa ada pernyataan seperti itu; dan keempat, pertumbuhan sambung rasa antara kedua belah pihak berdasarkan dan sebagai ungkapan janji perkawinan.

PERCERAIAN

Pengertian Dasar

Perceraian adalah pisah atau terputusnya suatu hubungan/ikatan sebagai suami-istri yang telah disahkan oleh hukum (baik tata gereja maupun hukum gereja), baik atas kehendak kedua belah pihak maupun atas kehendak salah satu pihak atau sebab-sebab lain ataupun disebabkan oleh salah satu di antara keduanya itu meninggal dunia (bandingkan dengan Rangkuman Hasil Dialog PGI-KWI tentang Perkawinan dan Kawin Campur, di Malang, 12-14 Maret 1987).[14]

Perceraian: Suatu Fakta

John Stott[15] menulis bahwa di Inggris (pada tahun 1980) satu dari tiga perkawinan berakhir dengan perceraian. Penjelasannya adalah bahwa setiap 85 detik ada pasangan yang kawin, tetapi di lain pihak juga terjadi satu perceraian setiap 180 detik atau 3 menit. Sementara di Amerika Serikat lebih mengerikan lagi, karena lebih dari satu setiap dua perkawinan berakhir dengan kegagalan. Hal ini diperkuat oleh Elizabeth Hurlock[16] yang mengatakan bahwa perceraian di Amerka terus mengalami peningkatan yang sangat tajam, khususnya terjadi pada usia perkawinan antara satu hingga tiga tahun. Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan hasil penelitian Josh McDowell dan Bob Hostetler yang mengatakan bahwa sembilan di antara sepuluh (90%) pemuda/pemudi gereja mengukuhkan bahwa Tuhan bermaksud agar perkawinan bisa berlangsung seumur hidup.[17] Meskipun tidak terdapat angka statistik yang akurat, tetapi Penulis juga yakin bahwa kasus perceraian di Indonesia semakin meningkat.

Penyebab Perceraian.[18]

Mengapa pasangan yang tadinya nampak harmonis, pesta perkawinan yang menghabiskan dana miliaran rupiah tetapi berakhir pada perceraian? Menurut Gary R. Collin ada beberapa hal yang sangat potensial sebagai penyebab perceraian, yaitu:

a. Penyelewengan atau ketidakpuasan seksual[19]
b. Pasangan yang kawin terlalu dini/muda
c. Kawin karena terpaksa atau "kecelakaan", dsb.
d. Ketidakmatangan sikap/persiapan mental
e. Lunturnya konsep perkawinan sebagai suatu lembaga yang sakral
f. Kesepian/loneliness
g. Tekanan fisik dan psikis (misalnya: suami penjudi, pemabuk atau penangguran).
h. Pasangan yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.
i. Tidak mempunyai anak/keturunan

Mengamini hal-hal tersebut di atas, Floyd dan Harriet Thatcher menambahkan bahwa soal komunikasi, seringkali justru menjadi masalah yang sangat serius. Misalnya, tidak menganggap pasangan sebagai teman komunikasi yang seimbang (equal), komunikasi tanpa disertai dengan kontak mata, atau bahkan bisa jadi berkomunikasi tanpa kata (communicate without words).[20] Floyd dan Harriet Thatcher juga menggarisbawahi bahwa pasangan yang gila kerja (workaholic) memang menjadi salah satu sumber ketegangan dalam perkawinan.[21] Memang ada kalanya justru untuk hal-hal tertentu dalam intimacy atau hubungan yang intim tidak diperlukan komunikasi verbal. Tetapi pasangan yang jarang berkomunikasi, jelas ini merupakan suatu tanda bahaya. Demikian pula Norman Wright yang menekankan bahwa konflik dan kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi pemicu terjadinya perceraian.[22]Selain hal-hal tsb, Gordon Lindsay[23] juga menegaskan kembali bahwa apa yang telah dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock di depan memang sangat berperan dalam memberikan andil bagi terjadinya perceraian. Tetapi dia masih menambahkan lagi dengan beberapa hal mendasar seperti: tidak adanya kecocokan, kondisi rumah yang amburadul/berantakan, rasa cemuru, cerewet, sakit-sakitan, suka merengek, pandangan rohani yang berbeda, serta tidak dilaksanakannya saat teduh dalam keluarga. Dengan kata lain, bagi Gordon Lindsay, family altar harus menjadi salah satu unsur penting pengikat perkawinan.

Tanda Bahaya Kemungkinan Terjadinya Perceraian

Menurut William V. Arnold dkk.,[24] sebenarnya sebelum terjadi perceraian itu sudah terlihat adanya tanda-tanda yang perlu diwaspadai dan diantisipasi, berupa tanda-tanda awal dan tanda-tanda yang lebih serius. Oleh karena itu suami atau istri harus sudah berhati-hati jika melihat pasangannya menampakkan gejala-gejala tertentu seperti berikut ini:

a. Tanda-tanda awal,
1) Sering menyangkal, bohong dan tidak jujur terhadap pasangannya
2) Menghindari percakapan langsung dengan pasangannya
3) Mengungkit-ungkit masalah yang sudah lalu
4) Acuh tak acuh terhadap pasangannya

b. Tanda-tanda yang lebih serius
1) Putus komunikasi (tanpa kau aku juga bisa), tidak saling tegur
2) Menyerang/menyalahkan yang lain secara terus menerus
3) Menarik diri dari pasangannya (misalnya: tidur dan makan sendiri)
4) Tidak lagi merasa berkewajiban untuk harus memberi (nafkah, kasih, dsb).
5) Merasa sudah kehilanganharga diri, diremehkan
6) Mencari hiburan di luar tanpa pasangannya
7) Ambivalensi, membandingkan dengan orang lain, berandai-andai (misalnya aku kawin dengan si dia, dan bukannya dengan dia, pasti keadaannya akan menjadi lain).

Dampak-dampak Perceraian

a. Terhadap pasangan yang bersangkutan[25]
1) Kesepian yang mendalam. Jikalau dulunya bisa berdua, bersama dengan anak-anak, kini tidak lagi
2) Merasa tidak lagi berharga, kecewa dengan kegagalan perkawinannya
3) Suasana yang sama sekali baru/berbeda
4) Income yang tidak sama dengan dulu sebelum bercerai
5) Pengaruh faktor fisik, psikis dan spiritual.
6) Hubungannya dengan: (a) anak-anak, (b) mantan pasangan, (c) angota keluarga yang lain, (d) teman, (e) tempat kerja, (f) tetangga, (g) gereja, (h) pacar baru, dsb. akan menjadi sangat terganggu.

b. Terhadap anak-anak

Hampir semua ahli, baik rohaniwan, pendidik, konselor maupun dokter pada umumnya berpendapat bahwa yang paling banyak merasakan dampak buruk dari perceraian adalah si anak. Hampir setiap terjadi perceraian persoalan anak pasti menjadi masalah. beberapa tahun lalu pada saat Rini S. Bono[26] yang sudah selama 15 tahun membina rumah tangga dengan rocker Achmad Albar, harus bercerai setelah memiliki 3 orang anak. Pada waktu itu yang paling sulit bagi hakim adalah penentuan tentang siapa yang berhak menjadi wali bagi mereka. Ayah atau ibunya. Kemudian ada pasangan Ahmad Dani dengan Maia Estianti, Anang Hermasyah dan Krisdayanti, dsb. masih banyak lagi pasangan dari orang-orang penting, pejabat, artis, agamawan, hingga orang-orang awam yang mengalami hal yang serupa. Sekali lagi dalam hal ini anaklah yang harus menanggung risiko perceraian orangtua mereka.
Menurut Paul D. Meier[27], anak-anak seperti ini pada umumnya akan menunjukkan sikap-sikap seperti ini:

(1) Merasa malu                           (6) Depresi
(2) Luka hati yang mendalam      (7) Selalu cemas
(3) Withdrawal                             (8) Merasa tidak aman
(4) Tertutup                                  (9) Kurang percaya diri
(5) Sensitif, gampang tersinggung, dsb.

c. Terhadap Tuhan
Paling tidak hal itu dikemukakan oleh Verkuyl[28], yang mengatakan bahwa perceraian itu bagaimana pun jelas akan merusak hubungan antara manusia dengan Tuhan. Manusia tidak lagi menghormati dan menghargai hukum-hukum Tuhan sebagaimana juga telah diucapkan oleh pasangan yang melangsungkan pemberkatan perkawinannya di gereja.

Pandangan Alkitab dan Gereja terhadap Perceraian

Perjanjian Lama

(1) Ulangan 24:1-4. Ayat-ayat ini pada umumnya dipakai oleh mereka yang hendak melegalisasikan perceraian dengan alasan zina. Namun sebenarnya perkataan “tidak senonoh” (Ibrani: erwa dabar) itu terjemahan aslinya adalah disgrace a thing atau uncleanness yang bisa diterjemahkan sebagai “keadaan bertelanjang”, “pamer urat” atau perbuatan yang tidak memperkenankan hati, tidak bersih. Oleh karena itu baik John Murray[29], Walter Kaiser[30] maupun John Stott[31] lebih setuju jika “perbuatan yang tidak senonoh” itu tidak diterjemahkan sebagai zina. Karena hukum untuk zina itu sudah jelas, yaitu dirajam dengan batu sampai mati, bukan “hanya” dicerai, yang dianggapnya terlalu ringan. Itulah sebabnya maka untuk memperkuat argumentasinya John Stott[32] memaparkan bahwa selama abad pertama, kedua golongan partai Farisi yang bertikai masing-masing di bawah pimpinan Rabbi Shammai dan Rabbi Hillel terus memperdebatkan persoalan ini. Shammai dengan tegas mengatakan bahwa perempuan yang kedapatan “telanjang” atau “pamer urat” sudah termasuk dalam kriteria pelanggaran seksual (meskipun tidak jelas kriterianya seperti apa), namun tidak bisa disamakan dengan perzinaan atau tindakan maksiat. Oleh sebab itu jelas bahwa perikop ini tidak bisa dijadikan sebagai suatu landasan yang menghalalkan perceraian.

John Murray malahan dengan sangat tandas mengatakan bahwa itu jelas bukan perzinaan. Ia memberikan argumentasinya berdasarkan fakta-fakta berikut ini:

  • Pentateukh menyatakan bahwa terhadap pelaku zina hukumannya hanya satu, yaitu mati (Imamat 20:10; Ulangan 22:22, bdk. 22:23-27).
  • Ada hukum cemburu (Bilangan 5:23-27). Yaitu jika suami cemburu/mencurigai istrinya telah berbuat serong (bersetubuh) dengan laki-laki lain tetapi tidak ada bukti dan saksi, maka ia harus membawa istrinya kepada imam untuk dikutuk. Jika ia benar berbuat zina, maka ia akan terkena kutuk. Tetapi sebaliknya jika tidak, maka ia harus dibebaskan dan suaminya tidak boleh menceraikannya.
  • Ulangan 22:13-21 juga membicarakan tentang ketidaksucian seorang istri yang diperkirakan tingkah laku pernah bersetubuh dengan laki-laki lain sebelum kawin. Jika memang hal ini bisa dibuktikan, maka perempuan itu juga harus dirajam, bukan hanya diceraikan.
  • Ulangan 22:23-24, berbicara tentang seorang gadis yang sudah bertunangan namun “tidur” dengan seorang laki-laki yang bukan tunangannya, maka kedua orang itu juga harus dirajam dengan batu sampai mati.

(2) Maleakhi 2:16
Dalam ayat ini tidak dikatakan bahwa Allah melarang perceraian, tetapi membenci. Berarti perceraian mungkin saja terjadi, namun tindakan semacam itu adalah tindakan yang sangat dibenci oleh Allah.

Perjanjian Baru

Meskipun cukup banyak bagian Alkitab yang membahas persoalan ini, namun untuk membahas ini hanya akan dikutipkan beberapa bagian penting pernyataan Tuhan Yesus dan Rasul Paulus

Pandangan dan Pengajaran Tuhan Yesus
Prinsip Tuhan Yesus mengenai perkawinan dan perceraian sudah sangat jelas,yaitu: “apa yang sudah dipersatukan (Yunani: sunezeuchen yang artinya disatu”kuk”kan) Allah tidak boleh diceraikan olh manusia” (Mat 19:6; Mrk 10:9). Oleh karena itu jebakan orang Farisi tersebut oleh Tuhan Yesus kemudian dirujuk ke peraturan Musa sebagai suatu konsesi terhadap dosa manusia. Hal ini berarti bahwa :

1) Tuhan Yesus menggarisbawahi bahwa perkawinan itu berlaku/berlangsung untuk selama-lamanya, kecuali dipisahkan oleh kematian.
2) Tuhan Yesus menyatakan bahwa ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Musa dalam hal perceraian sebagai suatu konsesi yang bersifat sementara terhadap dosa manusia.
3) Tuhan Yesus menyebut perkawinan kedua setelah perceraian adalah dosa dan sama dengan perbuatan zina (Mat 19:9; Mrk 10:11; Luk 16:18).
4) Tuhan Yesus “mengizinkan” perceraian dan perkawinan kedua hanya karena satu-satunya alasan, yaitu karena zina (Yunani: porneia, yang menurut Dorothy Marx[33] sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai “barang najis” sehingga tidak harus selalu diterjemahkan zina). Menurut John Stott, ini lebih pada arti pelanggaran atau perbuatan a-susila di bidang seksual.[34]

Secara ringkas sikap Tuhan Yesus terhadap perkawinan dan berceraian itu dapat dibaca dalam Matius 9:4-8 demikian:
4Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." 7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" 8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

Pandangan dan Pengajaran Rasul Paulus

Pengajaran Rasul Paulus tentang perceraian terutama terdapat dalam 1 Korintus 7:10-15. Di situ dapat kita lihat bagaimana prinsip-prinsip Paulus tentang perceraian.

1) Instruksi yang tegas, jelas dan berotoritas. Dalam ayat 10 dikatakan: “Aku perintahkan—tidak, bukan aku—tapi Tuhan.” Ini menyatakan bagaimana tegasnya Paulus dalam hal ini, yang juga dilandasi oleh firman Tuhan.
2) Paulus kembali menggemakan larangan Tuhan Yesus tentang perceraian (bdk alasannya dalam 1 Kor 7:10,11 dan Rm 7:1-3 dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Markus dan Lukas di atas!).
3) Ia memperbolehkan perceraian bukan berdasarkan perbuatan zina, melainkan apabila ditinggalkan oleh pasangannya yang tidak percaya (1 Kor 7:15). Dengan kata lain, inisiatif tetap bukan dari dirinya. Oleh karena itu perkawinan seharusnya merupakan pasangan yang seimbang (2 Kor 6:14; 1 Kor 7:27).

Pandangan Gereja

Sejak lama masalah perceraian ini digumuli oleh para teolog atau pemimpin gereja. Di Inggris, pada tahun 1964 diadakan musyawarah untuk membahas masalah ini, yang kemudian hasilnya diterbitkan dalam “Laporan Uskup Agung Canterbury” yang pada garis besarnya dapat disimpulkan sebagai berikut: “ Perceraian tidak merupakan hukuman bagi pihak yang dianggap bersalah dan hadiah bagi pihak yang dianggap tidak bersalah. Perceraian juga bukan merupakan kegagalan dari satu pihak dan kemenangan bagi pihak lain, melainkan kegagalan dalam “Two in Oneship”.[35] Pernyataan semacam ini tentu bukan berarti melegitimasi perceraian, melainkan semacam “pengertian” atau “kompromi” terhadap perkembangan dan situasi zaman yang memang sudah sedemikian tidak lagi bisa diajak “kompromi”.

Pandangan gereja terhadap perceraian ini tidak sama. Bahkan di kalangan gereja Anglikan saja—menurut Paul Gunadi[36] yang mengutip pendapat dari David Atkinson dalam To Have and To Hold—ada empat pandangan yang berbeda, yaitu: (i) Pandangan “si kaku” (rigorist), yang tidak mengizinkan perceraian. Dasar pemikiran pandangan ini adalah bahwa perkawinan itu memang alamiah, sehingga tidak bisa diceraikan kecuali oleh kematian; disamping itu Tuhan Yesus sendiri juga melarang perceraian itu (Mat 5:32; 19:9 bdk Mrk 10:11 dan Luk 16:18). (ii) Pandangan legislatif. Berpegang kepada ketetapan absolut PB tetapi juga memberikan pengecualian karena kasus perzinaan (Mat 5:32; 19:9) dan apabila ada pasangan yang belum percaya (1 Kor 7:15). (iii) Pandangan standar ganda. Karena pandangan ini membagi perkawinan menjadi dua macam, yaitu perkawinan yang diberkati oleh gereja dan yang disahkan oleh pemerintah, maka mereka mengatakan bahwa yang diberkati di gereja tidak boleh bercerai, sementara yang “hanya” disahkan oleh pemerintah, boleh bercerai. (iv) Pandangan yang lebih liberal. Pandangan ini beranggapan bahwa pada dasarnya perceraian memang harus dihindari, tetapi kalau ternyata perceraian adalah jalan yang terbaik, maka kemungkinan perceraian akan diizinkan.

Tetapi apa pun alasannya, perceraian tetap merupakan suatu dilema. Barangkali secara ringkas pendapat Scheunemann[37] tentang perceraian ini bisa dipakai sebagai suatu rumusan singkat. Scheunemann merumuskannya demikian:

Perceraian bukan kehendak Tuhan, melainkan manusia.
Perceraian bisa dihindari asalkan ada kemauan dan minta pertolongan Tuhan.
Perceraian seringkali merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari

  • Perceraian itu membunuh rumah tangga.

1. Sikap gereja.

1) Sebelum terjadi perceraian.
Sebelum perceraian itu terjadi, maka sebaiknya gereja atau hamba Tuhan perlu mengadakan langkah-langkah preventif-antisipatif. Floyd dan Harriet Thacher mengatakan bahwa pasangan harus tetap ingat pada komitmen bersama sebelum dan pada saat perkawinan.[38] Atau menurut Norman Wright, mereka harus mengingat dan kembali pada “kontrak dan perjanjian” yang telah mereka sepakati bersama.[39]

a. Mengadakan pelayanan mimbar dengan program yang terarah, yang bisa “menyentuh” masalah-masalah keluarga.
b. Menyelenggarakan acara pembinaan keluarga yang dilakukan secara periodik.
c. Mengantisipasi kehidupan keluarga jemaat.
d. Melaksanakan layanan pastoral secara intensif dan efektif.
e. Mendorong pasangan untuk melaksanakan “self-examination” dengan bertanya kepada diri sendiri: “Apakah saya sudah ikut berperan dalam mengatasi masalah perkawinan kami?”
f. .Membantu mengadakan rekonsiliasi terhadap pasangan yang terlibat pertengkaran serius yang bisa mengarah ke perceraian.
g. Mintakan bimbingan Tuhan agar Dia menjadi pemimpin dalam rumah tangga/perkawinan mereka.

2) Setelah terjadi perceraian.

a. Harus bersikap realistis dan bersifat terbuka menerima keadaan bahwa perceraian bisa terjadi, juga terhadap orang-orang Kristen.
b. Tidak mengucilkan, namun juga jangan memberikan tugas-tugas pelayanan agar tidak menjadi batu sandungan.
c. Membimbing dan memberikan pengarahan agar dapat menerima kenyataan dan memperoleh kekuatan/ penguatan.
d. Membimbing agar dapat menempuh cara hidup yang baru.mendorong agar tetap bisa menjalin hubungan atau komunikasi dengan mantan istri atau suami dan anak-anak.

Menurut Landis, sebagaimana dikutip oleh Hurlock,[40] perceraian itu memerlukan penyesuaian tertentu terhadap setiap anggota keluarga. Penyesuaian-penyesuaian penting itu meliputi antara lain:

  • Penyesuaian terhadap pengetahuan bahwa perceraian bisa terjadi.
  • Penyesuaian terhadap penyesuaianitu sendiri.
  • Penyesuaian yang digunakan oleh salah satu pihak (orang tua) anak untuk menentang salah satu dari kedua orang tua anak.
  • Penyesuaian terhadap perilaku kelompok usia sebaya (bagi anak).
  • Penyesuaian terhadap perubahan perasaan (baik anak maupun orang tua).
  • Penyesuaian untuk hidup hanya dengan satu orang tua saja (bagi anak)
  • Penyesuaian untuk hidup sendiri (bagi orang tua).
  • Penyesuaian untuk kemungkinan kawin lagi.
  • Penyesuaian untuk memahami kegagalan dalam keluarga.

Oleh karena perceraian itu bukan merupakan sebuah jalan keluaar terbaik untuk mengatasi permasalahan rumah tangga, maka segala sesuatu harus dibawa ke kaki Tuhan Yesus.[41]

Kesimpulan tentang Perceraian

Dari pokok-pokok pikiran tersebut di atas jelas, bahwa:
Perceraian itu “diizinkan” tetapi tidak diharuskan.
Tidak boleh mementukan kriteria sendiri untuk memutuskan suatumasalah sebagi dalih untuk bercerai.
Allah sangat membeci perceraian (Mal. 2:16), oleh karena itu,
Yang sudah bercerai sebaiknya rujuk kembali (1Kor. 7:11), karena,
Perceraian itu menyakitkan bagi semua pihak.


KAWIN LAGI (REMARIAGE)

Setelah terjadi perceraian, biasanya suami atau istri yang tadinya selalau ada teman di samping yang bisa diajak berbagi rasa suka dan duka kini telah tiada. Ia kembali hidup seorang diri. Banyak yang sudah pernah gagal dalam perkawinan dengan memilih tetap hidup menjanda atau menduda. Tetapi adakalanya mereka bisa langsung kawin lagi. Tetapi tidak jarang pula yang akhirnya kawin lagi setelah waktu yang cukup lama. Menurut Hurlock, para lelaki kebanyakan kawin lagi setelah perceraiannya dibandingkan dengan kaum perempuan.[42]


Pandangan Alkitab

Alktab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memiliki pandangan yang jelas tentang perkawinan ulang (remmariage) ini.

Perjanjian Lama

Melalui Perjanjian Lama diperoleh beberapa konsep tentang perkawinan ulang ini sbb.:
  • Perkawinan ulang untuk menjaga kesucian tugas pelayanan, seorang Lewi tidak diperbolehkan kawin dengan seorang janda, pelacur atau perempuan yang sudah dirusak kesuciannya (Im. 21:7, 19).
  • Seorang laki-laki boleh mengawini perempuan yang sudah diceraikan oleh suaminya. Tetapi jika ternyata perempuan itu tadi diceraikan oleh suami keduanya, maka suami pertamanya tidak boleh mengambilnya kembali sebagai istrinya (Ul. 24:1-4).
  • Jika seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan kemudian mati, maka menjadi suatu kewajiban bagi saudara laki-laki dari suami yang meninggal tadi untuk mengambil perempuan tadi sebagai istrinya, khususnya jika belum memiliki anak (Ul. 25:5-6; bdk. Mat. 22:2; Mrk. 12:19; Luk. 20:28).
  • Rut, kawin lagi dengan Boas (Rut 4).
  • Hosea diperintahkan Tuhan untuk kawin dan kawin lagi dengan seorang perempuan pelacur (Hos. 1:2; 3:1 dyb.).

Dari beberapa contoh kasus dari Perjanjian Lama tadi dapat ditrik kesimpulan bahwa: (1) perkawinan kembali itu diperbolehkan, dengan maksud-maksud khusus. (2) perkawinan dan perkawinan kembali itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan: kesucian, kemanusiaan, keturunan dan penebusan dalam rangka pemenuhan kehendak Allah.

Perjanjian Baru

Pandangan Tuhan Yesus

Dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus menunjukkan sikap dan pandangan yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan Perjanjian Lama. Dari seluruh pengajaran Tuhan Yesus tentang perkawinan itu dpt disimpulakn sbb.:
  • Setiap laki-laki atau perempuan yang menceraikan pasangannya tidak diperbolehkan kawin lagi. Jika mereka masing-masing kawin lagi dengan pasangan yang baru, maka hubungan itu disebut berzina.
  • Tetapi apabila suami menceraikan istrinyakarena istrinya itu telah berzina, maka suami bisa kawin lagi dan perkawinannya itu tidak dikategorikan sebagai perzinaan. Sebaliknya, jika istri yang diceraikan tadi kawin lagi dengan seorang laki-laki lain, maka baik istri atau suami barunya tadi sama-sama disebut berzina. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap ada perzinaan dari salah satu pihak lalu menjadi alasan untuk harus bercerai.
  • Ada indikasi bahwa perkawinan kedua bisa dibenarkan dengan alasan-alasan seperti yang telah disebutkan di dua bagian tersebut di atas (Mat. 5:32 dan 19:9).


Pandangan Rasul Paulus

Dalam pengajarannya, Paulus seakan-akan malah lebih radikal dibandingkan dengan Tuhan Yesus terkait dengan pandangannya soal perkawinan, perceraian dan perkawinan kembali. Hal ini bisa dilihat dari suratnya kepada jemaat di Korintus, sebagaimana dikatakan dalam 1Korintus 7:1-40, yang secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Pasangan yang sudah kawin tidak boleh bercerai (ay. 10, 11)
2) Kalau terpaksa harus bercerai, maka tidak boleh kawin lagi—khususnya bagi yang menceraikan (ay. 11).
3) Janda atau duda cerai mati, bebas untuk kawin kembali jika menghendakinya (ay. 8, 29).
4) Rujuk kembali dengan pasangan akan lebih baik (ay. 11).
5) Jika tahan untuk tidak kawin lagi, itu akan lebih bagus (ay. 8, 40)
6) Jika kawin harus dengan yang seiman—kecuali jika mereka kawin sebelum percaya (ay.39).

Pandangan Gereja

Pada dewasa ini sikap dan pandangan gereja terhadap perkawinan kedua (remarriage) sudah mulai bergeser ke arah yang lebih longgar, sama halnya dengan soal perceraian. Oleh karena itu di kalangan gereja Kristen terdapat beberapa perbedaan pandangan. Pandangan-pandangan itu antara lain:

1) Mengakui kenyataan adanya perceraian, sehingga dengan demikian tidak boleh tidak juga harus bersedia untuk menerima dan memberkati perkawinan kembali di dalam gereja.
2) Mau menerima dan memberkati hanya terhadap pasangan yang diceraikan, dan bukan yang berinisiatif menceraikan.
3) Mau menerima dan memberkati asal pasangannya semula sudah kawin lagi terlebih dahulu.
4) Mau menerima perkawinan secara Kristen, tetapi tidak diberkati di dalam gereja.
5) Tidak mau melaksanakan pemberkatan gerejawi, meskipun menerima kenyataan adanya perkawinan kedua.
6) Tidak menerima sama sekali, apa pun alasannya.

Dalam hal ini Gereja Katolik bersikap lebih tegas.[43] Karena mereka memasukkan perkawinan sebagai salah satu dari tujuh sakramen gereja, maka Gereja Katolik tidak mengakui adaanya perceraian maupun perkawinan kembali. Dalam tatacara Gereja Katolik, pasangan yang sudah diberkati tidak boleh bercerai. Kalaupun ada perceraian, maka harus disahkan oleh Paus dengan status pembatalan perkawinan, dan bukan perceraian.

Penulis sendiri beranggapan, bahwa sebaiknya gereja mengambil sikap yang lebih luwes terhadap masalah perkawinan kembali ini. Bukan berarti menyetujui perceraian sehingga membuka peluang untuk adanya perkawinan kembali, melainkan harus mengambil tindakan-tindakan bijaksana:

1) Menerima perkawinan kedua dengan tetap diberkati bagi pasangan cerai mati.
2) Menerima perkawinan kedua sebagai akibat terjadinya perceraian, khususnya bagi pihak yang diceraikan dengan penyebab terjadinya perceraian bukan ada padanya, namun tidak diberkati melalui upacara gerejawi di dalam gedung gereja.
3) Karena adanya fakta bahwa perceraian tidak bisa dihindari –misalnya karena pasangan yang selalu berada di bawah tekanan, siksaan berkepanjangan dan tindakan lain yang dapat mengancam jiwanya—sehingga terjadi perceraian, maka perkawinan kembali juga mungkin gterjadi dan harus diterima oleh gereja dengan memenuhi prasyarat-prasyarat atau kondisi-kondisi tersebut di atas.


KESIMPULAN AKHIR

Perkawinan adalah penetapan Allah sendiri yang didasarkan pada penetapan dan janji-Nya sejak awal kejadian, dalam rangka melaksanakan kehendak-Nya atas rencana kekal Allah (Kej.2:18-25). Dengan demikian maka perkawinan adalah suatu lenbaga yang suci, yang merupakan suatu bentuk persekutuan yang utuh dan sebagai bentuk ketaatan kita kepada-Nya. Meskipun dalam Gereja Kristen tidak memandang perkawinan sebagai sakramen—sebagaimana Gereja Katolik—namun ikatan perkawinan itu begitu kuat dan bersifat permanen, kekal, dan hanya maut yang bisa memisahkannya (Mat. 19:6; Mrk. 10:9).

Namun oleh karena dosa, naka perkawinan dimungkinkan mengalami kegagalan sehingga terjadi perceraian. Meskipun gereja menganggap perceraian sebagai suatu kesalahan, namun harus diakui adanya kenyataan tersebut dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan baru. Meskipun demikian penulis sangat sependapat, bahwa sebaiknya perkawinan harus dipertahankan sampai titik yang terakhir. Kondisi terjelek dalam perkawinan harus ditanggung sebagai salib Kristus. Oleh karena itu orang Kristen tidak boleh berinisiatif untuk menceraikan pasanganya (1Kor. 7:10, 13, 15). Jika masing-masing pihak berprinsip sedemikian, niscaya perceraian bisa dihindari.

Jika kenyataan perceraian telah kita hadapi, maka gereja pun harus siap untuk menghadapi kawin kedua. Tetapi gereja harus bersikap ekstra hati-hati dalam menghadapi kasus-kasus semacam ini. Jangan main tolak atau asal diterima dan diberkati. Itulah sebabnya maka jika perceraian dan perkawinan kedua terjadi, pelayanan berkelanjutan dari gereja untuk membina iman dan kerohanian orang-orang dengan status baru tersebut harus terus diberikan.

[1] Soetojo Prawirohamidjojo, Perkawinan Campuran Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor I Tahun 1974. (Malang: PPAG, 1996) 1
[2] Lembaga Literatur Baptis, Ajaran Alkitab tentang Perkawinan (Bandung: LLB, 1986) 2-6
[3] Ibid, 7-8.
[4] Walter C. Kaiser, Jr. Toward Old Testament Ethics (Grand Rapids; Zondervan Publishing House, 1983) 181 dyb.
[5] Piet Go, dan Suharto. Kawin Campur: Beda Agama dan Beda Gereja. (Malang: Penerbit Dioma, 1991) 99-102. Bandingkan dengan Kej. 2:24.
[6] John Stott. Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristen (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1993) 393.
[7] George E. Sweazey. In Holy Marriage: A Guide to making Marriage Work. (New York: Harper & Row Publisher, 1966) 8.
[8] Ibid, 96.
[9] Ibid, 90.
[10] Piet Go dan Suharto, Kawin Campur, ..., 24.
[11] Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1991) 309.
[12] H. Norman Wright. Communication: Key to Your Marriage. (Glendale, CA.: A Division of G/L Publications, 1978) 9.
[13] John Stott, Isu-isu, ..., 394.
[14] Piet Go dan Suharto, ..., 100.
[15] John Stott, 370.
[16] Elizabeth Hurlock, ...,. 307-308.
[17] Josh McDowell dan Bob Hostetler. Right from Wrong (Antara Benar dan Salah).(Jakarta: Professional Books, 1997) 339
[18] Gary R. Collin. Christian Counseling: A Comprehensive Guide. Waco, Texas: Word Books Publisher, 1980) 199.
[19] Baru-baru ini di Perancis ada seorang istri yang menggugat suaminya ke pengadilan karena sang suami tidak pernah memberikan kepuasan seksual kepada sang istri selama 21 tahun perkawinan mereka—sebagaimana dikutip oleh TRIBUNNEWS.COM - Sydney Morning Herald, Selasa (6/9/2011).
[20] Floyd & Harriet Thatcher. Long Term Marriage (Waco, Texas: Word Books, 1980) 87-89.
[21] Ibid., 158.
[22] H. Norman Wright. Marital Counseling (Peaboy, Massachusetts: Hendrickson Publ., 1989) 270-1.
[23] Gordon Lindsay. Perceraiaaan dan Pernikahan Ulang (Jakarta: Yayasan PI "Immanuel", 1993) 25 dyb.
[24] William V. Arnold (ed.) Divorce: Prevention or Survival (Philadelphia: The Wesminster Press, 1977) 183
[25] Gary R. Colin, ..., 192-193
[26] Totok Santoso dalam Harian Pagi Surya: Perceraian: Bencana atau Kebahagiaan, 24 April 1994.
[27] Paul D. Meier (et.all). Introduction to Psychology & Counseling. (Grand Rapids: Baker Book House Company, 1982) 165
28] Verkuyl. Etika Seksuil. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963) 111-113
[29] John Murray. Divorce. (Philadelphia: The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1961) 9.
[30] Walter C. Kaiser, Jr., ..., 201.
[31] John Stott, ..., 375-376.
[32] Ibid, 376.
[33] Dorothy I. Marx. New Morality. (Bandung: Penerbit Kalam Hidup, 1973) 117-118.
[34] John Stott, ..., 383.
[35] Dorothy I. Marx. New Morality, 122.
[36] Paul Gunadi. Class Note: Kuliah Keluarga Kristen, SAAT, Mei 1994.
[37] Volkhard Scheunemann dan Gerlinde Scheunemann. Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1979) 110.
[38] Floyd & Harriet Thatcher, Long Term ..., 48-49.
[39] Norman Wright, Marital Counseling..., 188.
[40] Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan, .. 310.
[41] Lindsay, ...,100.
[42] Elizabeth Hurlock, ...316.
[43] Piet Go dan Suharto, ... 100.

1 comment: