SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KEKAYAAN
Hadi P. Sahardjo
Pendahuluan
Mungkin kita adalah sebagian kecil dari banyak orang yang menjadi jengah terhadap perilaku segelintir
orang yang dengan seenaknya tanpa rasa takut (baca: berdosa) korupsi, merampok
uang negara, yang notabene adalah uang rakyat. Tidak hanya dari kalangan
birokrat, tapi juga para politisi Senayan. Repotnya, bak penyakit menular, budaya koruspsi itu
telah menjalar ke semua lini. Karni Ilyas mengatakan: “Kalau eksekutif, yudikatif
legislatifnya saja korupsi, lalu mau dibawa ke mana bangsa ini?” Pertanyaan
yang tidak perlu dijawab dan takkan pernah terjawab. Tetapi apakah sebenarnya yang mendorong
individu untuk melakukan tindakan seperti itu? Kebutuhan? Keinginan? Atau
ketamakan yang telah menghilangkan rasa
kemanusiaan, sehingga manusia telah menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo sacra res
homini).
R. W. Mackey
II, Professor of
Business Administration dari Department of Business Administration,
Pepperdine University, dalam tulisannya
“Proposing A Biblical Approach to Economics” mengaitkan antara ekonomi masyarakat dan kebutuhan
manusia itu memang merupakan masalah manusia yang berakar pada kebutuhan
dan ketidakpuasan yang tidak ada
habisnya. Sejak manusia merasa memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi atau dipuaskan, mereka terus didorong untuk mencari dan memperoleh apa yang diinginkannya itu dengan segala macam
cara.[1]
Selama manusia masih dan terus memiliki kebutuhan, maka masalah itu akan terus
timbul. Celakanya, masalah itu tidak
akan pernah terselesaikan, meskipun apa yang diinginkan itu telah
dicapainya. Mengapa? Karena akan terus
muncul keinginan dan kebutuhan lainnya yang terus berkelanjutan. Keserakahan akan terus berkembang. Mereka lupa—atau
tidak tahu—bahwa orang yang serakah itu tidak akan mendapat bagian dalam
Kerajaan Kristus (Efesus 5:5).
Akar Kebutuhan Ekonomi
Sejak
Kejadian sebenarnya Allah telah berbicara terkait masalah ekonomi. Ketika Adam
dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka
perintah mendasar—yang sebenarnya merupakan suatu bentuk
hukuman—yang disampaikan Tuhan kepada
Adam adalah, “… dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu …” (Kejadian
3:17). Kata yang dipakai untuk bersusah
payah adalah`itstsabown, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris sebagai pain, labour,
hardship, sorrow, toil [2] yang kalau diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti: bekerja keras yang disertai dengan banyak kesulitan dan penderitaan. Sedangkan kata “rezeki” aslinya adalah 'akal yang berarti makan atau makanan. Itu berarti bahwa
untuk memperoleh rezeki atau makanan, seseorang harus bekerja
keras dengan cara membanting tulang terlebih dulu. Jadi tidak ada istilah santai atau
bermalas-malasan dengan harapan rezeki akan datang dengan sendirinya. Tidak ada istilah rezeki instan.
Orang Kristen dan
Ekonomi
Bagaimanakah seharusnya
sikap orang Kristen terhadap soal ekonomi? Perilaku manusia terhadap persoalan ini
seharusnya justru menjadi suatu kesempatan bagi gereja untuk menyatakan
kebenaran tentang ekonomi Allah "oikonomia tou Theou". Dalam Efesus 3:2 disebutkan, “… tugas penyelenggaraan
kasih karunia Allah” yang berasal dari
bahasa Yunani "oikonomian tes kharitos tou
Theou" atau bentuk singkatnya—oikonomia tou Theou (yang berarti ekonomi Allah atau
penyelenggaraan kasih karunia Allah). Oleh karena itu untuk membahas masalah ini perlu sekali
melihat prinsip-prinsip sebagaimana
dikatakan oleh rasul Paulus agar orang-orang Kristen atau jemaat untuk Tuhan bekerja (1Tesalonika 4:10-11;
2Tesalonika 3:10) sebagai suatu kewajiban
sekaligus kebutuhan, namun harus tetap waspada terhadap bahaya mencintai uang (2Timotius 3:2). Pada bagian lain rasul Paulus justru mengingatkan agar orang kaya menjadi kaya
dalam kemurahan hati (1Timotius 6:17-19). Di sisi lain rasul Yakobus juga
memberikan peringatan yang sangat keras terhadap orang-orang yang hidupnya
hanya mengejar kekayaan, karena hidup yang sifatnya sangat sementara—seperti
uap, yang hanya sebentar kelihatan kemudian lenyap tak berbekas (Yakobus 2:1-7;
4:13-5:6).
Salomo malah
mengingatkan demikian, “Jangan bersusah payah untuk
menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah
ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali.”(Amsal 23:4-5).
Secara
teologis-alkitabiah, Mackay[3] menyebutkan bahwa ada tiga hal penting yang harus dilakukan
agar manusia terbebas dari beban ekonomi dan tercukupi kebutuhannya. Pertama, bekerja (working). Allah menciptakan manusia dengan organ tubuh yang
diberikan dengan potensi untuk bekerja.
Semua yang diciptakan untuk kebutuhan manusia (Kejadian 1:29). Namun setelah
jatuh ke dalam dosa, mereka harus mengusahakannya sendiri dengan mengolah tanah
agar bisa makan (Kejadian 3:17-19). Oleh karena itu kitab Amsal mengecam keras orang-orang yang
disebutnya sebagai pemalas, yang dikiaskan seperti “pintu yang berputar pada
engselnya.” Pekerjaannya tidur melulu, enggan bangun dari tempat tidurnya
(Amsal 26:14). Padahal kemalasan adalah
pangkal kemiskinan (26:13). Orang semacam ini selalu gagal untuk melakukan
suatu pekerjaan, bahkan yang paling mudah sekalipun (19:24). Para pemalas itu
akhirnya menjadi beban dan tidak berguna sama sekali bagi orang lain (10:26,
18:9).[4] Pada
akhirnya orang-orang pemalas itu akan menemukan dirinya bangkrut dan kehilangan
segala-galanya (24:30-31). Tepat sekali yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada
jemaat di Tesalonika, kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan. No work, no food!
Sebab, juga waktu
kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika
seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.
Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib
hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak
berguna. Orang-orang yang demikian kami
peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang
melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri
(2Tesalonika 3:10-12).
Kedua, menyimpan (saving). Pengajaran Alkitab jelas sekali. Menurut kitab
Amsal, manusia perlu belajar dari semut
yang rajin dan memiliki naluri menyimpan
[menabung] (6:6-9 dan 30:25). Ayat-ayat ini mengajarkan kepada kita tentang
suatu prinsip hidup yang bijaksana. Kata kunci dari ayat-ayat ini adalah: musim
panas dan musim panen. Waktu musim panas menyiapkan roti, dan ketika musim
panen tiba mengumpulkan makanan. Jadi tidak ada waktu untuk berhenti bekerja.
Semut memberikan teladanan dalam hal ketekunan kerja dan menabung. Menabung
bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk anak-cucunya. Rasul Paulus pun
memberikan tekanan pada soal ini, “…Karena bukan anak-anak
yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk
anak-anaknya.” (2Korintus 12:14). Tetapi contoh yang berkaitan dengan tindakan
Yusuf sebagaimana tercatat dalam Kejadian 41 barangkali bisa dipakai sebagai
salah satu contoh “menabung” atau menyimpan dengan konteks untuk persediaan dan
itu diperuntukkan bagi seluruh penduduk. Ketiga, memberi (giving) sebagai
gaya hidup. Ini sangat paradoks.
Dengan memberi, mestinya berkurang. Tetapi pengajaran Alkitab berbeda. Dengan
memberi kita malah akan menerima. Hidup kekristenan berarti memberi dan
berkorban (Kisah 2:41-47; 1Korintus 16:1-4 dll.). Ini yang dilakukan oleh Tuhan
Yesus, bahkan dengan menyerahkan
diri-Nya hingga mati disalib. Oleh karena itu menjadi manusia jangan serakah.
Tuhan Yesus mengingatkan, “Jangan mengumpulkan "thesaurizo "yang secara harfiah
berarti: menimbun) harta di bumi, karena ngengat dan karat merusakkannya dan
pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga
…” (Matius 6:19-20) dan, “Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Markus
8:36). Kebutuhan hanya akan terpenuhi
dan terpuaskan ketika individu bertemu
dengan firman Allah dan memiliki-Nya secara pribadi. Itulah harta sebenarnya
dan yang bersifat kekal.
Pandangan Kristen tentang Kebutuhann akan Uang
Pandangan Kristen tentang uang tentunya
berlainan sekali dengan pandangan dunia.
Pandangan dunia mengatakan bahwa uang merupakan sesuatu yang kita peroleh
karena usaha kita sendiri, karena nasib baik, atau karena kemujuran. Uang
gunanya bukan hanya dipakai untuk atau demi kepuasan kita, atau menjadi tujuan
akhir, sehingga banyak orang yang menikmati tantangan dalam mencari uang dengan
penuh kerakusan, gairah dan nafsu yang sama seperti ketika mereka
menghabiskannya, sebagaimana dikatakan oleh Hudson Armerding demikian, “Dunia
melihat uang saya sebagai hasil dari usaha saya sendiri. Itu milik
saya. Beberapa ahli teori ekonomi bahkan mengatakan bahwa pajak adalah
perampokan sebab uang-uang itu benar-benar milik individu.” [5] Selanjutnya Armerding mengatakan bahwa pandangan orang
Kristen tentang uang adalah bahwa uang
itu kita miliki agar kita bisa menggunakannya dengan cara-cara yang mendatangkan kemuliaan bagi
Allah.[6]
Kekayaan
Pribadi
Orang Kristen
yang menganut sistem sosialisme menuntut bahwa kekayaan pribadi akan mendorong
keserakahan dan iri hati, sedangkan kepemilikan publik akan menyingkirkan
banyak godaan untuk berdosa. Apakah ini sesuai dengan Alkitab? Irving E. Howard
memberikan jawaban demikian: “Peringan ‘jangan mencuri’ merupakan deklarasi
yang paling jelas tentang hak terhadap kekayaan pribadi di dalam Perjanjian
Lama.[7]
Sebenarnya
hampir di setiap bagian dalam Alkitab yang menyebut tentang hak milik, soal
kepemilikan pribadi dan penatalayanan kekayaan dianggap paling sesuai,
misalnya: Ulangan 8; Rut 2; Yesaya 65:21-22; Yeremia 32:42-44; Mikha 4:1-4;
Lukas 12:13-15; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28, dsb. Calvin Beisner menegaskan melalui sebuah
pertanyaan, “mengapa Alkitab meminta restitusi termasuk pelipatgandaan
restitusi, dalam kasus pencurian bahkan jika membayar restitusi diminta untuk
menjual dirinya ke dalam perbudakan (Keluaran 22)?”[8] Sebenarnya ini juga
sejalan dengan wacana untuk “memiskinkan
para koruptor”. Ini layak, karena pada dasarnya para koruptor juga telah ikut
andil besar dalam “memiskinkan” masyarakat. Dengan jelas Alkitab meminta pertanggungjawaban semacam ini karena Allah telah menganugerahkan kepada
setiap umat manusia hak atas kekayaan tersebut yang memang layak
menjadi miliknya, bukan dengan korupsi dan sebagainya.
Celakanya,
sekarang ini juga banyak orang Kristen yang menjadi pejabat
juga melakukan tindakan tidak terpuji semacam itu—termasuk hamba Tuhan—yang sering
mencari dan memperoleh keuntungan melalui ibadah sebagaimana dikatakan
oleh John Piper. Dengan mengutip 1Timotius 6:5-10 di mana Paulus mengingatkan
Timotius untuk menghadapi guru-guru palsu, yang disebutnya sebagai “penipu
licik” yang mencari keuntungan melalui
peningkatan ibadah di Efesus. Mereka memperlakukan ibadah sebagai sarana untuk
mencari keuntungan.[9]
Bahkan secara vulgar Piper mengatakan bahwa orang-orang itu begitu “ketagihan”
pada sikapnya yang cinta akan uang sehingga kebenaran menempati tempat yang
sangat rendah di dalam afeksi mereka.[10]
Menurut John Piper, sekarang ini banyak hamba Tuhan dan orang-orang Kristen
yang suka mencari keuntungan besar melalui kegiatan-kegiatan ibadah, yang
menjadi sarana atau strategi pemasaran yang ampuh sehingga tidak ada lagi yang
sakral. Sehingga dengan sinis John Piper mengatakan, “Jika ibadah sedang naik
daun, maka juallah ibadah.”[11] Tak
bisa dipungkiri, bahwa ada sementara hamba Tuhan yang bisa kaya raya, sejajar—atau
bahkan melebihi—pengusaha-pengusaha di gerejanya. Mereka bisa mengeruk
keuntungan melalui persembahan-persembahan pribadi jemaatnya. Di samping itu
ada pula beberapa orang yang menyandang label “hamba Tuhan” di kota-kota besar
di Indonesia ini yang menjual jam-jam kebaktian prime time di hotel-hotel yang disewanya kepada pihak lain, yang
tentunya dengan memberikan keuntungan
finansial yang cukup tinggi. Inilah yang
dimaksud oleh John Piper sebagai “pasar ibadah.”[12] Tak
mengherankan bahwa tidak sedikit pula hamba Tuhan yang dengan dalih pelayanan,
lalu sibuk ke sana ke mari menghubungi teman-teman atau hamba Tuhan lain untuk
minta pelayanan. Atau bahasa halusnya “tukar mimbar” dengan hamba Tuhan dari
gereja lain. Pantas saja majelis jemaat lalu mengomel. Hamba Tuhannya itu sibuk
terus, sehingga susah ditemuai karena
selalu ada pelayanan di luar. Alasan lainnya biar gereja kita lebih dikenal, refreshing, dsb. Atau dosen sekolah
teologi yang saban minggu sibuk mengajar di sana-sini dengan dalih pelayanan
dan mengembangkan wawasan dan ilmu—padahal ujung-ujungnya juga urusan kantong
melulu. Tidak mengherankan kalau banyak juga jemaat yang ikut-ikutan
memanfaatkan ibadah untuk mencari keuntungan. Mereka berjual beli produk-produk
tertentu seusai ibadah yang memang telah
dipersiapkan sebelumnya. Ada yang membawa brosur-brosur elektronik,
produk-produk kecantikan, obat atau makanan suplemen, sampai dengan yang lebih
bersifat “rohani” berupa tawaran ziarah ke Israel. Penulis sendiri pernah
menyaksikan bagaimana beberapa anggota jemaat sambil ke gereja membawa
barang-barang dagangan produk MLM, asuransi, kartu kredit dsb. yang dijajakan
seusai kebaktian.
Hak atas
kekayaan itu berasal dari kewajiban kita untuk bekerja. Sesudah mengusir dari
taman Eden, Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras (Kejadian 3:17-19.
Namun dalam kemurahan-Nya, Allah mengizinkan bahwa manusia yang
bersungguh-sungguh memenuhi tugasnya ini akan diupah dengan kekayaan pribadi.
Amsal mengatakan, “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin
menjadikaan kaya.” (Amsal 10:4). Oleh karena itu sebenarnya Allah sendiri yang
telah merancang dunia ini yang keberadaan dari kekayaan pribadinya akan
mendorong manusia menjadi semakin berbuah (lihat 1Tawarikh 29:14).
Orang Kaya dan Orang Miskin
Dalil yang
paling banyak dikemukan oleh orang Kristen tapi penganut faham sosialis atas perlunya
kesetaraan ekonomi adalah pada asumsi bahwa oang kaya itu mengambil kekayaannya
dari orang miskin. Jika pandangan itu benar, maka panggilan para pengikut
sosialis untuk kesetaraan ekonomi mungkin bisa dibenarkan. Meskipun demikian,
pandangan ini jauh dari kenyataan. Menurut David Noebel,[13]
paling tidak ada dua hal mendasar yang harus diperhatikan. Pertama, Alkitab sudah
dengan sangat jelas memberitahukan bahwa
kemiskinan tidak selalu dihasilkan oleh karena eksploitasi orang kaya. Kemiskinan juga tidak
selalu dikaitkan dengan perbuatan dosa atau kemalasan seseorang, meskipun
adakalanya memang demikian. Karena sebenarnya Allah sendiri yang menjadikan
seseorang itu menjadi kaya atau miskin. Namun demikian Ronald
Nash mengatakan demikian, “Hal itu tentu benar, bahwa Alkitab membenarkan kemiskinan kadang-kadang dihasilkan dari
tekanan eksploitasi. Tetapi Alkitab juga mengajarkan bahwa kemiskinan
dihasilkan dari ketidakberuntungan yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan eksploitasi. Ketidakberuntungan
ini termasuk di dalamnya seperti kecelakaan, terluka dan kesakitan
dan—tentu saja—bahwa Alkitab membuat sangat jelas bahwa kemiskinan
dihasilkan dari kemiskinan dan kemalasan (Amsal 6:6-11; 13:4; 24:30-34; 28:19.[14] Pada bagian lain Alkitab juga mencatat bahwa
seorang kaya tidak boleh mengeksploitasi orang miskin, bahkan memerasnya,
seperti memindahkan batas tanah yang lama dan memasuki ladang orang miskin;
merampas hak para janda dan yatim-piatu (Amsal 23:10).
Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim; juga janganlah
engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai. Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu
budak di Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya
aku memerintahkan engkau melakukan hal ini.
Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka
janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak
yatim dan janda supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala
pekerjaanmu. Apabila engkau memetik
hasil pohon zaitunmu dengan memukul-mukulnya, janganlah engkau memeriksa
dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan
janda. Apabila engkau mengumpulkan hasil
kebun anggurmu, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah
bagian orang asing, anak yatim dan janda (Ulangan 24:17-21).
Harus diingat, bahwa Tuhan adalah “Bapa bagi anak yatim
dan pelindung bagi para janda.” (Mazmur 68:6). Karena itu ”Terkutuklah orang yang
memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda... ” Ulangan 27:19).
Pengelolaan Harta
Pertanyaan
yang sering muncul di kalangan orang-orang Kristen adalah, “Bolehkah orang
Kristen kaya? Atau “haruskah orang Kristen kaya?” Why not? Sebenarnya pertanyaan yang lebih tepat adalah, “Mengapa
orang Kristen kaya” atau “untuk apakah orang Kristen kaya?” Untuk menjawab
pertanyaan pertama tentu, boleh. Orang Kristen boleh saja kaya, tetapi—dan ini
jawaban terhadap pertanyaan kedua—tidak
harus. Itu berarti bahwa orang Kristen kaya itu sah. Tidak berdosa.
Tetapi kalau sampai “harus” kaya, maka di sinilah letak masalahnya. Banyak orang
Kristen mengatakan bahwa karena kita orang Kristen, maka harus kaya, tidak
boleh miskin. Itu memalukan Tuhan yang kaya. Atau pernyataan, “kita ini anak
Raja, maka harus kaya.” Masakan anak Raja kok miskin. Sejatinya inilah yang
sering dikumandangkan para penganut aliran kemakmuran. Apanya yang salah? Ya karena kata “harus” itu
tadi. Karena dengan “harus” maka justru akan banyak timbul kejahatan. Banyak
menimbun dosa. Tidak peduli dengan cara apa, yang penting bisa kaya. Itulah
sebabnya maka menjamur berbagai jenis dosa korupsi dan manipulasi sampai dengan
tindakan pencurian, perampokan dsb. Segala cara dihalalkan, yang penting bisa
dapat uang. Kaya. Inilah dosa. Tetapi untuk pertanyaan ketiga dan keempat,
“Mengapa kaya?” dan “untuk apa” semestinya bisa dijawab dengan pernyataan, bahwa kekayaan itu
adalah anugerah Allah—sebagaimana dilakukan Allah terhadap Salomo (1Raja-raja
3:11-15; 10;23; 1Tawarikh 29:12-14) yang harus dipertanggungjawabkan
pemakaiannya secara baik dan tepat bagi kemuliaan-Nya. Bukan untuk memuaskan
diri dan berfoya-foya (bdk. Lukas 16:19-31). Menurut Amsal, kekayaan
yang benar itu diperoleh manakala seseorang bisa belajar rendah diri dan takut
akan Tuhan. Ganjaran terhadap hal itu adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan
(Amsal 22:4). Bukan hanya kaya, tetapi kaya dan kehormatan—dan kehidupan. Orang
yang kaya karena perbuatan curang dan dosa, atau orang yang kaya tetapi kikir,
tidak akan dihormarti, dan tidak bakal mendapat jaminan kehidupan (kekal).
Jadi, apakah
yang semestinya dilakukan oleh orang-orang Kristen kaya dengan harta yang
dimilikinya? Apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen yang diberikan
kemakmuran dan keberhasilan dalam bisnisnya? Inilah jawaban Paulus:
Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan
tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan,
melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala
sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah
agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan
membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik
bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya
(1Timotius 6:17-19).
Pernyataan pulus ini sangat sinkron dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Matius
6:19-21,
Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat
merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di
surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta
mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.
Dari sini jelas, bahwa Tuhan Yesus tidak melarang seseorang untuk mengumpulkan
harta, berinvestasi. Yang dilarang adalah berinvestasi dengan cara yang jahat. Ketika kita
mengeruk keuntungan secara tidak wajar. Memeras orang lain untuk mendapat
keuntungan yang sebesar-besarnya. Berinvestasi secara jahat, jika kita hanya
menempatkan hati ke dalam keamanan dan kenyamanan yang diberikan oleh dunia ini,
di mana kita mengikatkan diri padanya. Berinvestasi jahat, manakala kita
mengharapkan resistusi dari Tuhan untuk pencarian keuntungan yang tidak wajar
lalu memberi persembahan yang “banyak” untuk kepentingan gereja atau pekerjaan
sosial. Seorang teman menceritakan bagaimana seorang pengusaha sangat kaya,
terkenal, Kristen, yang tinggal di Jakarta itu ternyata adalah seorang pengusaha Kristen yang bermuka dua. Di kalangan gereja dan pemerintahan dia dikenal sangat
baik dan dermawan. Tetapi orang-orang di
sekelilingnya, para staf dan
karyawannya yang tahu kehidupannya sehari-hari, bagaimana sikapnya
menghadapi para bawahannya dan bagaimana caranya menjalankan perusahaannya,
dikatakan bahwa “setan pun kalah.” Mengapa bisa begitu? Karena sebenarnya perilaku dan kehidupan sehari-harinya, sikapnya
terhadap para pegawainya sangat jauh dari tindakan seorang Kristen. Karena
pikirnya uanglah yang berkuasa, dan sesungguhnya memang uang dan hartalah yang menjadi tuhannya. Perbuatan baiknya hanya dipakai
untuk menutupi dosa dan kesalahannya.
Dalam bukunya God’s Plans for You J.I. Packer mengutip tulisan Randy Alcorn yang dikutip
dari deskripsi Cyprian yang ditulis dalam buku, Money, Possession and Eternity, mengatakan bahwa, “Harta mereka
membelenggu mereka… membelenggu keberanian, mencekik iman, menghambat penilaian
dan memberangus jiwa. Mereka menganggap diri pemilik padahal justru mereka yang diperbudak oleh harta mereka; mereka
bukan tuan atas uang mereka, tetapi budak.”[15]
Dalam Matius 6:24 Tuhan Yesus menyatakan tentang kemustahilan seseorang untuk
melayani Tuhan, sekaligus melayani mammon. Menolak melayani uang harus menjadi
bagian penting dalam gaya hidup Kristen.
Peringatkanlah kepada orang-orang
kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada
sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam
kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik,
menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian
mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang
akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya (1Timotius 6:17-19).
Mengomentari
ayat-ayat dari Matius 6:19-21 dan 1Timotius 6:17-19 tersebut, J.I. Packer
mengatakan bahwa uang dimaksudkan untuk diberikan dan dipakai demi kebaikan. Uang bukan untuk
dicintai dan ditumpuk; sebaliknya untuk dikelola demi melayani Tuhan dan
sesama. Orang Kristen seharusnya menghemat, bukan mengonsumsi secara
berlebihan. Jika itu berarti orang Kristen tidak dapat hidup sama seperti
orang-orang terkaya di dunia, tidak masalah. Masih banyak hal lebih penting
untuk dilakukan.[16]
Maksud Packer sangat jelas, yaitu agar orang Kristen menggunakan kekayaan
mereka secara bertanggung jawab.
Sementara Mackey, menandaskan bahwa harta yang sesungguhnya, yang jauh lebih berharga daripada emas
atau kekayaan lainnya adalah: jiwa-jiwa manusia (Matius 16:26); kebenaran (Amsal 16:8); hikmat dan
pengetahuan (Amsal 16:16); nama baik (Amsal 22:1); hukum atau perintah Tuhan
(Mazmur 19:10-11); integritas dan harga diri (Amsal 19:1); istri yang bijaksana
(Amsal 31:10); anak-anak yang diberkati (Mazmur 127:3-5); mengenal dan
memercayai Kristus (Filipi 3:7-9) dan mengenal Allah (Yeremia 9:23-24).[17] Hal ini menyatakan bahwa
harta duniawi bukanlah sesuatu yang paling bernilai dalam hidup ini.
Meskipun bukan
buku teks ekonomi, namun dalam Alkitab terdapat banyak sekali informasi
dan gagasan penting berkaitan dengan pandangan serta sikap terhadap soal ekonomi.
Lebih tujuh ratus bagian atau ayat Alkitab yang berbicara baik secara langsung
maupun tidak langsung, tentang uang,
harta atau kekayaan. Kitab Amsal termasuk salah satu yang paling banyak
berbicara tentang harta benda dan kekayaan. Bahkan Tuhan Yesus sendiri lebih banyak
menyinggung dan menyatakan sikap-Nya terhadap harta benda dan uang ini lebih
banyak jika dibandingkan dengan soal surga atau neraka.
Peringatan
Dalam salah satu bagian khotbah-Nya yang
disampaikan di atas bukit, Tuhan Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya demikian:
Janganlah kamu mengumpulkan (harfiah: menimbun, dari kata "thesaurizo" harta di bumi; di bumi
ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi
kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak
merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga
hatimu berada (Matius 6:19-21).
Ayat 21
merupakan ringkasan dari konsep bahwa
sikap pengelolaan dan kepemilikan harta
atau kekayaan itu jelas merupakan suatu indikator dari bagaimana sikap hati
seseorang. Uang dan harta memang merupakan salah satu kebutuhan. Namun dengan serius Pengkhotbah pun mengingatkan, “Siapa mencintai
uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas
dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10). Berapa pun uang
yang dikumpulkan, orang tidak akan pernah puas dengannya. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah Latin yang mengatakan, innamorata
dei tuoi soldi atau sering
hanya disingkat dengan innamorata dei
soldi, yang berarti “orang yang selalu jatuh cinta pada uang.” Uang memang
bisa mengalahkan segalanya. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap sikapnya
dalam upaya untuk memperoleh uang atau harta, termasuk menghalalkan segala
cara. Korupsi, manipulasi, tidak peduli,
merampas hak orang lain, berlaku curang dsb. Seolah-olah sudah merupakan hal
yang biasa, dan bukan merupakan suatu
dosa yang memalukan dan harus dihindari. Yang penting bisa mendapat uang. Namun
konsep Alkitab sangat jelas. Kekekalan
itu lebih penting dari kekayaan (eternity
is better than prosperity). Itulah sebabnya rasul
Paulus mengingatkan kepada orang-orang percaya bahwa, “… kewargaan kita adalah
di dalam surga, …” (Filipi 3:20). Jadi, karena
kita ini warga negara surga, lalu untuk apa terlalu memusingkan hal-hal
dunia? Jika memiliki pemahaman yang
tepat terhadap kreasi ekonomi Allah, niscaya manusia akan dijauhkan dari sifat serakah, menang
sendiri dan tidak peduli. Sebaliknya bisa memuaskan diri dengan apa yang
ada pada kita.
Tetapi pada kenyataannya banyak orang Kristen terbagi dalam isu ekonomi. Di samping ada banyak
orang Kristen yang percaya Alkitab mendorong sebuah sistem kekayaan pribadi dan
tanggung jawab individu dan inisiatif (lih. Yesaya
65:21-22; Yeremia 32:43-44; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28). Sementara di
pihak lain, menurut David A. Noebel,[18]
banyak pula orang Kristen yang secara terbuka memberi dukungan mereka pada
ekonomi sosialis yang mendasarkan pada Kisah Para Rasul 2:44-45. Dalam
kenyataannya sebagian orang Kristen menyatakan bahwa Alkitab mengajarkan sebuah
bentuk Marxisme. Orang-orang ini—teolog-teolog liberal—yang mengharapkan sebuah
bentuk dari sosialisme untuk menghantarkannya ke dalam Kerajaan Surga.[19] Pernyataan demikian merupakan suatu jebakan
yang harus diwaspadai oleh setiap orang Kristen, karena tidak ada sebuah sistem ekonomi –apakah
komunisme, sosialisme atau kapitalisme—yang sanggup menyelamatkan umat manusia.
Tidak ada sebuah sistem ekonomi yang sempurna. Bagaimana pun, ini tidak berarti
bahwa semua sistem ekonomi adalah setara, karena pada kenyataannya sebuah
sistem cukup cocok dengan firman Tuhan
dan dunia kita yang tidak sempurna. Kebanyakan orang mengatakan bahwa kekayaan
berarti kepuasan. Orang Kristen pun percaya bahwa: Allah + Kekayaan = Kepuasan. Tetapi Alkitab mengajarkan
bahwa: Allah + Kepuasan = Kekayaan. Kelompok pertama adalah orang-orang dunia,
yang hanya mementingkan harta kekayaan minus Tuhan. Sedangkan kelompok kedua
adalah
tipikal orang-orang Kristen, yang mengatakan dirinya
percaya kepada Allah dan meyakini bahwa jika percaya kepada Allah, maka Dia
akan memberikan kekayaan, dan karenanya mendapat kepuasan. Karena itu muncul aksioma: orang Kristen
harus kaya karena Tuhan kaya. Atau, “kita adalah anak-anak Raja” jadi jangan
mempermalukan Sang Raja. Kita harus kaya. Jadi pada praktiknya yang dikejar
hanya kekayaan, karena itu yang memberikan kepuasan. Ayat pegangannya antara
lain: Mazmur 37:5; Matius 6:33; Ibrani 13:5 dll. Sedangkan untuk kelompok ketiga, adalah orang-orang yang memiliki prinsip bahwa, Tuhan adalah yang
terutama. Sehingga baik memiliki
ataupun tidak memiliki kekayaan, tetap merasa hidupnya puas karena harta
kekayaannya yang paling utama adalah Allah sendiri.
Uang dan Perumbuhan Rohani
Sekali lagi perlu ditandaskan di sini, bahwa Tuhan
tidak melarang orang Kristen menjadi kaya. Yang dilarang adalah apabila dengan kekayaan itu akan berakibat buruknya relasinya dengan Tuhan. Bagaimana pun, kemiskinan dan kekayaan tetap memiliki pengaruh yang sama bagi
seseorang dalam relasinya dengan Tuhan.
Membawanya makin dekat atau makin menjauh dari Tuhan. Bagaimanakah kelimpahan
atau kekurangan uang dapat memengaruhi pertumbuhan rohani seseorang? Agur,
salah seorang penulis Amsal mengatakan,
Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku
menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya kalau aku kenyang, aku tidak
menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau kalau aku miskin, aku mencuri
dan mencemarkan nama Allahku. (Amsal
30:8-9).
Melalui pernyataannya ini Agur hendak
mengatakan, bahwa kelebihan uang atau harta maupun kekurangan uang,
kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk membawanya mendekat atau menjauh dari Tuhan.[20]
1)
Uang menjadi
pusat dan fokus hidup kita. Di sini uang bisa menjadi berhala. Meski Anda
sudah memiliki banyak uang, Anda akan
terus merasa membutuhkan uang. Mencari, mencari dan mencari lagi. Menambah,
menambah dan menambah lagi. Tidak akan pernah puas. Pikirannya hanya tertuju
pada uang dan bagaimana caranya untuk terus menambahkan uang yang sudah Anda
miliki. Tuhan menjadi tidak terlalu penting. Sebaliknya dengan hanya sedikit
uang atau bahkan tidak memiliki sama sekali, akan menjadikan hidup Anda terus
diliputi banyak kekhawatiran yang bisa merapuhkan iman Anda kepada Tuhan. Memang uang bisa membawa seseorang menjadi lebih dekat dengan Tuhan, sebaliknya uang juga justru malah menjadikan seseorang makin jauh dari Tuhan, karena dia menganggap bahwa durinya adalah "raja uang".
2)
Uang dilihat
secara idealistis. Orang yang memiliki banyak uang akan merasa diri sangat
berkuasa. Apa pun bisa dimiliki asal ada uang. Tetapi dengan hanya sedikit
rupiah yang dimiliki, akan membuat seseorang cenderung berpikir naif, bahwa
jika ada sedikit uang saja, maka semua masalah akan beres.
3)
Uang menjadi
pengganggu pikiran. Orang yang mempunyai banyak uang akan selalu ingin lebih
banyak lagi. Mereka yang tidak cukup mempunyai uang akan terus ingin memiliki
lebih banyak lagi.
4)
Uang menyebabkan
kekhawatiran. Orang yang kaya khawatir kehilangan kekayaan, khawatir
dimanfaatkan karena kekayaannya, khawatir dirampok, dicuri atau ditipu,
sebaliknya orang yang miskin, yang tidak memiliki uang akan terus khawatir
bagaimana cara mendapatkan uang dan membayar semua yang diperlukan.
5)
Uang mengubah
sikap hidup kita. Kekayaan membuat banyak orang menjadi suka curiga, kikir, dan
tak peduli. Di pihak lain, kekurangan uang bisa menyebabkan iri hati dan benci
pada mereka yang kaya, dan bersikap sangat kikir karena takut kekurangan.
6)
Uang dapat
mengubah prioritas hidup manusia. Jika uang lebih mendapat perhat ian, baik
orang kaya mp orang miskin, uang bisa membuat Anda menyintai barang dan
memanfaaatkan orang, perbuatan yang berlawanan dengan yang dikehendaki Tuhan. Rasul Paulus
menyaksikan sekaligus memberikan teladan
jemaat di Filipi, demikian: “Aku tahu apa itu
kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala
perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal
kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal
kekurangan.” (Filipi 4:12). Tepat sekali kata rasul Paulus,
Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah
mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. Karena, seperti yang telah kerap kali
kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak
orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah
kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka,
pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi (Filipi 3:17-19).
1. Harta milik
secara hakiki tidaklah signifikan di luar kecukupan dasar yang diberikan oleh
Allah kita yang berkemurahan.
2. Salah memahami
nilai dari harta milik akan merangsang keserakahan. “salah memandang nilai
harta milik akan membawa orang pada keputsan-keputusan yang ditandai
dengan keserakahan, yang dpt
didefinisikan sebagai suatu hasrat yang
berlebihan untuk uang dan hal-hal y dpt dibeli oleh uang. Tuhan Yesus menyerang orang-orang Farisi
sebagai “penuh ketamakan dan pemuasan keinginan diri” (Matius. 23:25; bdk.
Lukas. 11:39; “penuh ketamakan dan kefasikan”; dalam Lukas 16:14 dilukiskan
sebagai “hamba-hamba uang”. NRSV: “pecinta uang” Natur
menyesatkan dari keserakahan diilustrasikan secara mengerikan dalam perumpamaan
tentang seorang kaya yang bodoh (Lukas 12:16-21).
3. Keserakahan
mendorong gaya hidup mewah, kesombongan, penimbunan,
pemuasan diri, penindasan dan tiadanya kemurahan hati. Pandangan Tuhan Yesus terkait kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Yudaisme Rabinik, mengajarkan untuk
memberi sedekah dan bermurah hati secara ekonomi. Orang-orang yang hatinya
dipersembahkan kepada Allah memberi kepada sesama mereka dengan hati yang terbuka, dan dengan melakukan hal itu mereka berbakti kepada Allah. Lukas 12:33 pararel
dengan Khotbah di Bukit Matius 6:24-34. Tuhan Yesus
mengatakan, “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah.” Kemudian dalam Lukas 14:33-34 Tuhan Yesus
mengatakan, “Demikian pulalah
tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala
miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. Karena di mana hartamu berada, di situ pula hatimu
berada.” Kemudian yang lebih mengerikan, Tuhan Yesus
mengatakan bahwa, “Lebih mudah
seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan
Allah” (Markus 10:25).
4. Tipu daya
kekayaan dapat menghimpit pemuridan dan membahayakan jiwa. Dalam perumpamaan tentang
penabur (Markus 4:3-20//Matius 13:3-23//Lukas 8:4-15) Tuhan Yesus memberikan
garis besar tentang empat jenis tanggapan terhadap firman tentang Kerajaan
Surga (Matius 13:19). Mengutip cuplikan dari karya klasik Tennessee William, Cat on a Hot Tin Roof, yang mengatakan demikian:
“Binatang manusia ini adalah hewan yang pada
akhirnya harus mati. Dan jika ia memiliki uang, ia akan membeli, membeli dan
terus membeli. Dan alasan ia membeli apa pun yang bisa ia beli adalah karena
harapan yang gila bahwa salah satu barang yang ia beli adalah hidup yang kekal—yang mana adalah mustahil.”
5. Tuhan Yesus
mengindentifikasikan diri dengan orang
miskin, dan menjanjikan kelimpahan dan keadilan dalam “pembalikan besar” di
masa depan. Dia melayani di antara orang-orang
miskin di sepanjang masa pelayanan-Nya yang singkat. Memberi mereka makan,
menyembuhkan, dan mencela ketidakadilan yang sistemik yang membuat mereka terus berada dalam kondisi yang menyedihkan.
Perumpamaan-perumpamaan-Nya sering merangkul orang-orang miskin yang sebelumnya
disingkirkan (bdk. Lukas 14:15-24).
Refleksi
Harta memang kita butuhkan. Uang memang masih kita perlukan. Tetapi
jika hal itu sampai memperbudak dan membawa kita menjauh dari Tuhan, masih menjadi prioritaskah itu semua
bagi kehidupan kita? Apa yang dikatakan oleh rasul Yakubus itu
masih relevanm hingga kini, “ 13 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami
berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang
serta mendapat untung", 14 sedang kamu tidak tahu apa yang
akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang
sebentar saja kelihatan lalu lenyap. 15Sebenarnya kamu harus
berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan
itu.” Amin.
____________________
[1] R.W.
Mackey, II. “Proposing A Biblical Approach to Economics” dalam John
MacArthur, Think Biblically (Wheaton, Illinois: Crossway-Books) 297.
[2] Lihat Bible Work7 terkait dengan konten
dimaksud!
[3] R. W
Mackey, II. …, 303-305.
[4] Derek
Kidner, Proverb: An Introduction and
Comentary (Downer Grove, IL: IVP, 1964) 42.
[5] Hudson
T. Armerding, “Pandangan Kristen tentang Uang” dalam: Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen
(Malang-Surabaya-Bandung: Gandum Mas-Yakin-Kalam Hidup, 1989) 911.
[6] Ibid.
[7] Irving
Howard, The Christian Alternative to
Socialism (Arlington, VA: Better Books, 1986), 43.
[8] E. Calvin Beisner, Prosperity and
Poverty: The Compassionate Use of Resources in a World of Scarcity
(Westchester, ILL: Crossway Books, 1988) 66.
[9] John
Piper, Mendambakan Allah [terj.]
(Surabaya: Penerbit Momentum, 2008) 204.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid,
205.
[13] David
A. Noebel, The Battle for Truth [terj.
Peperangan untuk Kebenaran] (Jakarta: YWAM Publishing Indonesia: 2004) 379.
[14] Ronald
Nash, Poverty and Wealth: The Christian
Debate Over Capitalism (Westchester, IL: Crossway ooks, 1987) 63.
[15] J.I.
Packer, God’s Plans for You (Surabaya,
Penerbit Momentum: 2004), 99.
[17] Mackey
II, …, 312.
[19] Ibid.
[21] Glen H. Stassen & David P. Gushee: Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Momentum, 2008) 541-546.
No comments:
Post a Comment