Thursday, January 28, 2016

SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KEKAYAAN


SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KEKAYAAN
Hadi P. Sahardjo
Pendahuluan
Mungkin kita adalah sebagian kecil dari banyak orang yang  menjadi jengah terhadap perilaku segelintir orang yang dengan seenaknya tanpa rasa takut (baca: berdosa) korupsi, merampok uang negara, yang notabene adalah uang rakyat. Tidak hanya dari kalangan birokrat, tapi juga para politisi Senayan. Repotnya,  bak penyakit menular, budaya koruspsi itu telah menjalar ke semua lini. Karni Ilyas mengatakan: “Kalau eksekutif, yudikatif legislatifnya saja korupsi, lalu mau dibawa ke mana bangsa ini?” Pertanyaan yang tidak perlu dijawab dan takkan pernah terjawab. Tetapi apakah sebenarnya yang mendorong individu untuk melakukan tindakan seperti itu? Kebutuhan? Keinginan? Atau ketamakan yang telah menghilangkan rasa kemanusiaan, sehingga manusia telah menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo sacra res homini).
R. W. Mackey II,  Professor  of  Business Administration dari Department of Business Administration, Pepperdine University, dalam tulisannya  “Proposing A Biblical Approach to Economics”  mengaitkan antara ekonomi masyarakat dan kebutuhan manusia itu memang merupakan  masalah manusia yang berakar pada kebutuhan dan ketidakpuasan yang tidak  ada habisnya. Sejak manusia merasa memiliki kebutuhan yang  harus dipenuhi atau dipuaskan,  mereka terus didorong untuk mencari  dan memperoleh apa yang diinginkannya itu dengan segala macam cara.[1] Selama manusia masih dan terus memiliki kebutuhan, maka masalah itu akan terus timbul. Celakanya, masalah itu tidak  akan pernah terselesaikan, meskipun apa yang diinginkan itu telah dicapainya. Mengapa? Karena   akan terus muncul keinginan dan kebutuhan lainnya yang terus berkelanjutan. Keserakahan akan terus berkembang. Mereka lupa—atau tidak tahu—bahwa orang yang serakah itu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus (Efesus 5:5).  


Akar Kebutuhan Ekonomi
Sejak Kejadian sebenarnya Allah telah berbicara terkait masalah ekonomi. Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka  perintah mendasar—yang sebenarnya merupakan suatu bentuk hukuman—yang  disampaikan Tuhan kepada Adam adalah, “… dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu …” (Kejadian 3:17). Kata yang dipakai untuk  bersusah payah adalah`itstsabown, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai pain, labour, hardship, sorrow, toil [2] yang kalau diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti: bekerja keras yang disertai dengan banyak kesulitan dan penderitaan. Sedangkan kata  “rezeki” aslinya adalah 'akal yang berarti makan atau makanan. Itu berarti bahwa untuk memperoleh rezeki atau makanan, seseorang  harus bekerja keras dengan cara membanting tulang terlebih dulu. Jadi tidak ada istilah santai atau bermalas-malasan dengan harapan rezeki akan datang dengan sendirinya. Tidak ada istilah rezeki instan.
Orang Kristen dan Ekonomi
Bagaimanakah seharusnya sikap orang Kristen terhadap soal ekonomi? Perilaku manusia terhadap persoalan ini seharusnya justru menjadi suatu kesempatan bagi gereja untuk menyatakan kebenaran tentang ekonomi Allah "oikonomia tou Theou". Dalam Efesus 3:2 disebutkan, “… tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah” yang   berasal dari bahasa Yunani "oikonomian tes kharitos tou Theou" atau bentuk singkatnya—oikonomia tou Theou (yang berarti ekonomi Allah atau penyelenggaraan kasih karunia Allah). Oleh karena itu untuk  membahas masalah ini perlu sekali melihat  prinsip-prinsip sebagaimana dikatakan oleh rasul Paulus agar orang-orang Kristen atau jemaat untuk Tuhan bekerja (1Tesalonika 4:10-11; 2Tesalonika 3:10) sebagai suatu kewajiban sekaligus kebutuhan, namun harus tetap waspada terhadap  bahaya mencintai uang (2Timotius 3:2). Pada bagian lain rasul Paulus justru mengingatkan agar orang kaya menjadi kaya dalam kemurahan hati (1Timotius 6:17-19). Di sisi lain rasul Yakobus juga memberikan peringatan yang sangat keras terhadap orang-orang yang hidupnya hanya mengejar kekayaan, karena hidup yang sifatnya sangat sementara—seperti uap, yang hanya sebentar kelihatan kemudian lenyap tak berbekas (Yakobus 2:1-7; 4:13-5:6).
Salomo malah mengingatkan demikian, “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali.”(Amsal 23:4-5).
Secara teologis-alkitabiah, Mackay[3]  menyebutkan bahwa ada tiga hal penting yang harus dilakukan agar manusia terbebas dari beban ekonomi dan tercukupi kebutuhannya. Pertama, bekerja (working). Allah menciptakan manusia dengan organ tubuh yang diberikan dengan  potensi untuk bekerja. Semua yang diciptakan untuk kebutuhan manusia (Kejadian 1:29). Namun setelah jatuh ke dalam dosa, mereka harus mengusahakannya sendiri dengan mengolah tanah agar bisa makan (Kejadian 3:17-19). Oleh karena itu  kitab Amsal mengecam keras orang-orang yang disebutnya sebagai pemalas, yang dikiaskan seperti “pintu yang berputar pada engselnya.” Pekerjaannya tidur melulu, enggan bangun dari tempat tidurnya (Amsal 26:14).  Padahal kemalasan adalah pangkal kemiskinan (26:13). Orang semacam ini selalu gagal untuk melakukan suatu pekerjaan, bahkan yang paling mudah sekalipun (19:24). Para pemalas itu akhirnya menjadi beban dan tidak berguna sama sekali bagi orang lain (10:26, 18:9).[4] Pada akhirnya orang-orang pemalas itu akan menemukan dirinya bangkrut dan kehilangan segala-galanya (24:30-31). Tepat sekali yang dikatakan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika, kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan. No work, no food!  
Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.  Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna.  Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri (2Tesalonika 3:10-12).
Kedua menyimpan (saving). Pengajaran Alkitab jelas sekali. Menurut kitab Amsal,  manusia perlu belajar dari semut yang  rajin dan memiliki naluri menyimpan [menabung] (6:6-9 dan 30:25). Ayat-ayat ini mengajarkan kepada kita tentang suatu prinsip hidup yang bijaksana. Kata kunci dari ayat-ayat ini adalah: musim panas dan musim panen. Waktu musim panas menyiapkan roti, dan ketika musim panen tiba mengumpulkan makanan. Jadi tidak ada waktu untuk berhenti bekerja. Semut memberikan teladanan dalam hal ketekunan kerja dan menabung. Menabung bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk anak-cucunya. Rasul Paulus pun memberikan tekanan pada soal ini, “…Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya.” (2Korintus 12:14). Tetapi contoh yang berkaitan dengan tindakan Yusuf sebagaimana tercatat dalam Kejadian 41 barangkali bisa dipakai sebagai salah satu contoh “menabung” atau menyimpan dengan konteks untuk persediaan dan itu diperuntukkan bagi seluruh penduduk. Ketiga, memberi (giving) sebagai gaya hidup. Ini sangat paradoks. Dengan memberi, mestinya berkurang. Tetapi pengajaran Alkitab berbeda. Dengan memberi kita malah akan menerima. Hidup kekristenan berarti memberi dan berkorban (Kisah 2:41-47; 1Korintus 16:1-4 dll.). Ini yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, bahkan dengan  menyerahkan diri-Nya hingga mati disalib. Oleh karena itu menjadi manusia jangan serakah. Tuhan Yesus mengingatkan, “Jangan mengumpulkan "thesaurizo "yang secara harfiah berarti: menimbun) harta di bumi, karena ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga …” (Matius 6:19-20) dan,  “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36).  Kebutuhan hanya akan terpenuhi dan terpuaskan ketika individu  bertemu dengan firman Allah dan memiliki-Nya secara pribadi. Itulah harta sebenarnya dan yang bersifat kekal.
Pandangan Kristen tentang Kebutuhann akan Uang
Pandangan Kristen tentang uang tentunya berlainan sekali dengan  pandangan dunia. Pandangan dunia mengatakan bahwa uang merupakan sesuatu yang kita peroleh karena usaha kita sendiri, karena nasib baik, atau karena kemujuran. Uang gunanya bukan hanya dipakai untuk atau demi kepuasan kita, atau menjadi tujuan akhir, sehingga banyak orang yang menikmati tantangan dalam mencari uang dengan penuh kerakusan, gairah dan nafsu yang sama seperti ketika mereka menghabiskannya, sebagaimana dikatakan oleh Hudson Armerding demikian,Dunia melihat uang saya sebagai hasil dari usaha saya sendiri. Itu  milik  saya. Beberapa ahli teori ekonomi bahkan mengatakan bahwa pajak adalah perampokan sebab uang-uang itu benar-benar milik individu. [5] Selanjutnya Armerding mengatakan bahwa pandangan orang Kristen  tentang uang adalah bahwa uang itu kita miliki agar kita bisa menggunakannya dengan  cara-cara yang mendatangkan kemuliaan bagi Allah.[6]      
Kekayaan Pribadi
Orang Kristen yang menganut sistem sosialisme menuntut bahwa kekayaan pribadi akan mendorong keserakahan dan iri hati, sedangkan kepemilikan publik akan menyingkirkan banyak godaan untuk berdosa. Apakah ini sesuai dengan Alkitab? Irving E. Howard memberikan jawaban demikian: “Peringan ‘jangan mencuri’ merupakan deklarasi yang paling jelas tentang hak terhadap kekayaan pribadi di dalam Perjanjian Lama.[7]
Sebenarnya hampir di setiap bagian dalam Alkitab yang menyebut tentang hak milik, soal kepemilikan pribadi dan penatalayanan kekayaan dianggap paling sesuai, misalnya: Ulangan 8; Rut 2; Yesaya 65:21-22; Yeremia 32:42-44; Mikha 4:1-4; Lukas 12:13-15; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28, dsb.  Calvin Beisner menegaskan melalui sebuah pertanyaan, “mengapa Alkitab meminta restitusi termasuk pelipatgandaan restitusi, dalam kasus pencurian bahkan jika membayar restitusi diminta untuk menjual dirinya ke dalam perbudakan (Keluaran 22)?”[8] Sebenarnya ini juga sejalan dengan  wacana untuk “memiskinkan para koruptor”. Ini layak, karena pada dasarnya para koruptor juga telah ikut andil besar dalam “memiskinkan” masyarakat. Dengan jelas Alkitab meminta pertanggungjawaban semacam ini karena Allah telah menganugerahkan kepada setiap umat manusia hak atas kekayaan tersebut yang memang layak menjadi miliknya, bukan dengan korupsi dan sebagainya
Celakanya, sekarang ini juga banyak orang Kristen yang menjadi pejabat juga melakukan tindakan tidak terpuji semacam itu—termasuk hamba Tuhan—yang sering  mencari dan memperoleh keuntungan melalui ibadah sebagaimana dikatakan oleh John Piper. Dengan mengutip 1Timotius 6:5-10 di mana Paulus mengingatkan Timotius untuk menghadapi guru-guru palsu, yang disebutnya sebagai “penipu licik”  yang mencari keuntungan melalui peningkatan ibadah di Efesus. Mereka memperlakukan ibadah sebagai sarana untuk mencari keuntungan.[9] Bahkan secara vulgar Piper mengatakan bahwa orang-orang itu begitu “ketagihan” pada sikapnya yang cinta akan uang sehingga kebenaran menempati tempat yang sangat rendah di dalam afeksi mereka.[10] Menurut John Piper, sekarang ini banyak hamba Tuhan dan orang-orang Kristen yang suka mencari keuntungan besar melalui kegiatan-kegiatan ibadah, yang menjadi sarana atau strategi pemasaran yang ampuh sehingga tidak ada lagi yang sakral. Sehingga dengan sinis John Piper mengatakan, “Jika ibadah sedang naik daun, maka juallah ibadah.”[11] Tak bisa dipungkiri, bahwa ada sementara hamba Tuhan yang bisa kaya raya, sejajar—atau bahkan melebihi—pengusaha-pengusaha di gerejanya. Mereka bisa mengeruk keuntungan melalui persembahan-persembahan pribadi jemaatnya. Di samping itu ada pula beberapa orang yang menyandang label “hamba Tuhan” di kota-kota besar di Indonesia ini yang menjual jam-jam kebaktian prime time di hotel-hotel yang disewanya kepada pihak lain, yang tentunya dengan  memberikan keuntungan finansial yang cukup tinggi.  Inilah yang dimaksud oleh John Piper sebagai “pasar ibadah.”[12] Tak mengherankan bahwa tidak sedikit pula hamba Tuhan yang dengan dalih pelayanan, lalu sibuk ke sana ke mari menghubungi teman-teman atau hamba Tuhan lain untuk minta pelayanan. Atau bahasa halusnya “tukar mimbar” dengan hamba Tuhan dari gereja lain. Pantas saja majelis jemaat lalu mengomel. Hamba Tuhannya itu sibuk terus, sehingga  susah ditemuai karena selalu ada pelayanan di luar. Alasan lainnya biar gereja kita lebih dikenal, refreshing, dsb. Atau dosen sekolah teologi yang saban minggu sibuk mengajar di sana-sini dengan dalih pelayanan dan mengembangkan wawasan dan ilmu—padahal ujung-ujungnya juga urusan kantong melulu. Tidak mengherankan kalau banyak juga jemaat yang ikut-ikutan memanfaatkan ibadah untuk mencari keuntungan. Mereka berjual beli produk-produk tertentu seusai ibadah  yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Ada yang membawa brosur-brosur elektronik, produk-produk kecantikan, obat atau makanan suplemen, sampai dengan yang lebih bersifat “rohani” berupa tawaran ziarah ke Israel. Penulis sendiri pernah menyaksikan bagaimana beberapa anggota jemaat sambil ke gereja membawa barang-barang dagangan produk MLM, asuransi, kartu kredit dsb. yang dijajakan seusai kebaktian.
Hak atas kekayaan itu berasal dari kewajiban kita untuk bekerja. Sesudah mengusir dari taman Eden, Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras (Kejadian 3:17-19. Namun dalam kemurahan-Nya, Allah mengizinkan bahwa manusia yang bersungguh-sungguh memenuhi tugasnya ini akan diupah dengan kekayaan pribadi. Amsal mengatakan, “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikaan kaya.” (Amsal 10:4). Oleh karena itu sebenarnya Allah sendiri yang telah merancang dunia ini yang keberadaan dari kekayaan pribadinya akan mendorong manusia menjadi semakin berbuah (lihat 1Tawarikh 29:14).
Orang Kaya dan Orang Miskin
Dalil yang paling banyak dikemukan oleh orang Kristen tapi penganut faham sosialis atas perlunya kesetaraan ekonomi adalah pada asumsi bahwa oang kaya itu mengambil kekayaannya dari orang miskin. Jika pandangan itu benar, maka panggilan para pengikut sosialis untuk kesetaraan ekonomi mungkin bisa dibenarkan. Meskipun demikian, pandangan ini jauh dari kenyataan. Menurut David Noebel,[13] paling tidak ada dua hal mendasar yang harus diperhatikan. Pertama,  Alkitab sudah dengan  sangat jelas memberitahukan bahwa kemiskinan tidak selalu dihasilkan oleh karena eksploitasi orang kaya. Kemiskinan juga tidak selalu dikaitkan dengan perbuatan dosa atau kemalasan seseorang, meskipun adakalanya memang demikian. Karena sebenarnya Allah sendiri yang menjadikan seseorang itu menjadi kaya atau miskin.  Namun demikian  Ronald Nash mengatakan demikian, “Hal itu tentu benar, bahwa Alkitab membenarkan  kemiskinan kadang-kadang dihasilkan dari tekanan eksploitasi. Tetapi Alkitab juga mengajarkan bahwa kemiskinan dihasilkan dari ketidakberuntungan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan eksploitasi. Ketidakberuntungan  ini termasuk di dalamnya seperti kecelakaan, terluka dan kesakitan dan—tentu  saja—bahwa  Alkitab membuat sangat jelas bahwa kemiskinan dihasilkan dari kemiskinan dan kemalasan (Amsal 6:6-11; 13:4; 24:30-34; 28:19.[14]  Pada bagian lain Alkitab juga mencatat bahwa seorang kaya tidak boleh mengeksploitasi orang miskin, bahkan memerasnya, seperti memindahkan batas tanah yang lama dan memasuki ladang orang miskin; merampas hak para janda dan yatim-piatu (Amsal 23:10).
Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim; juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai.  Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini.   Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu.  Apabila engkau memetik hasil pohon zaitunmu dengan memukul-mukulnya, janganlah engkau memeriksa dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda.  Apabila engkau mengumpulkan hasil kebun anggurmu, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda (Ulangan 24:17-21).
Harus diingat, bahwa Tuhan adalah “Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda.” (Mazmur 68:6). Karena itu Terkutuklah orang yang memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda... ” Ulangan 27:19).
Pengelolaan Harta
Pertanyaan yang sering muncul di kalangan orang-orang Kristen adalah, “Bolehkah orang Kristen kaya? Atau “haruskah orang Kristen kaya?” Why not? Sebenarnya pertanyaan yang lebih tepat adalah, “Mengapa orang Kristen kaya” atau “untuk apakah orang Kristen kaya?” Untuk menjawab pertanyaan pertama tentu, boleh. Orang Kristen boleh saja kaya, tetapi—dan ini jawaban terhadap pertanyaan kedua—tidak  harus. Itu berarti bahwa orang Kristen kaya itu sah. Tidak berdosa. Tetapi kalau sampai “harus” kaya, maka di sinilah letak masalahnya. Banyak orang Kristen mengatakan bahwa karena kita orang Kristen, maka harus kaya, tidak boleh miskin. Itu memalukan Tuhan yang kaya. Atau pernyataan, “kita ini anak Raja, maka harus kaya.” Masakan anak Raja kok miskin. Sejatinya inilah yang sering dikumandangkan para penganut aliran kemakmuran.  Apanya yang salah? Ya karena kata “harus” itu tadi. Karena dengan “harus” maka justru akan banyak timbul kejahatan. Banyak menimbun dosa. Tidak peduli dengan cara apa, yang penting bisa kaya. Itulah sebabnya maka menjamur berbagai jenis dosa korupsi dan manipulasi sampai dengan tindakan pencurian, perampokan dsb. Segala cara dihalalkan, yang penting bisa dapat uang. Kaya. Inilah dosa. Tetapi untuk pertanyaan ketiga dan keempat, “Mengapa kaya?” dan “untuk apa” semestinya bisa dijawab dengan pernyataan, bahwa kekayaan itu adalah anugerah Allah—sebagaimana dilakukan Allah terhadap Salomo (1Raja-raja 3:11-15; 10;23; 1Tawarikh 29:12-14) yang harus dipertanggungjawabkan pemakaiannya secara baik dan tepat bagi kemuliaan-Nya. Bukan untuk memuaskan diri dan berfoya-foya (bdk. Lukas 16:19-31). Menurut Amsal, kekayaan yang benar itu diperoleh manakala seseorang bisa belajar rendah diri dan takut akan Tuhan. Ganjaran terhadap hal itu adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan (Amsal 22:4). Bukan hanya kaya, tetapi kaya dan kehormatan—dan kehidupan. Orang yang kaya karena perbuatan curang dan dosa, atau orang yang kaya tetapi kikir, tidak akan dihormarti, dan tidak bakal mendapat jaminan kehidupan (kekal).
Jadi, apakah yang semestinya dilakukan oleh orang-orang Kristen kaya dengan harta yang dimilikinya? Apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen yang diberikan kemakmuran dan keberhasilan dalam bisnisnya? Inilah jawaban Paulus:
Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.  Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya (1Timotius 6:17-19).
Pernyataan pulus ini sangat sinkron dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 6:19-21,
Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.  Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.
Dari sini jelas, bahwa Tuhan Yesus tidak melarang seseorang untuk mengumpulkan  harta, berinvestasi. Yang dilarang adalah berinvestasi dengan cara yang jahat. Ketika kita mengeruk keuntungan secara tidak wajar. Memeras orang lain untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Berinvestasi secara jahat, jika kita hanya menempatkan hati ke dalam keamanan dan kenyamanan yang diberikan oleh dunia ini, di mana kita mengikatkan diri padanya. Berinvestasi jahat, manakala kita mengharapkan resistusi dari Tuhan untuk pencarian keuntungan yang tidak wajar lalu memberi persembahan yang “banyak” untuk kepentingan gereja atau pekerjaan sosial. Seorang teman menceritakan bagaimana seorang pengusaha sangat kaya, terkenal, Kristen, yang tinggal di Jakarta itu ternyata adalah seorang pengusaha Kristen yang bermuka dua. Di kalangan gereja dan pemerintahan dia dikenal sangat baik dan dermawan.  Tetapi orang-orang di sekelilingnya, para staf dan karyawannya yang tahu kehidupannya sehari-hari, bagaimana sikapnya menghadapi para bawahannya dan bagaimana caranya menjalankan perusahaannya, dikatakan bahwa “setan pun kalah.” Mengapa bisa begitu? Karena sebenarnya perilaku dan kehidupan sehari-harinya, sikapnya terhadap para pegawainya sangat jauh dari tindakan seorang Kristen. Karena pikirnya uanglah yang berkuasa, dan sesungguhnya memang uang dan hartalah yang menjadi tuhannya. Perbuatan baiknya hanya dipakai untuk menutupi dosa dan kesalahannya.
Dalam bukunya God’s Plans for You J.I. Packer mengutip tulisan Randy Alcorn yang dikutip dari deskripsi Cyprian yang ditulis dalam buku, Money, Possession and Eternity, mengatakan bahwa, “Harta mereka membelenggu mereka… membelenggu keberanian, mencekik iman, menghambat penilaian dan memberangus jiwa. Mereka menganggap diri pemilik padahal justru mereka  yang diperbudak oleh harta mereka; mereka bukan tuan atas uang mereka, tetapi budak.”[15] Dalam Matius 6:24 Tuhan Yesus menyatakan tentang kemustahilan seseorang untuk melayani Tuhan, sekaligus melayani mammon. Menolak melayani uang harus menjadi bagian penting dalam gaya hidup Kristen.
Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.  Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya (1Timotius 6:17-19).
Mengomentari ayat-ayat dari Matius 6:19-21 dan 1Timotius 6:17-19 tersebut, J.I. Packer mengatakan bahwa uang dimaksudkan untuk  diberikan dan dipakai demi kebaikan. Uang bukan untuk dicintai dan ditumpuk; sebaliknya untuk dikelola demi melayani Tuhan dan sesama. Orang Kristen seharusnya menghemat, bukan mengonsumsi secara berlebihan. Jika itu berarti orang Kristen tidak dapat hidup sama seperti orang-orang terkaya di dunia, tidak masalah. Masih banyak hal lebih penting untuk dilakukan.[16] Maksud Packer sangat jelas, yaitu agar orang Kristen menggunakan kekayaan mereka secara  bertanggung jawab.
Sementara Mackey, menandaskan bahwa harta yang sesungguhnya, yang jauh lebih berharga daripada emas atau kekayaan lainnya adalah: jiwa-jiwa manusia (Matius 16:26);   kebenaran (Amsal 16:8); hikmat dan pengetahuan (Amsal 16:16); nama baik (Amsal 22:1); hukum atau perintah Tuhan (Mazmur 19:10-11); integritas dan harga diri (Amsal 19:1); istri yang bijaksana (Amsal 31:10); anak-anak yang diberkati (Mazmur 127:3-5); mengenal dan memercayai Kristus (Filipi 3:7-9) dan mengenal Allah (Yeremia 9:23-24).[17] Hal ini menyatakan bahwa harta duniawi bukanlah sesuatu yang paling bernilai dalam  hidup ini.
Meskipun bukan buku teks ekonomi, namun dalam Alkitab terdapat banyak sekali informasi dan gagasan penting berkaitan dengan pandangan serta sikap terhadap soal ekonomi. Lebih tujuh ratus bagian atau ayat Alkitab yang berbicara baik secara langsung maupun tidak  langsung, tentang uang, harta atau kekayaan. Kitab Amsal termasuk salah satu yang paling banyak berbicara tentang harta benda dan kekayaan. Bahkan Tuhan Yesus sendiri lebih banyak  menyinggung dan menyatakan  sikap-Nya terhadap harta benda dan uang ini lebih banyak jika dibandingkan dengan soal surga atau neraka.
Peringatan
Dalam salah satu bagian khotbah-Nya yang disampaikan di atas bukit, Tuhan Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya  demikian: 
Janganlah kamu mengumpulkan (harfiah: menimbun, dari kata "thesaurizo" harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.  Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Matius 6:19-21).
Ayat 21 merupakan ringkasan dari  konsep bahwa sikap   pengelolaan dan kepemilikan harta atau kekayaan itu jelas merupakan suatu indikator dari bagaimana sikap hati seseorang. Uang dan harta memang merupakan salah satu kebutuhan. Namun dengan serius Pengkhotbah pun mengingatkan, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10). Berapa pun uang yang dikumpulkan, orang tidak akan pernah puas dengannya. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah Latin yang mengatakan, innamorata dei tuoi soldi atau sering hanya disingkat dengan innamorata dei soldi, yang berarti “orang yang selalu jatuh cinta pada uang.” Uang memang bisa mengalahkan segalanya. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap sikapnya dalam upaya untuk memperoleh uang atau harta, termasuk menghalalkan segala cara. Korupsi, manipulasi, tidak  peduli, merampas hak orang lain, berlaku curang dsb. Seolah-olah sudah merupakan hal yang  biasa, dan bukan merupakan suatu dosa yang memalukan dan harus dihindari. Yang penting bisa mendapat uang. Namun konsep Alkitab sangat  jelas. Kekekalan itu lebih penting dari kekayaan (eternity is better than prosperity). Itulah sebabnya rasul Paulus mengingatkan kepada orang-orang percaya bahwa, “… kewargaan kita adalah di dalam surga, …” (Filipi 3:20). Jadi, karena kita ini warga negara surga, lalu untuk apa terlalu memusingkan hal-hal dunia?  Jika memiliki pemahaman yang  tepat terhadap kreasi ekonomi Allah, niscaya manusia akan dijauhkan dari sifat serakah, menang sendiri dan tidak  peduli. Sebaliknya bisa memuaskan diri dengan apa yang ada pada kita.
Tetapi pada kenyataannya banyak orang Kristen terbagi dalam isu ekonomi. Di samping ada banyak orang Kristen yang percaya Alkitab mendorong sebuah sistem kekayaan pribadi dan tanggung jawab individu dan inisiatif (lih. Yesaya 65:21-22; Yeremia 32:43-44; Kisah Para Rasul 5:1-4; Efesus 4:28). Sementara di pihak lain, menurut David A. Noebel,[18] banyak pula orang Kristen yang secara terbuka memberi dukungan mereka pada ekonomi sosialis yang mendasarkan pada Kisah Para Rasul 2:44-45. Dalam kenyataannya sebagian orang Kristen menyatakan bahwa Alkitab mengajarkan sebuah bentuk Marxisme. Orang-orang ini—teolog-teolog liberal—yang mengharapkan sebuah bentuk dari sosialisme untuk menghantarkannya ke dalam Kerajaan Surga.[19]   Pernyataan demikian merupakan suatu jebakan yang harus diwaspadai oleh setiap orang Kristen, karena  tidak ada sebuah sistem ekonomi –apakah komunisme, sosialisme atau kapitalisme—yang sanggup menyelamatkan umat manusia. Tidak ada sebuah sistem ekonomi yang sempurna. Bagaimana pun, ini tidak berarti bahwa semua sistem ekonomi adalah setara, karena pada kenyataannya sebuah sistem cukup cocok dengan  firman Tuhan dan dunia kita yang tidak sempurna. Kebanyakan orang mengatakan bahwa kekayaan berarti kepuasan. Orang  Kristen pun percaya bahwa: Allah + Kekayaan = Kepuasan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa: Allah + Kepuasan = Kekayaan. Kelompok pertama adalah orang-orang dunia, yang hanya mementingkan harta kekayaan minus Tuhan. Sedangkan kelompok kedua adalah tipikal orang-orang Kristen, yang mengatakan dirinya percaya kepada Allah dan meyakini bahwa jika percaya kepada Allah, maka Dia akan memberikan kekayaan, dan karenanya mendapat kepuasan. Karena itu muncul aksioma: orang Kristen harus kaya karena Tuhan kaya. Atau, “kita adalah anak-anak Raja” jadi jangan mempermalukan Sang Raja. Kita harus kaya. Jadi pada praktiknya yang dikejar hanya kekayaan, karena itu yang memberikan kepuasan. Ayat pegangannya antara lain: Mazmur 37:5; Matius 6:33; Ibrani 13:5 dll. Sedangkan untuk kelompok ketiga, adalah orang-orang yang  memiliki prinsip bahwa, Tuhan adalah yang terutama. Sehingga baik memiliki ataupun tidak memiliki kekayaan, tetap merasa hidupnya puas karena harta kekayaannya yang paling utama adalah Allah sendiri.
Uang dan Perumbuhan Rohani
 Sekali lagi perlu ditandaskan di sini, bahwa Tuhan tidak melarang orang Kristen menjadi kaya. Yang dilarang adalah apabila dengan kekayaan itu akan berakibat buruknya  relasinya dengan Tuhan. Bagaimana pun, kemiskinan dan  kekayaan tetap memiliki pengaruh yang sama bagi seseorang  dalam relasinya dengan Tuhan. Membawanya makin dekat atau makin menjauh dari Tuhan. Bagaimanakah kelimpahan atau kekurangan uang dapat memengaruhi pertumbuhan rohani seseorang? Agur, salah seorang penulis Amsal mengatakan,
Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau kalau aku miskin, aku mencuri dan mencemarkan nama Allahku. (Amsal 30:8-9).
Melalui pernyataannya ini Agur hendak mengatakan, bahwa kelebihan uang atau harta maupun kekurangan uang, kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk membawanya mendekat atau menjauh dari Tuhan.[20]
1)     Uang menjadi pusat dan fokus hidup kita. Di sini uang bisa menjadi berhala. Meski Anda sudah  memiliki banyak uang, Anda akan terus merasa membutuhkan uang. Mencari, mencari dan mencari lagi. Menambah, menambah dan menambah lagi. Tidak akan pernah puas. Pikirannya hanya tertuju pada uang dan bagaimana caranya untuk terus menambahkan uang yang sudah Anda miliki. Tuhan menjadi tidak terlalu penting. Sebaliknya dengan hanya sedikit uang atau bahkan tidak memiliki sama sekali, akan menjadikan hidup Anda terus diliputi banyak kekhawatiran yang bisa merapuhkan iman Anda kepada Tuhan. Memang uang bisa membawa seseorang menjadi lebih dekat dengan Tuhan, sebaliknya uang juga justru malah menjadikan seseorang makin jauh dari Tuhan, karena dia menganggap bahwa durinya adalah "raja uang".
2)     Uang dilihat secara idealistis. Orang yang memiliki banyak uang akan merasa diri sangat berkuasa. Apa pun bisa dimiliki asal ada uang. Tetapi dengan hanya sedikit rupiah yang dimiliki, akan membuat seseorang cenderung berpikir naif, bahwa jika ada sedikit uang saja, maka semua masalah akan beres.
3)     Uang menjadi pengganggu pikiran. Orang yang mempunyai banyak uang akan selalu ingin lebih banyak lagi. Mereka yang tidak cukup mempunyai uang akan terus ingin memiliki lebih banyak lagi.
4)     Uang menyebabkan kekhawatiran. Orang yang kaya khawatir kehilangan kekayaan, khawatir dimanfaatkan karena kekayaannya, khawatir dirampok, dicuri atau ditipu, sebaliknya orang yang miskin, yang tidak memiliki uang akan terus khawatir bagaimana cara mendapatkan uang dan membayar semua yang diperlukan.
5)     Uang mengubah sikap hidup kita. Kekayaan membuat banyak orang menjadi suka curiga, kikir, dan tak peduli. Di pihak lain, kekurangan uang bisa menyebabkan iri hati dan benci pada mereka yang kaya, dan bersikap sangat kikir karena takut kekurangan.
6)     Uang dapat mengubah prioritas hidup manusia. Jika uang lebih mendapat perhat ian, baik orang kaya mp orang miskin, uang bisa membuat Anda menyintai barang dan memanfaaatkan orang, perbuatan yang berlawanan dengan  yang dikehendaki Tuhan. Rasul Paulus menyaksikan sekaligus memberikan teladan  jemaat di Filipi, demikian: “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.” (Filipi 4:12). Tepat sekali kata rasul Paulus,
Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi (Filipi 3:17-19).
 Mengakhiri tulisan ini, penulis meringkaskan pendapat Glen H. Stassen & David P. Gushee [21]
1. Harta milik secara hakiki tidaklah signifikan di luar kecukupan dasar yang diberikan oleh Allah kita yang berkemurahan.
2.  Salah memahami nilai dari harta milik akan merangsang keserakahan. “salah memandang nilai harta milik akan membawa orang pada keputsan-keputusan yang ditandai dengan  keserakahan, yang dpt didefinisikan sebagai suatu hasrat yang berlebihan untuk uang dan hal-hal y dpt dibeli oleh uang.  Tuhan Yesus menyerang orang-orang Farisi sebagai “penuh ketamakan dan pemuasan keinginan diri” (Matius. 23:25; bdk. Lukas. 11:39; “penuh ketamakan dan kefasikan”; dalam Lukas 16:14 dilukiskan sebagai “hamba-hamba uang”. NRSV: “pecinta uang”  Natur menyesatkan dari keserakahan diilustrasikan secara mengerikan dalam perumpamaan tentang seorang kaya yang bodoh (Lukas 12:16-21).
3. Keserakahan mendorong gaya hidup mewah, kesombongan, penimbunan, pemuasan diri, penindasan dan tiadanya kemurahan hati. Pandangan Tuhan Yesus terkait kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Yudaisme Rabinik, mengajarkan untuk memberi sedekah dan bermurah hati secara ekonomi. Orang-orang yang hatinya dipersembahkan kepada Allah memberi kepada sesama mereka dengan  hati yang terbuka, dan dengan  melakukan hal itu mereka berbakti kepada Allah. Lukas 12:33 pararel dengan  Khotbah di Bukit Matius 6:24-34. Tuhan Yesus mengatakan, “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah.” Kemudian dalam Lukas 14:33-34 Tuhan Yesus mengatakan, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. Karena di mana hartamu berada, di situ pula hatimu berada.Kemudian yang lebih mengerikan, Tuhan Yesus mengatakan bahwa, “Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 10:25).
4. Tipu daya kekayaan dapat menghimpit pemuridan dan membahayakan jiwa. Dalam perumpamaan tentang penabur (Markus 4:3-20//Matius 13:3-23//Lukas 8:4-15) Tuhan Yesus memberikan garis besar tentang empat jenis tanggapan terhadap firman tentang Kerajaan Surga (Matius 13:19). Mengutip cuplikan dari karya klasik Tennessee William, Cat on a Hot Tin Roof, yang mengatakan demikian:
Binatang manusia ini adalah hewan yang pada akhirnya harus mati. Dan jika ia memiliki uang, ia akan membeli, membeli dan terus membeli. Dan alasan ia membeli apa pun yang bisa ia beli adalah karena harapan yang gila bahwa salah satu barang yang ia beli adalah  hidup yang kekal—yang mana adalah mustahil. 
5. Tuhan Yesus mengindentifikasikan diri dengan  orang miskin, dan menjanjikan kelimpahan dan keadilan dalam “pembalikan besar” di masa depan. Dia melayani di antara orang-orang miskin di sepanjang masa pelayanan-Nya yang singkat. Memberi mereka makan, menyembuhkan, dan mencela ketidakadilan yang sistemik yang membuat mereka  terus berada dalam kondisi yang menyedihkan. Perumpamaan-perumpamaan-Nya sering merangkul orang-orang miskin yang sebelumnya disingkirkan (bdk. Lukas 14:15-24).
Refleksi
Harta memang kita butuhkan. Uang memang masih kita perlukan. Tetapi jika hal itu sampai memperbudak dan membawa kita menjauh dari  Tuhan, masih menjadi prioritaskah itu semua bagi kehidupan kita? Apa yang dikatakan oleh rasul Yakubus itu masih relevanm hingga kini, “ 13 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung", 14 sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. 15Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Amin.
____________________

[1] R.W. Mackey, II. “Proposing A Biblical Approach to Economics” dalam John MacArthur,  Think Biblically (Wheaton, Illinois: Crossway-Books) 297. 
[2] Lihat Bible Work7 terkait dengan konten dimaksud!
[3] R. W Mackey, II. …, 303-305.
[4] Derek Kidner, Proverb: An Introduction and Comentary (Downer Grove, IL: IVP, 1964) 42.
[5] Hudson T. Armerding, “Pandangan Kristen tentang Uang” dalam: Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen  (Malang-Surabaya-Bandung: Gandum Mas-Yakin-Kalam Hidup, 1989) 911.

[6] Ibid.
[7] Irving Howard, The Christian Alternative to Socialism (Arlington, VA: Better Books, 1986), 43.
[8] E. Calvin Beisner, Prosperity and Poverty: The Compassionate Use of Resources in a World of Scarcity (Westchester, ILL: Crossway Books, 1988) 66.

[9] John Piper, Mendambakan Allah [terj.] (Surabaya: Penerbit Momentum, 2008) 204.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 205.
[13] David A. Noebel, The Battle for Truth [terj. Peperangan untuk Kebenaran] (Jakarta: YWAM Publishing Indonesia: 2004) 379.
[14] Ronald Nash, Poverty and Wealth: The Christian Debate Over Capitalism (Westchester, IL: Crossway ooks, 1987) 63.
[15] J.I. Packer, God’s Plans for You (Surabaya, Penerbit Momentum: 2004), 99.
[16] Ibid.,  100.
[17] Mackey II, …, 312.
[18] David A. Noebel, The Battle for ..., 373.
[19] Ibid.
[20] YFC Editors, ... 916-917
[21] Glen H. Stassen & David P. Gushee:  Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Momentum, 2008) 541-546.

No comments:

Post a Comment