SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP KEKAYAAN
Hadi P. Sahardjo
Pendahuluan
Mungkin kita adalah sebagian kecil dari banyak orang yang menjadi jengah terhadap perilaku segelintir
orang yang dengan seenaknya tanpa rasa takut (baca: berdosa) korupsi, merampok
uang negara, yang notabene adalah uang rakyat. Tidak hanya dari kalangan
birokrat, tapi juga para politisi Senayan. Repotnya, bak penyakit menular, budaya koruspsi itu
telah menjalar ke semua lini. Karni Ilyas mengatakan: “Kalau eksekutif, yudikatif
legislatifnya saja korupsi, lalu mau dibawa ke mana bangsa ini?” Pertanyaan
yang tidak perlu dijawab dan takkan pernah terjawab. Tetapi apakah sebenarnya yang mendorong
individu untuk melakukan tindakan seperti itu? Kebutuhan? Keinginan? Atau
ketamakan yang telah menghilangkan rasa
kemanusiaan, sehingga manusia telah menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo sacra res
homini).
R. W. Mackey
II, Professor of
Business Administration dari Department of Business Administration,
Pepperdine University, dalam tulisannya
“Proposing A Biblical Approach to Economics” mengaitkan antara ekonomi masyarakat dan kebutuhan
manusia itu memang merupakan masalah manusia yang berakar pada kebutuhan
dan ketidakpuasan yang tidak ada
habisnya. Sejak manusia merasa memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi atau dipuaskan, mereka terus didorong untuk mencari dan memperoleh apa yang diinginkannya itu dengan segala macam
cara.[1]
Selama manusia masih dan terus memiliki kebutuhan, maka masalah itu akan terus
timbul. Celakanya, masalah itu tidak
akan pernah terselesaikan, meskipun apa yang diinginkan itu telah
dicapainya. Mengapa? Karena akan terus
muncul keinginan dan kebutuhan lainnya yang terus berkelanjutan. Keserakahan akan terus berkembang. Mereka lupa—atau
tidak tahu—bahwa orang yang serakah itu tidak akan mendapat bagian dalam
Kerajaan Kristus (Efesus 5:5).