Pengembangan
Kualifikasi dan
Peran-peran Pelayan
Hamba Tuhan
Hadi P. Sahardjo
Abstrak
Tugas sebagai seorang hamba Tuhan
adalah pelayanan yang sangat spesifik
dan unik, oleh karena melibatkan seluruh aspek kehidupannya, baik aspek spiritual,
emosional, fisikal, psikologikal, intelektual maupun sosial. Itulah sebabnya
maka seorang hamba Tuhan harus senantiasa mampu mengembangkan kualifikasi dan
peran-perannya selaku pelayan Tuhan dan umat-Nya. Tanpa itu semua maka
pelayanan yang dilakukannya hanya akan nampak berhasil secara luar, tetapi
sebenarnya tidak berkualitas sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan Yesus. Oleh karena
itu tekad untuk terus mengembangkan diri menjadi sebuah keniscayaan.
Tugas dan pelayanan hamba Tuhan adalah
pekerjaan Tuhan sendiri melalui tangan manusia yang dipanggil untuk
melayani-Nya. Karena itu seorang hamba Tuhan dalam menjalankan tugas pelayanannya
harus mau meningkatkan keterampilannya dalam segala bidang. Lebih daripada itu seorang
hamba Tuhan harus memiliki kesiapan untuk melayani secara full-time, full-life dan full
hearted.
Kata-kata kunci: Hamba Tuhan, pelayanan, spesifik,
kualifikasi, peran, kualitas, keterampilan, keniscayaan.
Pendahuluan
Pada umumnya gereja-gereja mengharapkan agar hamba Tuhan yang melayani di
gerejanya adalah orang yang serba bisa, mampu melakukan apa saja dan
tanpa cacat. Ini adalah harapan
ideal gereja terhadap hamba Tuhannya.
Tetapi permasalahannya adalah, apakah ada hamba Tuhan yang bisa seperti itu?
Untuk menjadi sempurna, jelas tidak mungkin. Namun jikalau tidak ada, apakah
lalu tidak diperlukan upaya penuntutan dari hamba Tuhan itu sendiri terhadap
hal tersebut? Dengan menyadari tugas
panggilannya sebagai hamba Tuhan, maka sudah seharusnya apabila para hamba
Tuhan terus meng-up grade dirinya.
Hal itu tentunya tidak bisa terjadi
begitu saja, tanpa mau mengenali dirinya terlebih dahulu. Berikut ini akan kita pelajari beberapa pokok yang berkaitan dengan diri gembala sebagai
pemimpin, sekaligus tanggung jawab apa saja yang mesti dilakukannya.
Hamba Tuhan adalah manusia biasa yang
memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Tetapi oleh karena dia menjadi pemimpin rohani bagi
jemaat Tuhan, maka selain penyerahan diri dan panggilan Tuhan atas dirinya, dia
juga harus membekali diri dengan berbagai macam kualifikasi yang dibutuhkan,
baik yang bersifat natural, akademik maupun spiritualnya.
Robert D. Dale[1]
merumuskan tugas-tugas hamba Tuhan ke dalam tiga tugas pokok, yaitu:
memberitakan (proclaim), memimpin (lead)
dan memelihara atau merawat (care). Pertama,
memberitakan meliputi:
(i) pemberitaan firman Tuhan dari mimbar, (ii) memimpin ibadah, (iii)
mengajar/pembinaan. Kedua, memimpin
yakni (i) menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya selaku gembala, (ii)
memanej/mengatur hal-hal yang terkait dengan masalah organisatoris dan
administrasi, sumber-sumber daya dan dana, dan yang ketiga,
memelihara atau merawat, termasuk di dalamnya adalah (i) tugas-tugas pastoral
(konseling) yang dilakukan di bawah atau di luar mimbar gereja serta (ii)
mengembangkan bimbingan jemaat.
Dalam artikel ini secara lebih khusus hanya akan membahas
tentang hal-hal yang berkaitan dengan peran-peran hamba Tuhan dalam
pelayanannya.
Peran-peran Hamba Tuhan
Peran Sebagai
Pribadi
Selaku
manusia, seorang hamba Tuhan, tentu tidak bisa terlepas dari soal pribadinya. Karena pada kenyataannya justru
sikap, perilaku dan kehidupan pribadinya sangat berpengaruh terhadap pelayanan
dan kepemimpinannya. Robert C. Anderson[2] dalam bukunya yang berjudul ”The Effective Pastor” secara panjang
lebar mengupas tentang karakter dan kepribadian seorang hamba Tuhan berdasarkan
1Timotius 3:2-7; 2Timotius 2:24 dan
Titus 1:5-9. Dari ayat-ayat ini Anderson menyimpulkan ada 23 sifat atau
karakter yang harus dimiliki oleh seorang hamba Tuhan atau pemimpin
jemaat/pendeta/gembala sebagai berikut: (1) tidak bercacat, (2 suami dari seorang istri, (3) sabar, (4)
bijaksana, (5) terhormat, (6) ramah, (7) mampu/cakap mengajar, (8) bukan
pemabuk, (9) tak suka bertengkar, (10) lemah lembut, (11) pemurah, (12) tidak
tamak uang, (13) mampu mengatur rumah tangga, (14) bukan seorang yang baru
bertobat, (15) memiliki nama baik di luar gereja, (16) bukan pemarah/
pembenci/pendendam, (17) anak-anaknya mengasihi Tuhan, (18) tidak angkuh, (19)
bukan pemberang, (20) mencintai kebaikan, (21) suka berlaku adil, (22) saleh, dan
(23) bisa mengontrol diri.
Tidak bercacat (1 Timotius
3:2; Titus 1:6-7).
Sebagai pribadi yang selalu dilihat oleh banyak orang,
seorang gembala tidak bisa menyembunyikan diri atas segala perbuatan atau
tingkah lakunya. Segala tingkah lakunya selalu diperhatikan orang. Jangankan
berbuat suatu kesalahan, berbuat baik pun selalu mendapat kecaman atau kritik.
Oleh karena itu seorang gembala perlu selalu mawas diri dan berhati-hati supaya
hidupnya tidak bercacat agar tidak memberikan kesempatan bagi orang lain
mencela kita. Orang tidak akan melihat gelar kita, kerajinan berkunjung
sepanjang minggu, khotbahnya yang menarik setiap hari Minggu, dan sebagainya,
tetapi yang dilihat adalah kehidupan kita. Apakah yang dikatakan (khususnya
dalam khotbah) itu benar-benar sesuai dengan perbuatannya atau tidak. Secara tepat James Stalker dalam bukunya The Preacher and His Models, menuliskan sebagai berikut:
The great purpose for which a minister is settled
in a parish is not to cultivate scholarship, or to visit the people during the
week, or even to preach to them on Sunday, but it is to live among them as a
good man, whose mere presence is a demonstration which cannot be gainsaid that
there is a life possible on earth which is fed from no earthly source, and that
the things spoken of in church on Sabath
are realities.[3]
Suami dari seorang istri (1 Timotius
3:2; Titus 1:6)
Bahwa kekristenan menolak dan mencela perceraian itu sudah
jelas. Jikalau jemaat atau kaum awam saja tidak boleh bercerai, apalagi hamba
Tuhan. Janji perkawinan bahwa; “… akan hidup bersama setia sampai mati, baik
dalam suka maupun duka…,” harus dipertahankan. Tetapi kenyataannya bisa terjadi
tidak demikian. Bagaimana jika
perkawinannya ternyata tidak sebahagia seperti yang diharapkan? Disinilah
akhirnya bisa terjadi penyelewengan. Mungkin tidak sampai bercerai atau
berpoligami. Tetapi pada saat seorang hamba Tuhan mulai berpikiran untuk
menyeleweng, apalagi ditindaklanjuti dengan tindakan yang nyata, maka ini sudah
merupakan bentuk pengkhianatan perkawinan. Oleh karena itu Robert Anderson
menasihati agar hamba Tuhan berjuang untuk menjauhkan diri dari segala macam
godaan yang bisa merusak hubungan suami-istri.[4]
Dapat menahan diri (1 Timotius
3:2)
Alkitab terjemahan LAI baik TB maupun BIS menerjemahkan
istilah Yunani nhfalion (nephalion; nefalion) yang berarti self controlled, yaitu mengontrol, menguasai atau mengendalikan diri. Tindakan ini terutama terkait dengan soal
pengenda-lian hawa nafsu kedagingan.
Seorang hamba Tuhan yang memiliki gaya hidup dan selera tinggi dalam
berpakaian, mobil/kendaraan, makanan dan
sebagainya bisa menjadikannya batu sandungan bagi jemaatnya. Kalau mau hidup
mewah, sebaiknya tidak usah menjadi hamba Tuhan. Tetapi juga tidak lalu berarti
bahwa hamba Tuhan tinggal di gubuk di daerah kumuh, sementara jemaatnya banyak
yang tinggal di daerah elit. Namun sudah seharusnya seorang hamba Tuhan belajar hidup sederhana. Lebih baik dengarkanlah
nasihat Amsal ini:
Taruhlah
sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu!
Jangan
ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu.
Jangan
bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini.
Kalau
engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu
terbang ke angkasa seperti rajawali”.[5]
Bijaksana (1 Timotius
3:2; Titus 1:8)
Bijaksana disini artinya adalah bertindak hati-hati (prudent) atau “menggunakan akal sehat” (sensible) yang dalam Bahasa Yunaninya adalah soofrona, swfrona. Seorang hamba Tuhan jangan bertindak
serampangan, sembrono dan semau gue. Segala sesuatu sebelum bertindak atau
berkata terlebih dahulu harus dipikirkan akibat yang akan ditimbulkannya.
Jangan mengikuti emosi dan “kata hati” sendiri.
Terhormat (1 Timotius
3:2)
Bahasa Indonesia menerjemahkan menjadi “sopan” yang
sebenarnya juga bisa “teratur” diterjemahkan dari Bahasa Yunani “kosmion”, kosmion. Perilaku
sopan (lawan dari tidak senonoh) dan hidup yang teratur akan menjadikan hamba
Tuhan itu dihormai bukan saja oleh jemaatnya, tetapi juga oleh masyarakat.
Ramah (1 Timotius
3:2; Titus 1:8)
Atau “suka memberi tumpangan”. Alkitab mengindikasikan bahwa seorang hamba
Tuhan mesti suka memberi tumpangan (hospitable, philokhenon/ filokenon = filocenon ) atau
menyambut tamu. Itu berarti bahwa ia bersama istrinya harus merelakan sebagian
kamarnya untuk menyambut tamu yang mungkin menginap serta menjamunya. Matius
10:13,14 dsb.
Mampu/cakap mengajar (1Timotius 3:2; 2Timotius 2:24)
Banyak yang menginterpretasikan hal ini secara salah. Supaya
bisa mengajar, maka banyak pendeta atau hamba Tuhan yang setiap harinya
menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk belajar atau membaca buku. Ini
tentu bagus, tetapi belum tentu berguna untuk pelayanannya. Yang penting
adalah, apakah hal ini aplikabel dalam
pelayannya? Bukan sekedar teoretis, tetapi praktis? Yang penting adalah
mengajar melalui kehidupan dan bukan hanya dengan ucapannya. Ingat! Tuhan Yesus
dalam pengajaran-Nya selalu memberikan contoh atau teladan melalui
perbuatan-Nya. Dia mengajar untuk saling melayani, dan Dia sendiri melakukan
hal itu. Dia mengajarkan agar saling mengasihi, dan hal itu telah
dilakukan-Nya. Ucapan-Nya selalu selaras dengan
perbuatan-Nya (Yohanes 13:1-20; 15:9-17; Filipi 2:1-11)
Bukan pemabuk (1 Timotius 3:3; Titus 1:7)
Jangan dikira bahwa tidak ada pendeta yang masih suka minum
minuman keras. Bahkan konon ada pendeta
yang sebelum naik ke mimbar untuk berkhotbah harus “minum” terlebih dulu.
Tujuannya adalah supaya dia memiliki semangat dan keberanian (yang semu) dan
bukannya minta hikmat dan pimpinan Rohkudus.
Bagaimanapun, minum minuman keras tidaklah mencerminkan kekudusan
seorang hamba Tuhan.
Tidak suka bertengkar (1 Timotius 3:3; Titus 1:7)
Ada Hamba Tuhan yang hobinya bertengkar, baik dengan sesama
hamba Tuhan maupun dengan jemaatnya. Tidak bisa cocok dengan siapa pun. Orang
lain di matanya selalu dalam posisi yang salah. Meskipun sebenarnya dia sendiri
yang bersalah, tetapi karena kepintarannya dia bisa memutar balik sedemikian
rupa sampai akhirnya “sepertinya” orang lain yang memang bersalah. Dia juga
merasa bangga setiap kali habis “mengalahkan” orang lain dalam pertengkaran
itu. Dia selalu menganggap dirinya benar dan pantas menang, sementara orang lain
selalu dianggap salah dan
dikalahkan.
Lemah lembut (1 Timotius 3:3; 2 Timotius 2:24)
Menurut Tuhan Yesus, orang yang lemah lembut adalah orang yang berhak mewarisi bumi
(Matius 5:5). Orang yang tidak suka bertengkar, banyak orang yang menyayangi. Banyak
orang yang simpati, dan juga memberi.
Pemurah (1Timotius 3:3; 2Timotius 2:24)
Orang yang pemurah, suka memberi dan suka menolong, memberi
tumpangan, akan diberkati Tuhan. Orang yang seperti ini oleh Tuhan Yesus
disamakan dengan berbuat untuk Tuhan Yesus sendiri. Itulah sebabnya maka Tuhan
Yesus mengatakan: “… ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus,
kamu memberi Aku minum; ketika Aku
seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi
Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu
melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Matius 25:35,36).
Tidak tamak akan uang (1Timotius 3:3; Titus 1:7)
Ada hamba Tuhan yang melayani
motivasi pelayanannya tidak benar. Seringkali hanya karena uang. Ia sibuk pelayanan kesana-kemari, tetapi
dengan tujuan untuk mengumpulkan banyak
uang. Kadang-kadang ia membatalkan pelayanan yang sudah disepakatinya kalau ada
pelayanan yang dinilainya bisa memberikan amplop yang lebih tebal. Hamba Tuhan
semacam ini sebenarnya tidak melayani Tuhan, tetapi melayani dirinya sendiri.
Oleh karena itu baginya tidak menjadi masalah kalau ia harus sering
berpindah “ladang” baru yang
penting bisa lebih “menjamin” masa depan
kehidupannya. Uang telah menjadi nomor satu, sementara Tuhan menjadi nomor dua.
Pelayanannya selalu diukur dan dihitung dengan uang. Hamba Tuhan seperti ini
pada akhirnya pasti tidak akan dipakai oleh Tuhan.
Mampu mengatur rumah tangga (1 Timotius
3:4)
Banyak hamba Tuhan yang keliru dalam memahami pengertian tentang
“mengutamakan Tuhan” . Mereka
beranggapan bahwa mengutamakan Tuhan berarti menomorduakan keluarga atau yang
lainnya. Semua tetap harus dinomorsatukan. Jangan ada yang diabaikan. Untuk ini
dibutuhkan hikmat dari Tuhan, supaya dalam melayani Tuhan kita tidak lalu
mengabaikan keluarga. Banyak keluarga hamba Tuhan yang akhirnya berantakan,
tidak terdapat keharmonisan rumahtangga karena merasa diabaikan oleh
suami/ayah yang adalah hamba Tuhan.
Banyak keluarga hamba Tuhan yang tidak bisa dijadikan contoh oleh jemaatnya.
Padahal seharusnya tidak demikian.
Bukan seorang yang baru bertobat (1 Timotius 3:6)
Jika orang masih baru bertobat, tentu pemahaman dan
pengenalan iman kekristenannya masih belum banyak dan mendalam. Ia mungkin
memiliki kasih dan semangat yang berkobar-kobar. Tetapi jika ia adalah orang
yang baru bertobat, maka ia belum matang
untuk menjadi seorang pemimpin rohani. Kadang-kadang pemahaman teologi atau cara menafsirkan firman Tuhan masih ngawur. Itulah sebabnya biasanya persyaratan seorang
calon mahasiswa sekolah teologi harus sudah menjadi jemaat di suatu gereja atau
sudah dibaptis/sidi sekurang-kurangnya
dua tahun. Selain itu juga untuk menghindari perasaan tinggi hati atau merasa
diri “lebih” apabila orang itu baru
bertobat.
Memiliki nama baik di luar gereja (1 Timotius 3:7)
Kadang-kadang jemaat tidak bisa mengetahui keadaan hamba
Tuhannya di luar gereja. Mungkin di gereja dia kelihatan baik, menyenangkan, tetapi di luar gereja tidak
memberikan kesaksian yang baik, bahkan menjadi batu sandungan bagi orang lain
(Ingat, ada hamba Tuhan yang di gerejanya menjadi teladan rohani yang sangat
baaik, tetapi di luar gereja ternyata dia suka main perempuan).
Bukan pemarah/pembenci/pendendam (2 Timotius
2:24)
Hamba Tuhan yang seperti ini sebenarnya sama dengan memasang jerat bagi dirinya
sendiri. Dia akan mengalami kesulitan
dari sifat buruknya ini. Hamba Tuhan yang tidak bisa mengampuni, selalu menaruh
perasaan benci dan dendam, justru ia sendiri yang menderita, bukan orang yang
dibencinya. Yang tidak bisa tidur nyenyak bukannya orang yang dibenci, tetapi justru dirinya sendiri, karena seperti selalu ada bara api di dalam dirinya.
Anak-anaknya mengasihi
Tuhan (Titus 1:6)
Ingat pameo yang seringkali diucapkan seperti, “kebanyakan
anak hamba Tuhan itu nakal”? Mungkin kita tidak suka dengan hal ini. Tetapi
kenyataannya memang banyak hamba Tuhan yang seperti itu. Mengapa?
Karena banyak hamba Tuhan yang tidak memerhatikan pendidikan dan
kerohanian anak-anaknya. Atau bahkan sering tidak menjadi teladan yang baik
bagi anak-anaknya. Tetapi seorang anak hamba Tuhan, seharusnya dia juga belajar
untuk mengasihi Tuhan. Karena Tuhan memanggil tidak hanya ayahnya selaku
pendeta/hamba Tuhan, melainkan panggilan itu ditujukan bagi seluruh anggota
keluarganya.
Tidak angkuh (Titus 1:7)
Orang ini selalu merasa diri lebih pandai, lebih hebat dari
orang lain. Akibatnya apabila ada orang lain yang melebihi dirinya, ia akan
berusaha dengan berbagai cara untuk menjegal dan “menenggelamkan” orang/hamba Tuhan lainnya. Ia selalu
membandingkan orang lain dengan dirinya. Cenderung meremehkan orang lain. Ia
juga tidak mau mengakui prestas,
kelebihan dan ide-ide orang lain,
tetapi secara diam-diam ia akan melakukan
dan menganggapnya sebagai idenya sendiri.
Bukan pemberang (Titus 1:7)
Termasuk kategori ini adalah orang yang gampang marah
dan tersinggung, tidak mau mendengarkan saran/kritik orang
lain. Saran/kritik yang ditujukan kepadanya selalu ditanggapi secara negatif.
Sering mencari-cari kesalahan orang lain, yang banyak kali berujung pada
pertengkaran.
Menyintai kebaikan (Titus 1:8)
“… suka memberi
tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri..”
Jelas, dan memang harus demikian.
Suka berlaku adil (Titus 1:8)
Adil tidak selalu berarti sama rata. Adil berarti objektif
dan proporsional. Jangan menahan hak orang lain yang memang menjadi
haknya. Seringkali orang tidak bisa
melihat orang lain senang, sehingga ia menahan atau mengurangi haknya. Bukan
oleh karena orang lain mendapat lebih banyak/lebih besar (misalnya gaji,
berkat, dll), tetapi tidak mau kalau orang lain itu menikmati kebahagiaan.
Saleh (Titus 1:8)
Jelas. Ingat arti reverend.
Hamba Tuhan yang tidak menuntut hidup saleh/suci, maka ia akan menjadi seperti
“gong yang gemerincing” atau “tong kosong yang berbunyi nyaring”. Dalamnya
tidak ada apa-apa, tetapi kelihatannya hebat. Kalau pun ia bisa berkhotbah
hebat, itu bukan berasal dari pancaran hatinya, melainkan hati dari
akal/otaknya. Ia tidak akan menjadi teladan rohan yang baik. Meditasi pribadi,
membaca firman Tuhan dan berdoa harus menjadi kebutuhan hidupnya setiap hari.
Bisa mengontrol diri (Titus 1:8)
Mengontrol diri dalam berbagai hal. Ia harus tahu posisi dan
statusnya. Seorang hamba Tuhan harus
selalu meminta hikmat dan kebijaksanaan dari Roh Kudus, supaya apapun yang
dilakukannya selalu dikontrol dan
dipimpin oleh-Nya. Jadilah teladan dan jangan jadi batu sandungan.
Tentu saja sebagai hamba Tuhan tidak boleh merasa cukup puas jika merasa
telah memiliki ”sebagian” atau ”beberapa” dari kriteria yang disebutkan di
atas. Ini adalah kriteria baku yang harus dimiliki dan dituntut oleh setiap
hamba Tuhan. Memang, untuk bisa memenuhi seluruh kriteria seperti itu bukan
persoalan yang gampang. Tetapi yang jelas harus ada penuntutan, seperti yang
dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam salah satu bagian khotbah-Nya di atas bukit, ”Karena itu
haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna
(Matius 5:48).
Lebih lanjut Anderson mengatakan bahwa setiap pemimpin/gembala
harus memiliki panggilan Allah yang unik terhadap dirinya untuk melayani
(Yesaya 6). Dalam hal ini konsekuensinya adalah: (a) harus siap sedia untuk melayani, (b) siap melakukan semua persyaratan
tersebut di atas tanpa reserve dan yang tidak kalah penting, (c ) ia harus
yakin dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa ia bisa dan mampu berkomunikasi
dengan baik terhadap orang-orang yang dilayani.[6]
Bertolak dari sini dapat dirumuskan
bahwa ada banyak hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang
pemimpin jemaat agar bisa menjadi pemimpin yang baik, yang semakin “serupa”
dari segi kepribadian/karakter,
kemampuan, moral dan kerohanian serta dedikasinya dalam pelayanan.
Pertama, soal panggilannya. Panggilan
untuk menjadi hamba Tuhan atau pendeta
sering diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan atau cara. Ada yang mengatakan bahwa mereka
mendapat panggilan langsung dari Tuhan dengan suara-Nya yang dapat didengar (audible voice). Sebagian lagi
mengatakan bahwa mereka mendapat panggilan itu melalui mimpi atau
pengalaman-pengalaman yang bersifat supranatural. Ada lagi yang mengatakan
bahwa Allah memanggilnya melalui sebuah visi khusus. Tapi ada juga yang
mengatakan bahwa mereka mendapat panggilan yang sama dengan orang-orang lain
pada umumnya, hanya saja mereka mau merespons panggilan itu dengan suatu komitmen untuk “menyerahkan
diri” dan bersandar kepada Tuhan supaya bisa melayani. Tapi pada kenyataannya
memang banyak orang yang kurang mengenal dengan jelas bagaimana Tuhan telah
memanaggilnya untuk melayani.[7] Hal ini menyatakan bahwa
pengalaman panggilan setiap orang itu berbeda-beda. Panggilan Tuhan terhadap
Musa untuk memimpin bangsa-Nya berbeda dengan panggilan-Nya terhadap Yesaya
maupun Yeremia. Demikian pula panggilan-Nya terhadap Paulus berbeda dengan
panggilan-Nya terhadap ke-12 murid Tuhan Yesus yang lain. Setiap orang memiliki
panggilan yang unik. Thomas Curtis menyimpulkan, bahwa konsep alkitabiah
tentang panggilan untuk melayani itu semestinya tidak memasukkan faktor visi,
wahyu (ilham) khusus, atau pengalaman supranatural
atau pengalaman mistis lainnya. Baginya, yang penting adalah:[8] (1)
Apakah ia telah benar-benar rela untuk ”melepaskan” segala sesuatu—termasuk
pekerjaannya —karena pelayanan yang akan dilakukannya? [Matius 4:18-22]; (2) Apakah ia
memiliki kualitas sebagai orang
yang injili dan alkitabiah? (3) Apakah ia memiliki karunia-karunia khusus yang
diperlukan untuk melengkapi pelayanannya nanti? (4) Apakah para penatua dan
gereja juga memiliki pikiran yang sama bahwa ia memang ada karunia khusus,
memiliki bakat tertentu serta memiliki kualifikasi moral yang baik? (5) Apakah
hidupnya sesuai dengan doktrin dan pengajarannya? (6) Apakah ia juga bersedia
hidupnya dijadikan sebagai teladan atau contoh bagi domba-dombanya?
Kedua, dalam hal karakter. Karakter atau
kepribadian hamba Tuhan sangat berpengaruh
dalam pelayanannya. Sebagaimana telah dituliskan di atas, Rasul Paulus menegaskan hal ini
berkaitan dengan prasyarat yang harus dimiliki oleh para calon pelayan Tuhan,
dalam hal ini penatua dan diaken. Meskipun demikian hal ini juga berlaku am, untuk
seluruh hamba Tuhan. Kriteria-kriteria semacam inilah yang dibutuhkan. Di sini
tidak akan diuraikan seluruhnya secara lengkap.
David Hocking menegaskan bahwa faktor yang sangat penting yang tidak boleh tidak harus dimiliki oleh
seorang hamba Tuhan atau pemimpin gereja adalah “dapat dipercaya. ”[9]
Hal ini sangat tepat. Karena bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa
dipercaya, baik dalam perkataan dan karakter bisa menjadi seorang pemimpin yang
baik?
Ketiga, berhubungan dengan moralnya.
Seorang hamba Tuhan harus memiliki moral yang baik dan rela menjauhi kenistaan
dosa (Roma 6) serta mau menuntut
kehidupan kerohanian serta terus meningkat-kannya. Ted Engstrom[10] dan Hocking[11] memberikan penekanan bahwa
seorang hamba Tuhan harus selalu meningkatkan dirinya serta memiliki kehidupan
moral yang baik. Itulah sebabnya Richard
Foster mengingatkan para pemimpin, khususnya hamba Tuhan untuk berhati-hati
terhadap 3 (tiga) jenis godaan utama yang sangat potensial bisa menjatuhkan
hamba Tuhan, yaitu seks, uang dan kedudukan atau yang sering kita kenal sebagai
3TA, yaitu harta, takhta dan
seksualitas. Kita tentu masih ingat kasus Pendeta Ted Haggard. Seorang pemimpin
dari 40 juta kaum injili di Amerika. Dia juga salah seorang penasihat George W.
Bush, Jr. dan termasuk salah seorang tim sukses pemilihan presiden untuk
pencalonan Bush maju sebagai presiden pada periode keduanya. Dia sangat
dicintai jemaat karena pelayanannya yang berhasil dengan khotbah-khotbah yang
menarik. Memiliki seorang istri yang cantik dan tiga orang anak yang sudah
menginjak remaja. Termasuk orang yang
paling gencar menyatakan perlawanannya terhadap upaya memasukkan kaum gay ke
dalam dinas kemiliteran Amerika. Pelayanannya di kalangan pelajar dan mahasiswa
dan di penjara sangat berhasil. Tetapi dia jatuh dalam dosa seksual dengan
seorang laki-laki gay. Tedd akhirnya jatuh. Jemaatnya menangisi dalam
ketidakpercayaan akan kejatuhannya. Tapi ini sungguh suatu kenyataan yang
menyakitkan. Hamba Tuhan adalah juga manusia yang bisa jatuh dalam soal harta,
kekuasaan dan seks. Karena itu harus waspada.
Keempat, dalam hal kerohaniannya. Thomas
Curtis[12] mengungkapkan pengalamannya
bahwa setelah banyak disibukkan dengan pelayanan, maka ia seringkali mengalami
kesulitan untuk terus bisa memelihara secara optimal persekutuan pribadinya (personal devotional) dengan Tuhan.
Alasan logis pada umumnya adalah karena pelayanan pastoral-konseling yang
memakan banyak waktu, pertemuan atau rapat-rapat yang seringkali harus sampai
larut malam; kemudian masih harus menyiapkan khotbah, perkunjungan (pembezukan
atau visitasi), penelaahan Alkitab, dsb.
Sehingga alih-alih mendoakan jemaat, berdoa bagi diri sendiri saja
kadangkala sudah tidak memiliki cukup
waktu. Itulah sebabnya maka Richard Lowrence menegaskan bahwa—bagaimana pun—seorang
hamba Tuhan sebagai pemimpin rohani harus memiliki kehidupan doa dan
persekutuan dan penyembahan yang baik dengan Tuhan. Hal ini pada akhirnya akan
dijadikan sebagai bekal dalam memimpin
jemaatnya untuk melakukan hal serupa.
Dengan dia sendiri memiliki kehidupan rohani yang baik, jemaatnya pasti juga
akan terpengaruh dan meneladaninya[13]. Melalui kehidupan
ibadah/persekutuan pribadinya yang baik dengan Tuhan, seorang pemimpin baru
akan layak untuk memimpin dan mendorong jemaatnya melakukan hal yang sama.
Karena begitu pentingnya hal ini, maka
Grady Hardin[14] merasa perlu untuk menuliskan
buku khusus yang berjudul: “The
Leadership of Worship” yang mengupas tentang kepentingan pray
and worship serta bagaimana gembala itu memimpin, mengelola,
menyelenggarakan dan hidup di dalam iklim seperti itu.
Kelima, dalam
kehidupan doanya. Kita sering mendengar ungkapan bahwa “doa adalah nafas hidup
bagi orang percaya”. Hal ini menunjukkan bahwa doa merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan seorang hamba Tuhan, karena doa itulah yang
memberikan kekuatan dan mendatangkan
kuasa untuk tetap bisa melayani Tuhan yang memberikan kekuatan kepadanya
(Efesus 6:18; Yakobus 5:16). Berdoa
sebelum dan sesudah berkhotbah. Berdoa dalam persekutuan doa di gereja. Kita juga berdoa ketika sedang
mengunjungi orang yang sedang sakit, baik di rumah maupun rumah sakit. Kita
juga selalu berdoa dalam acara-acara ucapan syukur, bahkan dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat “duniawi” sekalipun, kita juga berdoa. Misalnya
dalam suatu kegiatan olah raga atau piknik, kita selalu mengawalinya dengan
doa. Segala sesuatu selalu kita awali
dan sertai dengan doa.
Dalam kehidupan sehari-hari di
tengah-tengah masyarakat, kita mungkin dikenal sebagai orang yang suka berdoa.
Tetapi bagaimana halnya dengan kehidupan pribadi kita. Apakah kita tetap bisa
disebut sebagai orang yang suka berdoa (man
of prayer)? Ini adalah suatu ujian
yang berat. Kegiatan yang kita lakukan di depan jemaat atau publik hanyalah merupakan sesuatu yang berkaitan
dengan tugas atau kewajiban kita. Sejauh mana dan bagaimana kita menggunakan
waktu pribadi kita, hal itu akan
menunjuk-kan integritas kerohanian kita.
Curtis mengatakan bahwa doa pribadi kita itu pada akhirnya juga akan menunjukkan
hubungan pribadi kita dengan Tuhan itu seperti apa.[15]
Seringkali kita jumpai dalam Alkitab
bagaimana Allah berbicara dengan umat-Nya ketika mereka sedang berdoa. Allah
menyatakan rencana dan kehendak-Nya atas permintaan Hana yang menganggapnya
telah mandul dalam bentuk pengabulan doa dan jawaban langsung untuk memberinya
seorang anak (1Samuel 1:1-28); atau Imam Zakharia sehingga Tuhan memberikannya
seorang anak, Yohanes Pembaptis (Lukas 1:5-25); atau Kornelius dan Petrus yang
dipertemukan Tuhan melalui doa pribadi mereka. Anak-anak Allah akan kehilangan
hadirat Allah apabila dia telah kehilangan kehidupan doanya. Berdoa itu sangat
penting sebagai sarana untuk “omong-omong” dengan Tuhan. Saya sangat suka
menggunakan akronim doa sebagai
kependekan dari D-atang (untuk) O-mong-omong
(dengan) A-llah. Memang, ketika kita
berdoa, sesungguhnya kita sedang berbicara atau omong-omong dengan Allah. Jadi
dalam berdoa kita jangan hanya
berbicara sendiri dengan mengajukan sederet daftar permohonan, tanpa
memberikan-Nya kesempatan untuk berbicara kepada kita secara pribadi. Ini hanya bisa didapat dengan cara berdiam diri sejenak di hadapan Tuhan.
Keenam, reputasi
dalam hal keuangannya. Seorang hamba Tuhan memang tidak seharusnya berurusan
dengan soal uang. Mestinya prinsip, “… asal ada makanan dan minuman, cukuplah”
(1Timotius 6:8) itu benar-benar bisa menjadi falsafah hidup seorang hamba
Tuhan. Tetapi kadang-kadang seorang
hamba Tuhan memang harus berhadapan dengan suatu realitas yang tidak bisa dihindari antara adanya kebutuhan,
keadaan dan lingkungan sekitar. Suatu
kondisi yang memang bisa menyebabkan
seorang hamba Tuhan sekalipun menjadi bimbang. Belum kalau ada tuntutan
dari keluarga—anak atau istrinya.
Thomas Curtis menuliskan, bahwa menurut
beberapa perusahaan penjamin kredit di Amerika, yang paling banyak memiliki
masalah dengan soal kredit adalah para pendeta dan para salesman perusahaan
asuransi. Bahkan ada ”joke” yang
mengatakan bahwa pekerjaan atau
profesi-profesi yang diawali dengan huruf ”p” merupakan kelompok masyarakat
yang paling banyak bermasalah dengan soal kredit dan hutang. Merekalah adalah
para: pelukis (painter), polisi
(policeman), politikus (politician) dan pendeta (preacher), yang secara nasional
tercatat sebagai kelompok yang bereputasi paling buruk berhubungan dengan soal kredit. Sering macet atau bahkan tidak
bisa membayar. [16] Terlepas dari
sejauh mana kebenaran laporan tersebut, namun paling tidak hal ini telah memberikan suatu gambaran
kepada kita yang menunjukkan bahwa memang ada masalah dengan soal keuangan yang
dihadapi para pendeta atau hamba Tuhan. Tengok saja apa yang pernah dialami
oleh pengkhotbah televisi, Jim Baker, yang akhirnya dijebloskan ke jeruji besi
karena soal uang. Atau masih ingat dengan Ongkowijoyo, yang juga harus
dipenjarakan selama bertahun-tahun karena menipu uang masyarakat dengan dalih
uang yang disimpan akan diberi bunga yang sangat besar? Bagaimana pun, hamba
Tuhan itu ibarat ikan yang dimasukkan
dalam aquarium, yang bisa dilihat oleh siapa saja tanpa kita bisa
menyembunyikan diri. ”Affair”
keuangan kita akan selalu nampak dan dilihat dengan jelas serta terus dinilai
oleh jemaat kita.
Ketujuh, gaya
hidupnya. Sinclair Ferguson mengemukakan
ada tiga hal utama yang harus dijadikan sebagai pola hidup oleh setiap
orang Kristen, khususnya hamba Tuhan, yaitu: harus berjalan dalam kasih,
berjalan dalam terang dan berjalan dalam hikmat[17] (1) Secara positif dapat dikatakan bahwa
berjalan dalam kasih berarti meneladani kasih Kristus yang dinyatakan di atas
kayu salib. Ini
berarti bahwa dalam kasih harus rela memberi diri bagi orang lain. Ferguson
mengutip perkataan Martin Luther yang mengatakan bahwa masalah manusia yang
utama adalah sibuk dengan dirinya sendiri (incurvatus
in se). Di lain pihak, dari segi negatif, berjalan dalam
kasih berarti keberanian untuk berkata ”tidak” terhadap apa yang Allah
juga katakan tidak. Itu berarti bahwa kita harus berani ”menolak” jalan yang lain, pada
saat kita memutuskan untuk berjalan
bersama Allah.[18] (2) Berjalan dalam terang memiliki beberapa ciri, yaitu keterpisahan dari dosa.
Jangan salah! Seorang hamba Tuhan dalam berpakaian akan menjadi sorotan
jemaatnya. Kalau memakai pakaian dengan bahan yang mahal dengan penjahit atau
desainer terkenal, pasti akan dipergunjingkan sebagai hamba Tuhan yang konsumtif dan maunya hidup mewah bak
pengusaha. Apalagi jika mengenakan cincin berlian dan beberapa cincin lain yang
menghiasi jari-jari tangannya. Kalau berkhotbah sepertinya sengaja memamerkan
cincin-cincin mahalnya. Belum lagi kalau istri hamba Tuhan juga berbuat hal
yang sama. Perhiasan yang bergelantungan di
sana-sini. Di jari-jemari, pergelangan tangan, telinga dan di leher.
Bahkan ada yang mengikuti tren memakai gelang pada pergelangan kakinya. Ini
istri direktur atau istri hamba Tuhan? Ditambah lagi dengan mobil yang berkategori mewah, sehingga
sama sekali tidak ada kesan sebagai hamba Tuhan yang harus rela
menderita dan melayani umat-Nya. Saya pernah berjumpa dengan seorang hamba
Tuhan dari salah satu gereja yang besar. Jemaatnya memang ribuan. Ketika saya
memuji mobil barunya, lalu dengan bangga
dan antusiasnya menceritakan bagaimana dia hampir setiap tahun menjual atau
menukarkan mobilnya dengan mobil produk terbaru, meskipun mobilnya itu baru
beberapa bulan dibelinya. Ada pula
seorang hamba Tuhan yang selalu mencoba untuk ”mencicipi” tidur di hotel yang
baru diresmikan bersama dengan keluarganya, dengan alasan ”yang penting sudah
pernah mencoba dan marasakan menginap di hotel berbintang yang bagus.” Wah,
kalau demikian, ini namanya untuk kepuasan atau kebutuhan? Sangat mengenaskan!
Seorang hamba Tuhan seharusnya bisa menempatkan diri di tengah jemaatnya.
Kalau seluruh jemaatnya memiliki tingkat kesejahteraan hidup di atas rata-rata,
bolehlah seorang hamba Tuhan menampakkan gaya hidup yang agak ”sedikit” mewah
supaya kita bisa menempatkan diri bersama mereka. Tetapi jika ternyata masih banyak juga anggota jemaat yang kehidupannya pas-pasan, bahkan
cenderung berkekurangan, maka apabila hamba Tuhan memiliki pola hidup yang demikian,
hal itu justru hanya akan menyakiti hati
mereka dan menjadikan batu sandungan. Hal ini sudah barang tentu akan
menimbulkan jarak atau menciptakan gap
antara gembala dengan dombanya. Antara pendeta dengan jemaatnya. Tentu saja seorang hamba Tuhan juga tidak boleh lalu bersikap terlalu ekstrem, sehingga mengenakan
pakaian pun teramat sederhana—yang
itu-itu saja—yang pada akhirnya justru
akan memermalukan diri dan jemaatnya. Pernah suatu ketika saya
menghadiri acara kebaktian penghiburan di tempat seorang yang cukup kaya dan terpandang.
Pendeta yang berkhotbah mengenakan kemeja putih yang sudah kelihatan tua yang
pada bagian sakunya ada bekas tinta. Dasi yang dikenakan pun berwarna hitam
yang warnanya sudah memudar, berukuran kecil, mungkin peninggalan kakeknya.
Akhirnya sepanjang khotbahnya itu banyak orang yang ngrasani (menggosipi) hamba Tuhan tersebut yang seakan-akan sengaja
memberitahukan keadaannya kepada tuan rumah atau jemaat yang hadir. Padahal
saya tahu hamba Tuhan tersebut melayani di sebuah gereja yang cukup baik. Boleh sederhana, tetapi jika menampakkan
diri terlalu sederhana, padahal sebenarnya dia bisa tampil lebih baik, maka hal
itu pada akhirnya justru akan memermalukan Tuhan dan dirinya
sendiri. Almarhum dosen saya, Pendeta
Mattew Sie, yang mengungkapkan motto hidup pelayanannya dengan kalimat singkat,
”Simplicity is the way of my life”. Ini memang sesuai dengan gaya hidupnya yang
sederhana, tetapi tidak memermalukan Tuhan.
Seorang hamba
Tuhan memang jangan sampai menonjolkan kekayaan dan kemewahannya sehingga
jemaat tidak berani mendekatinya, sebaliknya juga jangan terlalu menunjukkan
kemiskinannya agar mendapatkan simpati jemaat tetapi akhirnya justru
direndahkan dan memermalukan Tuhan maupun dirinya sendiri. Tepat sekali nasihat
Amsal yang demikian, “Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan
berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan
nama Allahku.” (Amsal 30:9).
Ketika Paulus berkata, ”Jadilah pengikutku, sama seperti aku
juga menjadi pengikut Kristus,” (1Korintus 11:1), atau ”... ikutilah teladanku
dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.”
(Filipi 3:17), atau ”Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!”
(1Korintus 4:16); hal ini jelas menunjukkan bahwa karena orientasi kehidupan
Paulus itu bersumber dan berdasar pada
Kristus, maka ia berani mengucapkan kalimat demikian. Pernyataannya, ”Ikutilah
teladanku” atau ”Jadilah pengikutku ...” itu pantas diucapkannya karena memang
ia sudah terlebih dahulu menjadi pengikut Tuhan Yesus secara sungguh-sungguh
serta telah meneladani-Nya secara tepat. Oleh karena itu Paulus tidak sekedar berbicara, tapi dia sendiri telah
melakukannya. Dia telah membuktikan itu ketika dia berkata, ”Tetapi apa yang
dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena
pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh
karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah,
supaya aku memeroleh Kristus.” (Filipi 3:7-8). Hal ini berbeda dengan banyak
orang yang seringkali melontarkan pernyataan, ”Ikutilah apa yang saya katakan,
dan bukan apa yang saya lakukan!”.
Pernyataan ini bersifat mendua, karena tidak
sinkron antara perkataan dan perbuatan. Ini sangat berbeda dengan Tuhan Yesus dan yang kemudian
diikuti oleh Paulus. Di sini ada kesamaan antara apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan. Seharusnya memang demikianlah sikap hidup orang Kristen,
lebih-lebih sebagai hamba Tuhan. Pernyataan Paulus ini dapat kita pakai sebagai
cermin diri dan gaya kepemimpinan kristiani yang sejati.
Kedelapan, dalam komitmennya. Seorang
hamba Tuhan terlebih dahulu harus memiliki komitmen yang sangat kuat
terhadap persembahan hidup pelayanannya.
Komitmen ini berhubungan dengan janji, sebagaimana Allah berjanji dengan diri-Nya
sendiri dengan janji berîth, yaitu janji yang takkan dibatalkan dengan
dalih dan dengan cara apa pun. Janji
itu harus dipegang teguh dan ditepati. Demikian pula dengan komitmen. Orang
yang memiliki komitmen harus berusaha ”sekuat tenaga” untuk bisa melakukannya sesuai dengan komitmen yang
telah dibuatnya. Jadi jangan main-main dengan komitmen yang telah Anda buat.
Bruce P. Powers[19] menuliskan beberapa komitmen
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: komitmen untuk
pelayanan, komitmen terhadap misi dan
komitmen terhadap hubungan (relationship)
nya baik dengan Allah maupun dengan
sesama manusia. Tanpa
komitmen semacam itu, pelayanan dan kepemimpinannya patut dipertanyakan.
Charles Swindol,[20] dalam
bukunya, “Improving Your Serve”
mengatakan bahwa berpegang teguh pada komitmen—apa pun itu—merupakan hal yang mahal. Maksud Swindol sangat jelas. Untuk tetap
memertahankan komitmen, diperlukan
pengorbanan plus usaha, dan itu penting. Karena dengan komitmen, berarti
kita telah mengikatkan diri pada komitmen kita, sehingga apabila kita tidak
melaksanakannya, maka berarti kita telah
melawan diri kita sendiri. Komitmen lebih dari sekedar janji, tetapi dia lebih
dekat pada berîth, yang harus ditepati.
Jerry Bridges[21] lebih
menekankan lagi, agar setiap hamba Tuhan memiliki disiplin dalam komitmennya
(Mazmur 119:106).
Peran dalam Keluarga
Memberikan peran yang tepat kepada istri.
Hikmat Allah tidak pernah berubah. Dia tahu apa yang kita butuhkan.
Setiap hari dalam hidup kita ini memerlukan adanya penolong. Untuk itu Tuhan memberikan
seorang ”penolong yang sepadan”.
Sehingga pada saat kita merasa tersendiri, frustrasi dan menghadapi
banyak tugas atau pelayanan, ada pribadi yang bisa menolong kita. Dalam hal ini para istri atau pasangan hidup
kitalah yang bertindak sebagai penolong itu. Dia bisa bertindak sebagai
konselor sekaligus pengritik bagi kita. Sesungguhnya para istri telah melakukan
perannya yang sangat unik. Ia yang paling mengerti kita, mencintai kita. Hanya dia yang bisa berbicara secara terbuka
dengan kita. Tentu saja ia akan sangat sedih dan kecewa kalau kita jatuh,
tetapi sebaliknya akan merasa bangga dan bahagia jika kita berhasil. Oleh
karena itu hidup, rencana, kesempatan-kesempatan, bahkan ketakutan, frustrasi
dan relasi kita di luar rumah perlu dibuka di hadapan istri. Memang harus diakui, bahwa dalam banyak hal, para istri telah menjadi berkat
yang luar biasa bagi para hamba Tuhan, karena mereka dalam posisinya yang sangat unik telah membantu kita yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.
Tentu bukan merupakan suatu
kebetulan jika Tuhan memakai hubungan antara suami dan istri itu untuk menganalogikan serta merepresentasikan
relasi-Nya dengan gereja (Efesus 5:22-23). Dengan
menggunakan analogi itu sebenarnya Ia telah mengajar para suami agar kita
peduli dan membela para istri.
Mereka—para istri—harus mendapatkan tempat dan penghargaan yang layak
karena peran besarnya dalam menyokong keberhasilan pelayanan kita.
Menjaga
keharmonisan dalam keluarga
Seorang hamba Tuhan harus bisa mengatur rumah tangganya (1Timotius 3:4).
Seorang hamba Tuhan harus memerhatikan hal ini. Alasan kesibukan dan
keterbatasan waktu tidak boleh dipakai sebagai dalih untuk tidak memerhatikan
keluarganya. Ia harus memerhatikan kebersamaan dengan keluarganya. Harus bisa
membagi antara pelayanan dengan keluarganya. Jangan karena pelayanan maka
keluarga lepas dari perhatian. Misalnya menjadikan makan malam sebagai kesempatan berkumpul
bersama keluarga. Ada seorang hamba Tuhan yang saya kenal baiki, di tengah
kesibukan pelayanannya sebagai pengajar,
konselor sekaligus gembala, selalu menjadikan hari Sabtu sebagai ”hari
keluarga” di mana dia tidak pernah mau menerima pelayanan pada akhir pekan.
Hari-hari itu selalu diisi dengan acara bersama dengan istri dan anak-anaknya.
Entah makan-makan atau sekedar jalan-jalan.
Robert Anderson menganjurkan, bahwa dengan adanya pelayanan yang padat
seperti itu maka yang paling penting sekarang adalah harus bisa menjaga
kualitas kebersamaan dengan keluarga. Karena istri dan anak-anak itu
merupakan pendukung utama yang menunjang
keberhasilan pelayanannya[22].
Hal senada juga dikatakan oleh
David Hocking[23]
bahwa kebersamaan dengan keluarga itu merupakan suatu kebutuhan dan
sangat penting dalam kehidupan seorang pelayan.
Menjadikan kehidupan keluarga sebagai contoh
Kehidupan keluarga hamba Tuhan sering menjadi sorotan. Celakanya, memang banyak
kehidupan keluarga hamba Tuhan yang justru tidak bisa dijadikan sebagai
panutan. Dari diskusi kelas yang saya
ajar terungkap, dan ini tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak hamba Tuhan yang
justru gagal mendidik anaknya sendiri menjadi anak yang baik. Lalu di mana
fungsi keteladanan? Seorang pemimpin /
gembala seharusnya mampu membina dan menjaga kehidupan keluarganya secara harmonis. Hal ini penting karena akan bisa
menjadi contoh yang hidup / konkret
bagi yang dipimpinnya. Seorang
pemimpin/hamba Tuhan yang baik harus menjadi ayah atau suami yang baik, bertanggung jawab, dan
mengasihi anak-istrinya. Keluarga hamba Tuhan yang seperti ini akhirnya akan
dijadikan sebagi model oleh
jemaat-jemaatnya. Sebagaimana
telah dipaparkan di depan, dalam kaitannya dengan hal ini rasul Paulus kembali
menegaskan, ”Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami
dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan,
cakap mengajar orang, bukan peminum,
bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala
keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya” (1Timotius
3:2-4).
Menjadi pemimpin dalam mezbah
keluarga.
Banyak keluarga Kristen yang
menikmati kehangatan suasana
kehidupan yang harmonis dalam melalui
persekutuan atau mimbar keluarga. Tapi
tak jarang pula yang selalu mengalami kegagalan untuk menciptakan kondisi
semacam itu.
Dalam mezbah atau persekutuan keluarga
itu juga bisa digunakan untuk saling berbagi pengalaman (sharing) dan mendoakan. Di situ orang tua bisa menyampaikan
pesan-pesan khususnya kepada anak-anak. ’Dan kamu, bapa-bapa, janganlah
bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam
ajaran dan nasihat Tuhan’ (Efesus 6:4).
Memang benar, bahwa keluarga juga memerlukan waktu untuk refresing,
melewatkan sedikit waktu untuk jalan-jalan bersama atau makan di luar. Tapi
jangan sampai agenda semacam itu terlalu dipentingkan sehingga melalaikan
kegiatan yang dianggapnya rutin. Di mana dan kapan pun kehadiran Tuhan
dalam keluarga kita itu sangatlah
penting, seperti pentingnya keluarga itu sendiri dalam kehidupan hamba Tuhan. Secara ekstrem, Curtis
Thomas mengatakan bahwa keluarga, yaitu istri dan anak-anak itu sangat dan
paling penting bagi hidupnya. Mereka harus mendapatkan apresiasi
setinggi-tingginya. Bukan jemaat, bukan khotbah yang baik, bukan bagaimana mengatur organisasi gereja yang bagus, tetapi kesejahteraan dan
kehidupan kerohanian keluarga harus
tetap dinomorsatukan. Dengan demikian maka tidak
akan ada penyesalan pada akhir hidup kita karena kita telah gagal membimbing
keluarga untuk hidup dalam Tuhan.[24]
Peran Sebagai Pelayan
Dalam Markus 10:45 Tuhan Yesus mengatakan: “Karena
Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan
bagi banyak orang”. Pernyataan ini mengandung makna ganda. (1) Dia datang untuk
melayani (bukan untuk dilayani) dan (2) Pelayanan itu memerlukan pengorbanan
(meski harus menyerahkan nyawa sekalipun). Inilah inti pekerjaan Tuhan Yesus.
Keteladanan seperti itulah yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Tuhan Yesus menghabiskan masa pelayanan-Nya
yang tiga setengah tahun itu hanya untuk
pelayanan. Lebih lanjut Tuhan Yesus juga mengatakan, “ Barangsiapa terbesar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu …” (Matius 23:11). Berkaitan dengan
ini Myron Rush[25] mengatakan bahwa “seorang
pemimpin yang baik haruslah juga seorang pelayan yang baik” Lebih lanjut Rush menambahkan bahwa seorang pemimpin
seakan-akan berada di persimpangan jalan.
Ada kerelaan untuk melayani atau justru minta untuk dilayani.[26] Profil kepelayanan dan kepedulian gembala terhadap dombanya
secara rinci dilukiskan oleh pemazmur dalam Mazmur 23.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, pelayanan
itu bersifat wholistik
(menyeluruh) yang menyangkut seluruh
aspek kebutuhan manusia yang meliputi
kebutuhan tubuh, jiwa dan roh sehingga perlu mendapatkan layanan yang sepadan.
Hal itu dapat ditempuh dengan cara: mengajar (teaching)àjiwa; memberitakan (preaching)à roh dan menyembuhkan (healing)àtubuh (lihat Matius 9:35)., di antaranya dengan melakukan kunjungan atau
visitasi.
Kunjungan
atau visitasi.
Akar kata bahasa Ibrani untuk visitasi
adalah paqad atau yang dalam bahasa
Gerika adalah episkopeo, episkeptomai. Sedangkan kata visitation (visitasi) itu sendiri diambil langsung dari bahasa
Latin visitare yang semula berarti
mengunjungi: (a) untuk menguji dengan mengadakan tes, dan (b) untuk melihat
apakah semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Sumner Wemp menjelaskan bahwa
visitasi artinya pergi untuk mengunjungi seseorang dan memberikan bantuan
kepadanya (going to see someone and to
help them). Dalam visitasi ini ada pelayanan yang khusus, one to one, face to face (bandingkan dengan prinsip pendekatan dalam konseling)
dan ada dialog. Lebih lanjut Sumner Wemp
mengatakan: "Visitation is the
missing link between the pulpit and the people."[27]
Visitasi bisa mengisi kekosongan/ kepincangan
yang terjadi antara "mimbar" dan jemaat. Apa yang tidak bisa
diperoleh melalui mimbar, bisa diperoleh melalui perkunjungan. Kebanyakan
pendeta saat ini hanya mengunjungi jemaat yang sakit, yang sedang menghadapi
masalah. Sumner Wemp kembali mengingatkan agar “… jangan terlalu berharap agar
orang lain untuk masuk ke gereja Anda, tanpa terlebih dahulu Anda mau mengunjunginya.”[28]
Visitasi memang sangat alkitabiah. Sebagaimana “tuan” yang mengutus para
hambanya untuk mengundang siapa saja yang ditemui agar memenuhi ruangan/rumah
pestanya (Lukas 14:23). Rasul Paulus juga memiliki visi seperti ini,
sebagaimana dikatakannya: “Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa
yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di
muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu.” (Kisah Para
Rasul 20:20). Jadi jelas, bahwa visitasi itu sangat penting. “A homegoing pastor produces a churchgoing
people,” kata Sumner Wemp.[29] Jika
Pendeta mau mengunjungi jemaatnya maka sebaliknya jemaat juga akan ganti mau
mengunjungi gereja. Karena itu tak ada cara lain yang lebih baik untuk bisa
mengenal jemaat secara lebih dekat, kecuali harus mengunjungi mereka.[30]
Tujuan
visitasi
Seringkali orang memiliki anggapan yang
salah terhadap maksud visitasi. Ada yang beranggapan bahwa tujuan visitasi
adalah agar gereja menjadi penuh, atau gereja menjadi semakin kudus. Tetapi
Maria Bons-Storm mengatakan bahwa visitasi atau perkunjungan itu bertujuan (1)
mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu persatu, (2) mengabarkan firman
Allah kepada mereka, dalam situasi hidup mereka pribadi, (3) melayani mereka, sama seperti Tuhan Yesus melayani
mereka dan (4) supaya mereka lebih
menyadari iman mereka, dan dapat
mewujudkan iman itu dalam hidupnya sehari-hari. Atau dengan kata lain, agar jemaat itu dibangunkan imannya.[31]
Peran Sebagai Pengkhotbah
Khotbah
bukanlah satu-satunya tugas yang dikerjakan oleh seorang gembala/pemimpin
gereja. Tetapi khotbah merupakan bagian yang paling penting dalam pelayanan
seorang hamba Tuhan. Seorang pengkhotbah besar tidak hanya mau berkhotbah di
tempat-tempat dan gereja-gereja yang besar saja, tetapi juga tetap bersedia
berkhotbah meskipun di tempat yang kecil.
Secara garis besar Willimon dan Wilson.[32] dalam tulisannya menyebutkan bahwa seorang
pengkhotbah itu dikatakan besar apabila: (1) banyak pendengar yang datang dan
tertarik, (2) melakukan perkara-perkara besar yang membangun orang lain; (3)
bisa menciptakan kreativitas dan (4) meskipun sedikit orang, tetapi tetap mau
berkhotbah. Anderson[33]
menambahkan (5) seorang gembala
sebaiknya tidak memberikan pelayanan mimbarnya sendiri kepada orang lain
sementara ia pergi berkhotbah ke tempat lain.
Pelayan/Gembala selaku
Pemberita Firman
Tugas utama seorang pelayan atau gembala adalah untuk berkhotbah atau memberitakan firman
Tuhan. Dalam berkhotbah, seorang hamba Tuhan sebenarnya sedang mewakili Allah untuk berbicara kepada
umat-Nya. Dalam khotbah, ia menyampaikan satu kerygma, yaitu firman Allah yang diberitakan (The proclaimed word of God) harus berpusat pada Tuhan Yesus sendiri sebagai firman yang telah menjadi daging (the incarnated word of God dan hanya
bersumber dari Alkitab sebagai firman yang tertulis (the written word of God) yang
bisa diampaikan dalam bentuk:
Khotbah Pastoral: (1) memberi makan domba, (2)
melihat kebutuhan domba, (3) melindungi mereka dari ajaran sesatàharus memberitakan doktrin yang tepat/benar. Untuk bisa memenuhi
kebutuhan jemaat, khotbah mingguan sebaiknya dibuat secara terencana, oleh
pendeta/gembala sendiri dan usahakan agar jangan terlalu banyak mengundang
pengkhotbah dari luar. Karena gembala seharusnya paling banyak tahu tentang
keadaan dan kebutuhan domba-dombanya. Khotbah yang terencana (dengan
topik-topik tertentu) akan memerkaya kerohanian jemaat dan pertumbuhan iman
mereka. Khotbah yang terencana sesuai topik itu misalnya:[34]
(a)
Minggu pertama:
khotbah penginjilan
(b) Minggu kedua
: khotbah doktrinal
(c)
Minggu ketiga : khotbah
pertumbuhan (iman)
(d) Minggu keempat: khotbah tentang
kehidupan sehari-hari (masalah pergumulan hidup, dsb.).
Atau
bisa juga khotbah-khotbah lain yang bertemakan etika/moral, persembahan,
pelayanan, doa, dsb.
Euangelizomai: khotbah penginjilan,
yaitu
khotbah-khotbah yang bersifat ajakan atau pemberitaan agar pendengar percaya
serta menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Khotbah ini haruslah
khotbah yang bisa menggerakkan, disertai
dengan ilustrasi-ilustrai menarik. Tujuannya adalah agar pendengar seakan-akan
melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang diuraikan dalam khotbah. Misalnya
khotbah tentang anak yang hilang (Lukas 15:1-7); domba yang sesat (Lukas
15:1-7); orang kaya dan Lazarus yang miskin (Lukas 16:19-31); orang kaya yang
bodoh (Lukas 12:13-21); tentang ajakan Juruselamat (Matius 11:28); pengajaran akhir zaman (Matius 24-25) dsb.
Yang harus diperhatikan dalam khotbah jenis ini adalah:
· Pendengar : kita harus tahu bahwa
mereka itu mungkin adalah orang-orang yang masih “tersesat”. Mereka kebanyakan
juga kurang minat, sehingga harus dibuat berminat.
· Oleh karena itu pembahasan Alkitab
jangan terlalu bertele-tele dan menggunakan istilah-istilah teologi yang sulit.
· Mereka bisa
mengikuti jalan pikiran kita, asal poinnya sederhana.
· Sebaiknya
khotbah jangan terlalu panjang, sehingga mereka tidak bosan.
·
Sebisa mungkin gunakan banyak
ilustrasi untuk menolong mereka memahami firman Tuhan.
Alkitab menunjukkan paling tidak ada
3 (tiga) tipe penginjilan yang berbeda, yaitu:
· Orang yang
mencari kita, contoh: Nikodemus (Yohanes 3:1-21).
· Pertemuan yang
terjadi secara kebetulan . Contoh: perempuan Samaria yang bertemu dengan Tuhan
Yesus di tepi sumur (Yohanes 4:1-42).
· Menggunakan
kesempatan yang ada atau kita yang mencari (Kisah Para Rasul 8:26-40).
Didaskalein:
khotbah yang bersifat pengajaran. Misalnya khotbah yang berhubungan
dengan masalah moral, keluarga, perkawinan, pekerjaan, pelayanan, dsb.
Khotbah-khotbah
khusus, misalnya dikaitkan
dengan
· Perayaan
gerejawi seperti Natal, Paskah, Kenaikan, Pentakosta, dll.
· Hari-hari
besar nasional, misalnya: Peringatan HUT Kemerdekaan, Hari Ibu,
Harkitnas, Hardiknas dsb.
· Peristiwa-peristiwa
khusus gerejawi, seperti: Hari Reformasi, HUT Gereja, Baptisan, dsb.
Khotbah-khotbah
doktrinal (tentang surga dan neraka, akhir zaman, kematian,
penghukuman, keselamatan, dsb.).
Keuntungan
menyusun planning
· Terhadap
jemaat: mereka akan tahu
· Terhadap pendeta: tidak bingung,
sistematis
· Terhadap pengerja yang lain,
misalnya: liturgos, pemimpin koor dsb. bisa memilih lagu yang sesuai.
Terkait dengan soal berkhotbah, Curtis
Thomas[35] secara tegas menyampaikan kritik
terhadap pengkhotbah yang dinilainya
gagal dalam berkhotbah, dan ini terutama dikarenakan oleh:
· Sangat kurang atau bahkan mungkin
tidak ada ilustrasi sama sekali, atau
sebaliknya, terlalu banyak ilustrasi.
· Tidak ada poin
atau sebaliknya terlalu banyak poin.
· Terlalu banyak
waktu untuk menjelaskan eksegese yang tidak terlalu diperlukan.
· Tidak ada struktur dan urut-urutan yang jelas.
·
Langsung masuk pada aplikasi.
·
Tidak memakai catatan khotbah (minimal harus ada outline).
·
Isi yang tidak seimbang (misalnya pendahuluan terlalu
panjang, atau isi poin yang satu dengan lainnya yang tidak sama. Ada yang terlalu panjang, tapi ada yang
terlalu pendek).
·
Berupa kesaksian saja yang sering
tidak berkaitan langsung dengan khotbah.
·
Seringkali seperti berbicara
terhadap diri sendiri atau hanya
beberapa orang pendengar (seperti berbisik).
Tentang teori
dan praktik pemberitaan firman keduanya
dipelajari secara dalam hermeneutika dan homiletika.
Hal lain yang perlu diingat oleh
para gembala adalah pelayanan-pelayanan yang lebih bersifat pribadi (misalnya undangan
keluar), tukar mimbar , dsb. yang tidak
boleh mengganggu atau mengorbankan pelayanan di gereja yang dilayani.
Peran Sebagai Guru/Pengajar
Seringkali tugas ini kurang mendapat perhatian para gembala/hamba Tuhan.
Padahal Tuhan Yesus sendiri sebelum naik ke surga telah memberikan amanat yang
sangat jelas, yaitu agar para murid itu itu pergi untuk: menjadikan semua
bangsa murid-Nya, membaptis mereka dan mengajar mereka melakukan firman Tuhan
(Mat. 28:19-20). Inilah yang juga menjadi ugas dan panggilan gereja, yaitu: (1)
Marturia (kesaksian); (2) Koinonia (persekutuan); (3) Diakonia (pelyanan) dan (4) Didakhe
(pengajaran). Dalam 1 Timotius 4:11 Rasul Paulus memberi perintah kepada
Timotius untuk mengajar, di samping
memberitakan. Dengan kata lain pemberitaan
(firman) baru akan benar-benar menjadi lebih efektif apabila disertai dengan
pengajaran. Norris W. Stoa[36]
dalam buku “Baker’s Dictionary of Practical Theology” yang dieditori oleh
Ralph G. Turnbull mencatat bahwa
tugas-tugas kependetaan selaku pemimpin dan gembala jemaat paling tidak
ada: (1) Menyampaikan pengajaran-pengajarannya kepada jemaat. Bukan
sebagai seorang guru yang mengajar di kelas, tetapi yang mengajarkan tentang kebenaran-kebenaran
firman Tuhan, yang bisa dilakukan sekaligus bersamaan dengan khotbahnya. (2)
Secara lebih spesifik mengajar jemaat melalui pelajaran katekisasi. (3)
Mengajar melalui kelompok bible studi (pemahaman/ penelaahan Alkitab). Hal ini
merupakan cara yang lebih intensif dan terstruktur, sehingga dengan bahan-bahan yang lebih komprehensif
itu akan membuat jemaat lebih berwawasan
luas dalam cakrawala iman Kristen mereka.
Jemaat
yang sudah mendapatkan pengajaran-pengajaran secara lebih baik dan
mendalam akan lebih mampu bertahan
dalam menghadapi pengaruh-pengaruh atau pengajaran dari luar yang bertentangan
dengan kebenaran.
Peran Sebagai
Administrator
Sebelum
membahas ini lebih lanjut, sebaiknya perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan
administrator itu bukan berarti harus melakukan tugas “keadministrasian”, melainkan lebih merujuk pada kemampuan
seseorang dalam melaksanakan peran
kepemimpinannya. Hanyalah pemimpin yang bodoh yang tidak pernah mau belajar dan
memandang penting unsur administrasi.
Dia tidak perlu menjadi pelaku, namun harus memahami sehingga dia tahu
bagaimana administrasi yang baik itu. Karena dengan demikian
barulah dia bisa meningkatkan mutu pelayanannya. Dalam hal ini termasuk
di dalamnya adalah fungsi pembinaan dan supervisi.
Dengan memahami ini seorang pemimpin akan
dapat meningkatkan pembinaan
staf, etos kerja yang baik dan kondusif
serta membangun dasar berorganisasi yang
kokoh.[37] Karena itu mempelajari prinsip-prinsip organisasi dan
administrasi secara tepat akan semakin meningkatkan mutu kepemimpinan dan
pembinaan warga gereja. Adalah salah
apabila seorang pendeta melakukan segala sesuatu sendiri. Tetapi juga
akan salah apabila segala sesuatu tidak diketahuinya dan hanya diserahkan
kepada orang lain. Bahkan menurut Anderson[38]
terhadap masalah yang sensitif, seperti masalah keuangan pun, seorang
pendeta harus bisa mengontrol dan
memanej. Dia tidak boleh tidak mau tahu tentang keuangan gereja. Tetapi juga
tidak boleh terlalu campur tangan dengan masalah keuangan gereja terlalu dalam.
Yang penting, dengan mengetahui jumlah serta posisi keuangan, seorang pemimpin
gereja/hamba Tuhan akan bisa melihat program mana yang bisa dijadikan prioritas. Tetapi sebaliknya Ernest O. White[39] mengingatkan agar jangan
sampai organisasi itu dijadikan sebagai
berhala. Semua harus sempurna. Lalu seluruh pekerjaan atau pelayanan hanya
dikonsentrasikan kepada masalah-masalah organisasi. Ini sangat berbahaya.
Peran Sebagai Motivator
Kita tidak boleh hanya mengatakan: “semua terserah Tuhan” atau
“mau apa lagi?” dengan dalih merohanikan segala sesuatu dan seakan-akan
mau melegalkan semua yang kita lakukan. Sekali lagi di sini Anderson[40] menegaskan bahwa seorang
pemimpin mutlak harus bertindak aktif (bahkan proaktif) untuk
kemajuan dan pengembangan gereja melalui
kepemimpinannya. Ia harus bisa
memotivasi warga jemaat, khususnya para pengurus gereja/majelis dan hamba Tuhan
lainnya untuk bisa berperan aktif. Karena itu biasakan untuk mendengarkan,
menyeleksi dan menerima yang baik aspirasi mereka. Berikan peluang kepada
mereka untuk bisa berbuat dan memilih apa yang terbaik untuk bisa dilakukan
yang sesuai dengan arah kebijakan gereja.
Dalam hal ini pemimpin harus bisa memberikan teladan, tidak asal main
tunjuk dan memberikan perintah. Dia bukanlah bos di gereja, melainkan juga
seorang pelayan. Bisa menggali potensi atau sumber daya manusia dalam gereja
atau orang-orang yang dipimpinnya. Yang ragu-ragu atau merasa tidak sanggup
untuk berbuat atau melakukan sesuatu, perlu didorong dan dimotivasi. Yang mampu
tetapi tidak mau, juga perlu didorong dan diberi pengertian/kesadaran.
Memenuhi kebutuhan dan memaksimalkan kemampuan orang lain
Myron Rush[41] dalam bukunya “The
New Leader” di bawah judul “The Art
of Motivating Others” menuliskan bahwa mustahil kita bisa memotivasi
seseorang apabila kita tidak bisa menetapkan tujuan yang bisa memuaskan
kebutuhan mereka serta tidak memanfaatkan kemampuan mereka secara optimal.
Siapa pun ingin dihargai, sekaligus ingin agar kebutuhannya terpenuhi
(bandingkan dengan hirarki dalam teori kebutuhan dasar manusia menurut
Maslow). Iklim kerjasama yang baik, akan
mendatangkan hasil yang baik. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa “semua itu
dari semua—oleh karena anugerah Tuhan—dan untuk semua”. Kebaikan, keberhasilan dan kemajuan gereja
bukan karena pemimpin/ pendeta/hamba Tuhan
atau pengurus/majelis atau oleh sekelompok orang, tetapi karena peran
semua pihak. Ide pemimpin yang bagus, kerjasama yang baik tanpa dukungan
seluruh jemaat atau anggota, hasilnya akan sia-sia. Karena itu keberhasilan
juga harus menjadi milik bersama, kebanggaan bersama demi kemuliaan nama Tuhan.
Peran Sebagai Inovator
Pemimpin juga harus bisa menjadi seorang inovator. Tidak bijaksana kalau gereja atau jemaat, apalagi
pemimpin, hanya berdiam diri untuk
menikmati dan terus puas dengan apa yang sudah dilakukan/dicapainya. Pekerjaan Tuhan tidak boleh mandeg hanya
karena kita merasa sudah mencapai target. Apalagi jikalau menganggap bahwa apa
yang dikerjakan/ dicapai itu sudah yang terbaik. Hal ini akan berakibat tidak
mau mengembangkan daya kreativitas untuk
hal-hal yang lebih inovatif. Mungkin apa yang dianggap sudah sangat baik
saat ini untuk tiga, lima atau sepuluh tahun mendatang sudah menjadi kurang
baik atau tidak efisien.
Kesimpulan
Tuntutan ideal jemaat terhadap hamba
Tuhan sebagai pemimpin rohani sering menjadikan frustrasi. Hamba Tuhan
dituntut untuk bisa melakukan apa saja dengan baik/sempurna. Hal ini
sering menjadikan hamba Tuhan sebagai pemimpin dalam gereja serba sulit. Antara
tuntutan dan kemampuan seringkali tidak seimbang. Repotnya sering ada hamba Tuhan yang sebenarnya tidak mampu
tetapi menganggap dirinya serba bisa dan
mampu sampai akhirnya melakukan segala
sesuatu seorang diri. Ia mau menjadi One Man Show. Pada dasarnya
orang seperti ini hanya ingin
mendapatkan pujian. Dia tidak bisa dan tidak mau memercayai orang lain.
Akibatnya segala sesuatu tergantung pada dirinya. Pekerjaan Tuhan malah
terbengkelai. Tetapi kalau ada sesuatu yang tidak beres, dengan gampang akan
menyalahkan orang lain, dan sebaliknya
akan mengklaim keberhasilan itu sebagai hasil perjuangan dan jerih
payahnya. Ini jelas keliru. Bagaimana
pun, seorang hamba Tuhan harus berusaha
untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya disertai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan
dan yang dilayaninya. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya kutip sebuah ayat dari
2Tawarikh 29:11, demikian bunyinya, ”Anak-anakku, sekarang
janganlah kamu lengah, karena kamu telah dipilih TUHAN untuk berdiri di
hadapan-Nya untuk melayani Dia, untuk menyelenggarakan kebaktian dan membakar
kurban bagi-Nya."
"Man is not what he thinks, man is not what he feels, man is not
what he eats, man is not what he behaves, but man is what he reacts before
God!" (Rev.
Dr. Stephen Tong)
_____________
Hadi
P. Sahardjo, menyelesaikan
pendidikan teologinya di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang (B.Th., S.Th.,
M.A. dan M.Div.) dan International Theological Seminary, ITS, Los Angeles, USA
(Th.M.), serta D.Th. (Asian Baptist Graduation Theological Seminary/STBI
Semarang). Gelar Drs. (Doktorandus) di bidang Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan Konseling dari IKIP (sekarang
Universitas) Negeri Malang. Saat ini penulis menjadi dosen tetap dan Pembantu
Ketua III/Bid. Kemahasiswaan/ Pelayanan di STT SAPPI.
[1] Robert D. Dale. Pastoral Leadership. (Nashville: Abingdon Press, 1986), 17-22.
[2] Robert C. Anderson. The Effective Pastor (Chicago: Moody Press, 1985), 3-23.
[3] James Stalker, The Preacher and His Models (Grand Rapids: Baker Books House, 1967), 56.
[4] Robert Anderson. The Effective Pastor…, 6.
[5] Amsal 23:2-5
[6] Robert C. Anderson, The Effective …, . 20-21.
[7] Curtis C. Thomas, Practical Wisdom for Pastors (Crossway
Books, Wheaton, Ill.:2004) . 20.
[8] Robert C. Anderson, The Effective …, . 21.
[10] Ted W. Engstom, The Making of a Christian Leader. (Grand Rapids Michigan: Zondervan
Publ. House, 1985) .12.
[11] David Hocking, op. cit.
. 28
[12] Thomas C. Curtis. Practical …, . 21.
[13] Richards O. Lowrence and Clyde
Hoeldtke: Church Leadership: Following
the Example of Jesus Christ (Grand Rapids, MI.: Zondervan Publishing House, 1988) 238.
[14] Grady Hardin. The Leadership of Worship. (Nashville: Abingdon Press. 1980) 15 dyb.
[15] Thomas Curtis, Practical …, 23.
[16] Thomas Curtis, …, 27.
[17] Sinclair B. Ferguson. Menemukan Kehendak Allah. (Momentum,
Surabaya: 2003), 39 dyb.
[18] Sinclair Ferguson, Menemukan …, 43.
[19] Bruce P. Powers. Christian Leadership. (Nashville: Broadman Press, 1979),
11-13.
[20] Charles Swindol, Improving Your Serve (Pioner Jaya,
Bandung: 2005), 59.
[21] Jerry Bridges. The Discipline of Grace (Pionir Jaya, Bandung: 2007), 163.
[22] Robert C. Anderson. The Effective Pastor: A Practical Guide to
Ministry. (Chicago: Moody Press, 1990) 68, 93.
[23] David
Hocking, op. cit. 15.
[24] Thomas Curtis, …, 40.
[25] Myron Rush. The New Leader: A Revolutionary Approach to Effective Leadership.
(Wheathon, IL., Victor Books: 1989), 79
[26] Ibid, 81.
[27] C. Sumner Wemp. The Guide to Practical Pastoring.
(Nashville-Camden-New York: Thomas Nelson Publishers, 1982), 73.
[28] Ibid., 74.
[29] Ibid. 74
[30] Ibid. 76
[31] M. Bons-Storm Apakah Penggembalaan Itu?: Petunjuk Praktis
untuk Pelayanan Pastoral. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), . 23 dan 26.
[32] William H. Willimon
&Robert L. Wilson. Preaching and
Worship in the Small Church (Nashville: Abingdon Press, 1980) 103
[33] Robert Anderson, Ibid, , 186.
[34] Martin Thielen. Getting Ready for Sunday: A Practical Guide
for Worship Planning (Broadman Press, Nashville, Tennessee: 1989), 16 ff.
[35] Curtis C. Thomas. … , 67 ff
[36] Ralph G. Turnbull. Baker’s Dictionary of Practical Theology. (Grand Rapids, MI.: Baker’s Books House, 1976)
…, 322-323.
[37] Ibid, . 314-315.
[38] Robert C. Anderson, …, 278
[39] Ernest O. White, Becoming a Christian Leader. (Nashville, Tinnessee: Convention
Press, 1985) . 70-71
[40] Robert Anderson, Ibid. . 348 dyb
[41] Myron Rush.
The New Leader. (Wheaton, Illinois: Victor Books, 1982) . 107