SEKALI LAGI TENTANG INERANSI
ALKITAB
Hadi P. Sahardjo
Pendahuluan
Soal ineransi (ketanpasalahan,
ketidakbersalahan) Alkitab merupakan sutu permasalahan yang tidak pernah ada
habisnya, khususnya semenjak munculnya metode-metode penafsiran higher criticism di Eropa pada abad 18 yang lalu. Selanjutnya
dibawa ke gereja-gereja di seluruh dunia
yang mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, berbarengan dengan munculnya
reaksi kaum fundamentalis. Pada waktu ini gereja dan dunia kekristenan memang
mengalami kegoncangan, karena banyak teolog dan mahasiswa sekolah teologi yang
meragukan Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas. Mereka banyak yang
beranggapan bahwa Alkitab itu hanyalah
tulisan manusia belaka, oleh karenanya banyak mengandung kesalahan fakta
historis dan ada kekeliruan dalam ajaran. Pengaruh kaum modernis itu hingga
kini masih sangat terasa—khusunya di gereja-gereja “arus utama”, ketika para
pendetanya mengkritik Alkitab ‘bersalah’ sebelum mampu membuktikan
kesalahannya. Itulah sebabnya dalam
menghadapi hal ini pada akhirnya kelompok-kelompok injili lalu kembali
menegaskan tentang ketanpasalahan (ineransi) Alkitab.
Definisi Ineransi
Beberapa sarjana terdahulu mengatakan bahwa inerrancy bisa disinonimkan dengan inspirasi. Maksudnya, dengan mengatakan bahwa jika
Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah maka secara langsung menunjukkan bahwa Alkitab itu mutlak akurat dan tanpa
salah. Dua orang sarjana yang berpendapat demikian adalah B.B. Warfield dan
Charles Hodge. Meskipun harus diakui bahwa pendapat semacam ini akhirnya bisa
membingungkan.[1] Yang kedua adalah kata indefectibility sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kung. Indefectibility berarti tinggal tetap dalam kebenarannya
kendatipun bisa salah dalam penerapan doktrin terhadap Alkitab. Kata lain yang
bisa disejajarkan adalah infallibility
yang sudah memiliki sejarah panjang dalam teologi Kristen.
Soal ineransi memang dapat dianggap sebagai suatu istilah yang relatif
kontemporer dalam perbendaharaan doktrin Kristen. Namun itu bukan berarti
bahwa bahwa ajaran Alkitab sebagai
firman Allah yang sempurna dan tanpa
salah itu baru muncul di zaman ini. Karena sebenarnya sejak zaman gereja
mula-mula—bahkan sejak zaman raul-rasul—persoalan ini sudah muncul. Hanya saja istilah yang
dipakai adalah kata “infalibel” yang menyatakan dan menekankan pada kebenaran
Alkitab. Perubahan istilah dan tema pembahasan injili tentang doktrin
inereransi dimulai pada awal abad ke-20 oleh B.B. Warfield ketika dia
berhadapan dengan kaum rasionalis dengan metode
radikalnya yang menentang ortodoksi Kekristenan. Semenjak itulah istilah inerrancy lebih populer daripada infallibility—meskipun pada kenyataannya kedua kata itu sering
dipertukartempatkan dengan pengertian yang sama. Namun menurut Joseph Tong, ide
infalibilitas (ketidakkeliruan) Alkitab itu mengandung tiga unsur utama, yaitu:
(1) Alkitab adalah tidak memalsukan dan
tidak bersalah. (2) Alkitab adalah tidak gagal dan dapat dipercaya. (3) Alkitab adalah
tidak bersalah dan adalah kebenaran.[2]
Kontroversi, Ketidakcocokan dan Kontradiksi
Perbedaan tulisan-tulisan
Alkitab biasanya dianggap sebagai “kontroversi”, “ketidakcocokan” atau
“kontradiksi”, bagi sebagian orang masih dianggap sebagai suatu dugaan. Namun
banyak juga yang langsung menuduhnya sebagai suatu kesalahan (error) secara
membabi buta. Beberapa perbedaan istilah, teks, dan versi (dalam kitab-kitab
Injil), dugaan ketidakcocokan angka (Kej 11:26; Kis 7:4; Za 11:12, 13; Mat
27:9, dll); anggapan ketidaklengkapan kronologis, ketidaksamaan waktu; dugaan
ketidaksesuaian secara etis (2Sam 24:1; 1 Taw 21:1) dll yang seringkali memang
dikesankan memiliki banyak kontradiksi atau ketidakcocokan, sehingga dianggap
sebagai sebuah kebersalahan Alkitab. Meskipun sebenarnya lebih banyak sarjana
Kristen yang telah meneliti ayat-ayat tersebut dengan seksama yang akhirnya
bisa membuktikan bahwa ayat-ayat tersebut sebenarnya tidak berkontradiksi. Hal tersebut bukanlah suatu kesalahan ketika direinterpretasi dalam
makna sensus pleniornya.[3] Itulah sebabnya maka sejak semula kaum injili hanya
memandang fenomena ketidakcocokan teks-teks tersebut sebagai
“kesulian-kesulitan” daripada sebagai
kesalahan Alkitab. Dengan demikian berarti ada niatan untuk memecahkan
kesulitan tersebut tanpa buru-buru
menganggapnya sebagai suatu kesalahan.
Itulah sebabnya maka
orang percaya seharusnya tidak langsung
menilai fakta-fakta sulit yang muncul dalam Alkitab itu sebagai suatu
kesalahan. Karena kemungkinan besar adalah pengertian kita yang memang terbatas
ini tidak memadai untuk bisa mengerti
maksud penulis secara menyeluruh, oleh karena perbedaan yang jauh antara zaman
Alkitab dengan zaman kini. Togardo Siburian menyebutkan bahwa kesalahan yang
mungkin terjadi seringkali lebih mengarah
pada pengertian keterbatasan pembaca
akan kesulitan ayat-ayat, dikarenakan ketidaksabaran dalam penyelidikan
Alkitab, kemudian langsung menghakimi sebagai “Alkitab penuh kesalahan,” layaknya musuh-musuh Kristen atau para
pembenci Alkitab.[4]
Oleh karena itu tidak bisa diterima begitu saja jika ada
pihak-pihak yang mencoba untuk memberikan kesan, dugaan, anggapan atau bahkan
tuduhan atas fenomena kebersalahan Alkitab. Melainkan harus diselidiki secara
komprehensif, sehingga diperoleh fakta dan kebenaran Alkitab yang sesungguhnya.
Karena seringkali anggapan kontradiksi dan ketidakcocokan yang terdapat dalam
Alkitab itu sebenarnya dapat dijelaskan secara eksegetis dengan prinsip umum grammatical historical guna mendapatkan
pengertian yang sesungguhnya dalam
konteks usus loquendi (kebiasaan masa
lalunya). D.A. Carson menggarisbawahi
pendapat Bernard Ramm ketika menuliskan bahwa penafsiran yang memadai haruslah
mempertimbangkan aspek-aspek: leksikal, gramatikal, kultural, teologis,
historis, geografis serta pembenaran lainnya.[5]
Pandangan-Pandangan yang Salah Tentang Inspirasi
Gary Cramptom dalam bukunya: Verbum Dei [6]
mencatat paling tidak ada 6 (enam)
pandangan yang salah tentang inspirasi, yang secara ringkas dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1). Dinamis. Para penulis
Alkitab digerakkan oleh Roh Kudus pada
satu tingkat kehidupan Kristen yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat melihat
hal-hal dengan lebih jelas dari kebanyakan orang percaya. Tetapi hal ini tidak menyebabkan adanya suatu tulisan yang dinafaskan oleh Allah. Hanya
manusianya yang diinspirasikan dan
pemenuhan Roh Kudus yang dinamis ini
mempengaruhi keseluruhan hidup mereka secara permanen. Hal ini ditolak
oleh Galatia 2:11 dst. Dalam bahasa
William Menzies, ini sebenanya
berarti tidak menyampaikan kebenaran yang bersifat
proporsisi.[7]
2). Parsial. Hanya
bagian-bagian tertentu Alkitab yang
diinspirasikan. Cara yang biasanya digunakan untuk memandang hal ini yaitu
dengan menganggap bahwa ajaran-ajaran moral/religius adalah dinafaskan oleh
Allah, tetapi ajaran yang ilmiah, historis dan yang lainnya tidak dinafaskan oleh Allah (lihat 2Tim 3:16,17).
3) Konseptual. Hanya konsep-konsep Alkitab saja yang
diinspirasikan, dan bukan pada kata-kata
yang ada di dalamnya (lihat 2Tim 3:16). Jadi manusia penerima ilham atau
inspirasi Allah tetap dapat dilihat karakter pribadinya
4) Alami (natural). Para penulis Alkitab hanya dianggap sebagai
orang-orang yang sangat jenius. Bagaimana pun karya mereka tidak dapat dipertimbangkan sebagai karya yang
berasal-usul Illahi (lihat Yer 1:1,2,9).
5) Dapat salah. Teori yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri
diinspirasikan, tetapi tidak tanpa
kesalahan. Maka, menurut pandangan ini Allah mungkin menginspirasikan kesalahan
(lihat Yoh 17:17).
6) Neo Ortodoks. Alkitab ditulis oleh manusia yang sudah jatuh
oleh karena itu pasti mengandung kesalahan. Pandangan ini mengasumsikan bahwa
segala sesuatu yang manusia lakukan dicemari oleh dosa. Jika konsep ini ditarik
hingga kesimpulan akhir, maka manusia tidak
dapat menjumlahkan dua ditambah dua dan menghasilkan jawaban empat.
Fakta bahwa manusia berdosa tidak
berarti bahwa ia harus selalu berdosa, tidak berarti bahwa ia harus selalu berdosa dalam
setiap tindakannya (lihat Yer 1:1,2,9).
Doktrin Ineransi
Ineransi didefinisikan sebagai “kualitas bebas dari kesalahan” yang
dimiliki Alkitab. Doktrin ineransi ini mengajarkan bahwa Alkitab bebas dari
kesalahan. Firman Allah tidak dapat
salah dan tidak menyatakan sesuatu yang
bertentangan dengan fakta. René Paché menyebutkan dua istilah yang sebenarnya
bisa dipertukartempatkan, yaitu ineransi
(inerrancy) dan infalibiliti
(infallibility).[8] Ada beberapa
orang yang berusaha untuk
mempertentangkan doktrin ineransi dengan
doktrin infalibiliti, padahal kedua doktrin ini pada dasarnya
mengajarkan hal yang sama tentang
Alkitab, yakni: Alkitab adalah mutlak benar, tanpa cacat.[9]. Jakob van Bruggen menyebutnya sebagai “tak mengandung
kesalahan” menjadi syibolet (Hak
12:6) yang menunjuk pada sifat yang sesuai dengan ajaran yang benar.[10] Dengan
demikian, menurut van Bruggen maka
Alkitab itu “layak dipercaya” [11], yang menurut saya (penulis), Alkitab itu tidak hanya sekedar layak dipercaya, tetapi bahkan
mutlak “harus” dipercaya.
Meskipun
demikian harus diakui bahwa doktrin ini tidak
mengajarkan kalau masing-masing
terjemahan Alkitab itu sempurna dalam terjemahannya. Juga tidak mengajarkan bahwa tidak ada kesalahan yang kadang-kadang dilakukan
penyalin, yang dapat ditemukan dalam teks yang telah dilindungi demi kita. Pada waktu berbicara tentang infalibilitas atau
ineransi Alkitab, berarti kita sama dengan membicarakan tentang manuskrip yang
asli.
Pengakuan Iman Westminster memberikan rumusan yang sangat bagus,
“seluruh kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dalam keseluruhan Kitab
Suci atau firman Allah yang tertulis” (I.2), “semua yang diberikan oleh ilham
(inspirasi) Allah” di mana Dia adalah penulisnya sendiri, menjadikannya
“kebenaran dalam diri-Nya” (I.4). “Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru—dalam dirinya—adalah mutlak benar dan memiliki otoritas ilahi”[12]
Aspek Pengilhaman dan Konsep Ineransi Alkitab
Perlu disadari bahwa konsep
ineransi itu tidak berdiri sendiri, namun saling terkait secara
koheren dengan konsep-konsep bibliologis lainnya seperti: wahyu khusus
inskripturasi, pengilhaman, kewibawaan, wahyu proporsional, infalibilitas
Alkitab dsb. yang pada dasarnya semua
itu mendasari pengakuan iman gerejawi, bahwa Alkitab itu adalah firman
Allah. B.B. Warfield mengatakan bahwa,
“apa yang dikatakan Alkitab adalah perkataan Allah melalui agen manusia dan
tanpa salah dalam hal apa pun, di dalam naskah aslinya. Sedangan
pengilhaman verbal adalah sarananya, di
mana Alkitab dimengerti sebagai perlindungan Allah dalam menuliskan firman-Nya,
lewaat ide dan kata-kata manusia, sehingga tidak mungkin bersalah. Inilah keunikan pengilhaman Kristen, mengandung kepengarangan berganda
(bukan dua) dalam tindakan “saling yang menyepakati” (concursive operation).[13] Ini berarti
bahwa Allah adalah penyebab utama dan pertama, sedangkan penulis kitab itu
“hanya” sebagai penyebab sekunder dalam proses supranatural. Ini berarti bahwa meskipun manusia itu memiliki kelemahan dan kemungkinan
untuk keliru, namun ketika menuliskan
Alkitab, ia tidak dapat bersalah dalam
kebebasannya sebagai pribadi yang utuh sehingga tidak bisa dianggap sebagai robot belaka. Dengan
demikian dalam konsep pengilhaman tersebut, terjadilah “ineransi total”—dan
bukan ineransi mutlak sebagaimana sering diucapkan oleh kaum
fundamentalis—dari Allah. Salah besar
kalau David Robert Ord dan Robert B. Coote memberikan kesimpulan bahwa karena,
“Paulus tidak pernah mengklaim bahwa Alkitab itu tidak mungkin salah (ineransi
Alkitab), yang mereka mau tegaskan ialah bahwa ada pengilhaman.”[14] Maksud dari
pernyataan ini ialah bahwa mereka memang mengakui bahwa, “Paulus mengalami
ilham dari Allah karena apa yang ditulisnya memang bernafaskan kehidupan dari
Allah. Penglihatan tentang apa yang Allah kerjakan dalam sejarah dan makna
kehadiran gereja dalam dunia ini adalah
suatu visi yang datang dari Allah. “Namun,” tambahnya, “mengatakannya sebagai
suatu yang ‘tidak mungkin salah’ tentu
akan mengejutkan Paulus sendiri.”[15] Intinya sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa
Paulus sendiri tidak mengakui adanya
ineransi itu, sehingga kita pun akan salah dengan mempercayai doktrin ineransi
Alkitab. Ini sangat bertentangan dengan pendapat dua sarjana lainnya, William
W. Menzies dan Stanley M. Horton yang mengatakan sebaliknya, yakni bahwa Yesus
sendiri “telah menerima inspirasi penuh seluruh Perjanjian Lama (artinya
Alkitab, pen), ketika Ia mengucapkan
deklarasi-Nya yang luas, ‘Kitab Suci tidak
dapat dibatalkan’ (Yoh 10:35; Mat 5:18). “[16] Mereka
menegaskan bahwa pandangan ini yang disebut sebagai pengilhaman plenary (menyeluruh) dan verbal (sampai dengan
kata-kata).[17]
Inilah contoh sarjana yang membela doktrin inetransi Alkitab, meskipun
penulis (saya sendiri) kurang setuju dengan istilah pengilhaman secara verbal,
karena itu akan selbih menjurus pada pendiktean mekanis di mana Allah berbicara
melalui manusia sampai kepribadian individualnya ditekan. Melainkan dengan ilham
Roh Allah sendiri yang menyatakan kebenaran kepada , manusia yang tetap dalam
keberadaannya sebagai manusia “sebagaimana adanya” sehingga apa yang dituliskannya tidak mungkin salah, namun tetap menunjukkan sikap,
kepribadian, karakter serta kosakata masing-masing penulisnya yang bsa dibedakan dengan jelas
(perlu diingat bahwa Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 penulis dengan latar
belakang keluarga, pendidikan, pekerjaan
atau jabatan yang berbeda). Dalam
bukunya The Canon of Scripture,
F.F.Bruce juga mengakui adanya ineransi sehingga terjadi kanonisasi Alkitab
dengan mengambil contoh-contoh para tokoh penting dan bapa-bapa gereja,
seperti:Clement dari Roma yang mengakui bahwa tulisan-tulisan Paulus sebagai “true inspiration”. Demikian pula
totoh-tokoh seperti Irenaeus dan Origen yang juga mengakui serta menerima
kemutlakan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) sebagai firman Allah
yang tidak salah.[18]
Makna Ontologis Konsep Ineransi Alkitab
Pencarian makna ontologism
adalah suatu refleksi atas konsep pengetahuan yang paling umum, konkret, luas
mendalam, dasar, total, ultima tentang suatu realitas yang ada, sehingga
dikatakan sebagai pengetahuan yang universal dan mutlak.[19] Hal itu berarti bahwa kebenaran dalam tingkat ontologism, konsep
ineransi tersebut tidak hanya hadir
dalam pikiran manusia (in mind), yakni
apakah menolak atau menerima bahwa
Alkitab itu tidak bersalah atau
keliru, melainkan juga niscaya hadir dalam realitas sesungguhnya. Dalam hal ini realitas ontologis selalu mempertrimbangkan kenyataan yang ada di
belakang kosep tentang ineransi tersebut,
misalnya Allah yang tidak
mungkin bersalah dan mahabenar,
Allah yang mewahyukan diri-Nya sendiri dalam dalam kalimat-kalimat proporsional,
melalui bahasa dan budaya khusus manusia. Jadi jelas bahwa ide tentang
kesempurnaan Alkitab itu mendasari konsep yang hadir dalam pikiran manusia,
dalam hal ini adalah firman Allah sebagai kebenaran yang berotoritas. Gagasan
kesempurnaan sebagai prediksi bagi firman Allah dalam hal ini membuat
keniscayaan ineransi menjadi semakin mutlak dipercaya karena secara rasional Alkitab sebagai firman Allah memang
mengandung segala kepastian kesempurnaan. Oleh karenanya secara konseptual
kesempurnaan Allah tidak dapat
digagalkan oleh kelemahan manusia, karena yang menjadi “penggagas” Alkitab itu
adalah Allah sendiri yang ngin
menyatakan diri-Nya kepada manusia. Sebaliknya, secara supranatral, maksud
Allah tidak mungkin dibelokkan oleh keinginan manusia yang penuh dengan kelemahan ini. Ini berarti bahwa kesempurnaan Allah dalam kehendak-Nya untuk
menyatakan diri-Nya sendiri tidak
mungkin bisa digagalkan oleh manusia yang serba terbatas dalam seluruh
keberadaan dan kemampuannya, dikarenakan proses supranaturalisasi dalam
pengilhaman Alkitab yang organik tersebut. Dengan demikian maka kita dapat
mematahkan deduksi silogisme dari mereka yang anti terhadap ineransi dengan
pemikiran bahwa:
- Karena
manusia adalah berdosa dan penuh kelemahan
- Dan
Alkitab itu ditulis oleh manusia
- Maka itu
berarti bahwa Alkitab pasti penuh kesalahan
Kalau berdasarkan premis seperti ini pasti adalah suatu pengambilan
kesimpulan yang terburu-buru dan ngawur. Kalau mau jujur, seharusnya yang
dikedepankan harus dimulai dari Allah serta aspek supranatural dalam penulisan
Alkitab tersebut, sehingga kalimat itu akan berbunyi demikian:
- Allah adalah benar (Roma 3;4)
- Alkitab itu dinafaskan oleh Allah (2 Timotius 3:16)
- Maka Alkitab pasti benar
Itulah sebabnya maka saya
tidak sependapat dengan James Barr yang
mengatakan bahwa, “skriptura (Alkitab, pen.) diilhamkan, namun berstatus
“mungkin salah” juga.[20]
Meskipun menggunakan kata “mungkin”,
tetapi ini sudah jelas hal ini menunjukkan sikap keraguan terhadap
ketidakbersalahan Alkitab sebagaimana yang kita percayai.
Simpulan
Meskipun serangan terus
bertubi-tubi terhadap kebenaran mutlak Alkitab—baik dari orang-orang yang
tidak percaya maupun orang-orang yang
mengatakan diri Kristen tapi justru mengikari kebenaran firman Tuhan—tetapi
Alkitab tidak akan pernah digoyahkan
karena kebenaran dirinya yang adalah firman Allah yang hidup. Terbukti bahwa
selama berabad-abad Alkitab tetap bisa bertahan dan telah mengubah jutaan orang
mengalami perubahan hidup baru yang berkemenangan setelah perjumpaannya
dengan Tuhan melalui firman Tuhan. Oleh karena itu tanpa dibela sekalipun
Alkitab telah dapat membela dirinya dalam kebenaran yang dimilikinya.
Pendapat-pendapat yang meragukan dan mengritik Alkitab justru semakin
menunjukkan betapan luasnya kebenaran Allah dan keterbatasan manusia.
Meragukan—apalagi tidak
mempercayai—Alkitab sebagai
firman Allah yang benar sama saja dengan menghilangkan kekristenan yang mendasarkan iman dan kepercayaannya atas firman Tuhan. Tepat
sekali apa yang dikatakan oleh Jakob van Bruggen bahwa: “Siapa yang menyerang
sesuatu yang dapat dipercaya dan bersifat histories dari kanon, telah memotong
dahan yang ia duduki.[21]
Sehingga sampai kapan pun motto reformatories: sola fide, sola gracia, sola scriptura akan tetap berkumandang seriring dengan
kekekalan firman Allah sampai Tuhan
Yesus Kristus, Firman Yang Benar dan Hidup itu datang kembali. Soli Deo Gloria.
[1] Paul D. Feinberg. The Meaning of Inerrancy
dalam Inerrancy oleh Norman L. Geisler [ed]. (Academie Books. Grand Rapids, Michigan: 1980),
287.
[2] Joseph Tong. Systematic Theology
and Pastoral Ministry [Syllabus and Classnote] (International Theological
Seminary. Los Angeles, USA. 1998), 24.
[3] Donald G. Bloesch. The Holy
Scripture: Revelation, Inspiration, Interpretation (Downers Groove:
InterVarsity Press, 1994), 39.
[4] Togardo Siburian. Keniscayaan
Doktrin Ineransi Alkitab [dalam Sola
Scriptura dan Pergumulannya Masa Kini: Kumpulan Esai], (Sekolah Tinggi
Teologi Bandung, 2005), 34.
[5] D.A. Carson. Exegetical
Fallacies. Grand Rapids: Baker Books: 1996 (2nd ed), 16.
[6] W. Gary
Crampton. Verbum Dei [Ind.: Alkitab:
Firman Allah]. (Momentum, Surabaya: 2000), 58-59.
[8] René Paché. The Inspiration and Authority of Scripture. (Moody
Press. Chicago, 1989), 120.
[11] Ibid, 126-127.
[12] Greg L. Bahnsen. “The Inerrancy of
the Autographa.” Dalam Inerrancy” oleh Norman L. Geisler [ed]. (Academie Books,
Grand Rapids, Michigan. 1980), 153.
[13] B.B. Warfield. The Interpretation
an Authority of Scripture. (The Presbyterian and Reformed
Publ. Co. Philadelphia: 1948),. 95.
[14] David Robert Ord & Robert B. Coote.
Apakah Alkitab Benar?: Memahami Alkitab
Pada Masa Kini. (BPK Gunung Mulia, Jjakarta: 1997), 145.
[18] F.F. Bruce. The Canon of
Scripture. (InterVrsity Press, Downers Grove,
Illinois:. 1988), 266-267.
[19] Bdk. Anton Baker. Ontologi-Metafisika
Umum. (Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1994), 13 dyb.