BELAJAR MENGAJAR DARI PENGAJARAN YESUS
Hadi P.
Sahardjo
Abstrak
Mengajar bukan sekedar melaksanakan tugas.
Mengajar perlu bekal yang memadai. Mengajar bukan asal menyampaikan materi
pembelajaran kepada peserta didiknya. Bukan sekedar menyampaikan bahan
pengajaran dan menransfer ilmu. Mengajar juga bukan sekedar kemampuan serta penguasaan
materi pembelajaran, namun perlu keterampilan dan penguasaan metode pengajaran
yang baik dan tepat guna. Bukan sekadar menonjolkan kemampuan otak, tetapi
berkaitan dengan sentuhan hati dan nurani. Pembelajaran seperti ini akan
menjadikan setiap individu pebelajar bisa mengalami transformasi kehidupan
secara utuh. Itulah sebabnya seorang pendidik perlu belajar dari Tuhan Yesus
sebagai model pembelajar dan pengajar yang sesungguhnya.
Frasa kunci: pendidik, peserta didik, belajar, mengajar, pembelajaran, metode
pengajaran, transformasi kehidupan.
Pendahuluan
Mengajar itu sepertinya mudah, padahal sulit.
Atau kalau mau dibalik, mengajar itu sulit, padahal mudah. Tentunya itu
tergantung situasi, kondisi dan domisili. Oleh karena itu dalam mengajar mesti
memerhatikan seluruh komponen pembelajaran—mulai dari pengajar/pendidik, yang
diajar/murid/peserta didik, materi pembelajaran, metode pembelajaran,
sarana-prasarana pembelajaran, lokasi pembelajaran (termasuk di dalamnya lingkungannya),
situasinya, waktunya, kesiapannya, dst. Oleh karena itu satu materi
pembelajaran dengan bahan yang sama, metode pendekatannya sama, tetapi
diajarkan oleh orang yang berbeda dengan peserta didik yang berbeda di tempat
yang berbeda, hasilnya belum tentu sama. Itulah sebabnya pendidikan itu
dikatakan sebagai suatu seni. Maknanya, hasil akhir dan capaian tujuan
pengajaran itu akan sangat tergantung dari faktor-faktor tersebut yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
terkait dengan soal tugas dan fungsi pendidikan Kristen. Menurut Pazmiño dalam bukunya, “Foundational Issues in Christian Education,” pendidikan Kristen itu pada dasarnya memiliki
lima tugas atau fungsi utama, yaitu pendidikan dengan fungsi proklamasi (kerygma), pendidikan dengan fungsi
untuk memberikan suatu dukungan atau advokasi (propheteia), pendidikan dengan fungsi pelayanan (diakonia), pendidikan dengan fungsi
persekutuan(koinonia) dan pendidikan
dengan fungsi ibadah (leitourgia),
yang meliputi iman, pengharapan, kasih dan persekutuan.[1] Itu berarti bahwa dalam pendidikan Kristen,
lebih-lebih pendidikan teologi, arah pendidikan harus benar-benar menjadikan
para peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya dan insan Kristen yang sebenarnya sebagaimana dimaksudkan oleh Pazmiño. Dalam hal ini peran seorang pendidik sangatlah
penting.
Yesus sebagai Pendidik
Dalam kitab Injil
Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) dan
Yohanes, terdapat hingga sebanyak 45 kali sebutan Tuhan Yesus sebagai Rabi (Rabbi), atau Guru/Pendidik
(didaskalos)”.[2]
Dari 45 kali sebutan itu, sebagian besar panggilan
atau penyebutan dilakukan oleh
orang-orang di sekitar-Nya, tetapi adakalanya Tuhan Yesus juga menyebut diri-Nya
demikian, sebagaimana dikatakan kepada para murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah
kamu disebut Rabi, karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8, bdk.
10:24-25 dan Yohanes 13:13-14). Dalam bahasa Yunani berbunyi
demikian,
u`mei/j de. mh. klhqh/te( ~Rabbi,\ ei-j ga,r
evstin u`mw/n o` dida,skaloj( pa,ntej de. u`mei/j avdelfoi, evsteÅ Tepatnya, kalau diterjemahkan ayat itu berbunyi, “Tetapi janganlah kamu
dipanggil Rabi
(Rabbi),
karena Guru/Pendidik (didaskalos) mu hanya ada
satu, dan kalian semua adalah saudara-saudara.” Dengan kata lain di sini Tuhan
Yesus hendak memberitahukan kepada para murid, bahwa hanya Dialah satu-satunya
“pendidik” yang benar-benar dan sejati. [3]
Menurut penulis, ini sangat tepat,
karena selaku Pendidik, Tuhan Yesus
tidak hanya mengajarkan
kebenaran, melainkan melakukan kebenaran, karena Dia sendiri adalah kebenaran
itu.” (Yohanes 14:6).
Pendidik selalu
dipandang sebagai orang yang pandai, serba tahu, serba bisa, penuh hikmat dan
tempat orang mengadu dan bertanya untuk memeroleh jawaban. Seorang pendidik adalah tempat di mana orang minta saran atau pendapat guna mendapatkan kepastian jawaban dan
jaminan. Lukas 3:12 mencatat bahwa Yohanes Pembaptis juga dipanggil
sebagai “pendidik” oleh pemungut-pemungut cukai yang datang kepadanya untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya:
“Pendidik, apakah yang harus kami perbuat?”
Dalam kitab Markus 10:17 juga
dijumpai hal yang sama yang ditujukan kepada Yesus, ketika ada sedang dalam perjalanan datanglah
seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan
sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang
harus kuperbuat untuk memeroleh hidup yang kekal?" Kalau demikian,
siapakah guru atau pendidik itu?
Tentang pendidik,
Klausmeier[4] menuliskan demikian, “The teacher, too, serves as a stimulus for
the learners. They are aware not only of the teacher's personal appearance, but
also of his speech and actions. Terjemahan bebasnya kurang lebih artinya
demikian, “Seorang pendidik yang mengajar
itu menjadi suatu stimulus bagi
para peserta didiknya. Para peserta
didik akan disadarkan bahwa bukan hanya penampilan pribadi pendidik—yang
memengaruhi mereka, melainkan juga ucapan dan tindakan-tindakannya”. Dengan
kata lain, pendidik sebagai the whole
person menjadi contoh dan teladan bagi para peserta didiknya, baik itu kepribadiannya, cara hidupnya, maupun
perkataan dan perbuatannya. Semua ini bagaikan cermin bagi para peserta didik. Jadi, pendidik itu harus mengajar dengan
keseluruhan pribadinya, bukan hanya dari perkataannya, tetapi dari perbuatan
atau teladan hidupnya. “… sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:28).
Memang, tugas utama
seorang pendidik adalah mengajar atau memberikan kuliah. Mengajar tidak bisa dilepaskan dengan metode yang
harus digunakannya. Sekarang ini telah banyak metode yang ditawarkan oleh para
ahli maupun para praktisi pendidikan. Tetapi bisa ditemukan metode-metode
penting yang terdapat di dalam Alkitab, khususnya melalui pengajaran yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam kitab Injil, jauh sebelum para ahli modern
mengemukakan metode-metode pengajaran yang mereka tawarkan. Penulis sependapat dengan Stein yang
memandang pentingnya penggunaan metode yang baik, tepat dan benar dalam
pengajaran.[5] Sebab meskipun materinya baik, penguasaannya
bagus, tetapi jika seorang pendidik tidak
memiliki kemampuan penggunaan metode secara tepat dan benar, maka hasil dan
tujuan pendidikan pun tidak akan
tercapai secara optimal.
Pendekatan-pendekatan dalam Pengajaran Yesus
Selama hidup dan
pelayanan-Nya di dunia ini, Tuhan Yesus
banyak menggunakan pendekatan yang berbeda. Cornelius Jaarsma[6]
dalam bukunya, “Human Development, Learning and Teaching” menjelaskan, bahwa mengajar itu bukan sekedar
menyampaikan pesan (materi pengajaran) kepada murid (peserta didik), di mana pendidik bertindak
sangat aktif, atau sebaliknya menjadikan
peserta didik sebagai objek yang pasif dengan menjejali ilmu-ilmu agar dipahami
oleh mereka, padahal mungkin hal itu bukan yang dibutuhkan. Jaarsma mengutip
sebuah pepatah yang mengatakan, “You can lead a horse to the water, but you
cannot make him drink.”[7]
(Anda bisa menuntun kuda ke dalam air, tetapi Anda tidak bisa memaksanya untuk minum). Pesan yang hendak disampaikan adalah, bahwa
seorang pendidik tidak bisa memaksakaan
kepada para murid atau peserta didik untuk melakukan sesuatu jikalau mereka
tidak merasa memerlukan atau ketahui.
Sehingga tugas pendidik atau pendidik adalah menjadikan mereka merasa
memerlukan dengan jalan memberikan kepada mereka hal-hal yang menarik dan
menyenangkan. Oleh karena itu dalam mengajar tidak boleh hanya sekedar memaparkan materi
pelajaran tanpa arah tujuan yang jelas.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya
dapat dilihat antara lain dari hal-hal berikut ini:
Mengadakan Kontak Pribadi dengan Murid
Seringkali seorang
pendidik menganggap peserta didik itu hanya sebagai sasaran pembelajarannya,
sehingga menjadikannya sebagai objek yang pasif. Seorang pendidik seharusnya
selalu memiliki tanggapan yang positif terhadap peserta didik. Tidak boleh memandang peserta didik sebagai objek
didik, tetapi subjek didik yang mampu
bertindak aktif dan kreatif. Hal inilah yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam kegiatan pengajaran-Nya. Ketika Tuhan
Yesus duduk di tepi sumur dalam perjalanan-Nya dari Yudea ke Galilea, Dia
bertemu dengan seorang perempuan Samaria (Yohanes 4:1-42.) yang sedang mengambil air di sumur itu. Karena
tidak biasanya orang mengambil air pada
siang hari, maka terjadilah kontak pribadi antara Tuhan Yesus dengan perempuan
Samaria tersebut. Ada beberapa hal yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam percakapan itu, yang didahului dengan
permintaan-permintaan pribadi.
Menurut LeBar, ada
beberapa hal yang harus kita pikirkan terkait dengan tujuan Yesus memulai
pelajaran-Nya dengan permohonan yang sifatnya pribadi ini, yaitu: Pertama, Dia menimbulkan keingintahuan
dan pertanyaan-pertanyaan . Kedua, Dia
membangkitkan minat orang akan diri-Nya
sebagai satu Pribadi. Ketiga, Dia
mengidentifikasikan diri-Nya dengan kewajiban yang diemban oleh murid-Nya. Keempat, Dia memberikan kesempatan
kepada perempuan itu untuk menanggapi secara aktif. [8] Jika hal seperti ini dilakukan dalam
perkuliahan, maka kontak pribadi semacam ini bisa memberikan dampak positif
bagi peserta didik, karena mereka merasa diperhatikan—baik secara pribadi
maupun kelompok--sehingga setiap individu akan merasakan bahwa mereka adalah
sebagai satu bagian dari kelompok yang tidak akan terpisahkan.
Mengajak Murid Terlibat Secara Aktif
Berhubungan dengan
mengajar, LeBar mengatakan bahwa Tuhan Yesus telah berhasil melakukan hal ini
melalui kecakapan-Nya yang sempurna
dengan jalan membawa para murid-Nya keluar dari rutinitas kesehariannya
kepada kehidupan kekal. [9] Seorang pendidik harus mampu menjadikan
peserta didik aktif dan menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar. Memang, setelah terjadi kontak pribadi,
peserta didik harus dilibatkan dan diberikan
peran aktif yang disertai dengan pemberian petunjuk atau
perintah-perintah yang bisa dimengerti dan diterima oleh peserta didik. Peserta
didik juga harus diberikan kesempatan untuk
mengeksplorasi diri, dan itu perlu diberikan apresiasi atau penghargaan.
Dengan demikian maka peserta didik juga telah belajar untuk disiplin dan taat.
Memenuhi Kebutuhan Rohani Murid
Pendidik harus menyadari bahwa kebutuhan
yang paling utama dan mendasar dari peserta didik sebenarnya bukan soal intelek
semata-mata, melainkan kebutuhan rohani atau spiritual. Soal perempuan Samaria tadi. Tuhan Yesus
tidak mau terlibat terlalu banyak dengan
masalah kebutuhan hidup jasmani dan soal rumah tangganya. Tetapi Tuhan Yesus
langsung mengarahkan pembicaraan yang menyangkut soal kebutuhan hidup yang
paling bernilai, yaitu kebutuhan rohani, keselamatan. Karena itu percakapan
lalu beralih kepada soal iman/ kepercayaan.
Itulah sebabnya maka menurut
Benson,[10]
dalam pembelajaran—baik tujuan, materi
maupun aktivitas-aktivitas—harus selalu dibangun dan berdasarkan pada firman
Tuhan.
Pada kenyataannya,
saat ini banyak sekolah teologi—baik di dalam maupun di luar negeri—yang
tidak mendidik, mengajar dan
memersiapkan para peserta didik untuk menjadi seorang hamba Tuhan yang
mengasihi dan melayani Tuhan, melainkan hanya memberikan ilmu. Sehingga bisa
jadi peserta didik sangat pandai
mengenai filsafat, teologi, bahasa-bahasa asli bahkan mungkin analisis dan
tafsir Alkitab, namun itu sebatas pada teori yang mengisi otak dan bukan
kebenaran firman Tuhan yang mengisi hati.
Membuat Kebenaran Itu Berlaku Atas Diri Murid
Dalam hal perempuan
Samaria tadi, Tuhan Yesus tidak hanya
mengajar supaya dia mengerti, tetapi juga memiliki. Langkah yang diambil
perempuan tadi sangat luar biasa. Dia
percaya kepada Yesus, bahkan akhirnya mengajak orang-orang sedesanya datang
kepada Yesus. Oleh karena itu pertanyaan LeBar terkait hal ini adalah, “Apakah
cukup hanya minta murid untuk bisa menceritakan kembali apa yang telah kita
ajarkan?”[11]
Jawabannya tentu saja tidak cukup. Mereka harus tahu dan mau melakukannya.
Sehingga kebenaran atau ilmu yang dimiliki pun tidak hanya dimiliki sendiri, melainkan juga dibagikan kepada orang lain.
Kesaksian perempuan Samaria itu sangat
efektif, sehingga orang-orang dari kota datang kepada-Nya, di mana
banyak di antara mereka yang kemudian percaya kepada-Nya. Tetapi masih lebih
banyak lagi yang percaya karena mendengarkan perkataan-Nya.[12]
Dalam
pengajaran-Nya, Tuhan Yesus selalu menghendaki agar apa yang telah mereka
ketahui itu bisa dilaksanakan dalam kehidupannya, bukan hanya disimpan di otak.
Bukan pemahaman secara teoretis, melainkan penalaran aplikatif. Kalimat-kalimat
seperti “… pergilah, perbuatlah demikian”
itu muncul berkali-kali dalam Injil Sinoptik, seperti dalam Matius 7:12; Lukas 10:28; Lukas 10:37 dll.
Melakukan Sesuai
dengan Situasi, Kondisi dan Kebutuhan
Ketika Tuhan Yesus
menyembuhkan orang-orang yang buta, Dia melakukan dengan cara berbeda, karena
latar belakang mereka memang juga berbeda. Setidak-tidaknya ada empat drama
penyembuhan orang buta yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, yaitu penyembuhan dua
orang buta (Matius 9:27-34); penyembuhan seorang buta di Betsaida (Markus 8:22-26); penyembuhan dua
orang buta di Yerikho (Matius 20:29-34; Markus 10:46-52 dan Lukas 18:35-43) serta penyembuhan seorang yang buta sejak lahirnya (Yohanes 9:1-41). LeBar mencoba untuk menjelaskan
dengan melukiskannya dalam sebuah tabel demikian:[13]
Matius 9:27-34
|
1 paragraf
|
Dalam satu satuan kurikulum
mengenai iman.
|
Markus 8:22-26
|
1 paragraf
|
Dalam satuan kurikulum mengenai
pengetahuan siapa Yesus sebenarnya.
|
Yohanes 9
|
1 pasal
|
Dalam satu satuan kurikulum mengenai
pengetahuan tentang karya-Nya.
|
Matius 20:29-34
Markus 10:46-52
Lukas 18:35-43
|
Masing-masing 1 paragraf
|
Dalam satu satuan kurikulum
mengenai yang terdahulu sebagai yang terkemudian dan yang terkemudian sebagai
yang terdahulu.
|
Sebenarnya pada intinya
LeBar ingin menjelaskan bahwa masing-masing kejadian ini
memiliki pesan tersendiri. Meskipun ia menyadari bahwa untuk menyebutkan adanya
satuan-satuan kurikulum dalam hubungannya dengan Injil itu bisa membingungkan banyak pihak. LeBar
menjelaskan bahwa Tuhan Yesus tidak
memerlakukan semua orang buta itu dengan cara yang sama. Hal ini
dilatarbelakangi oleh keadaan mereka yang berbeda pula.[14] Orang buta yang dicatat dalam Matius 20:29-34, Markus 10:46-52 dan Lukas
18:35-43 menunjukkan kesiapan imannya, sehingga
Tuhan Yesus cukup mengatakan, “… imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Markus 10:52). Selanjutnya dalam
Matius 9:27-34 juga dikisahkan tentang dua orang buta yang secara aktif meminta
dan datang kepada Yesus, bahkan sampai ikut masuk ke dalam rumah di mana Tuhan
Yesus berada.
Di sini Tuhan Yesus
tidak sekedar menjamah, tetapi juga
mengucapkan kalimat, “Jadilah kepadamu menurut imanmu.” (Matius 9:29). Sedangkan yang dicatat dalam Yohanes pasal 9
tidak menunjukkan keinginan pribadi orang yang buta sejak lahirnya itu . Dia
tidak minta Tuhan Yesus untuk memelekkan
matanya. Malah orang-orang membincangkannya, yang mengaitkan dengan dosa
turunan atau dosa pribadi (ayat 2). Namun Tuhan Yesus menjelaskan bahwa
kebutaan itu tidak disebabkan oleh dosa
siapa pun, melainkan supaya pekerjaan Allah dinyatakan dan nama Tuhan
dimasyhurkan (ayat 3). Oleh karena itu
meskipun tanpa permintaan oleh siapa pun Tuhan Yesus tetap memelekkan mata
orang buta itu, karena Dia tahu akan
kebutuhan orang buta itu. Nyatanya, seluruh pasal itu akhirnya memuat kesaksian
orang buta yang dicelikkan matanya oleh Tuhan Yesus itu kepada setiap orang yang dijumpainya. Pendek kata, Tuhan Yesus melakukan cara
pendekatan yang berbeda untuk menghadapi kasus yang nampaknya sama, namun pada
hakikatnya berbeda. Tepat sekali apa
yang dikatakan oleh LeBar tentang hal ini seperti berikut:
…
mudah untuk diketahui mengapa Tuhan memakai alat atau cara dalam dua kasus, dan
tidak memakainya dalam dua kasus yang
lain. Jika orang-orang itu tidak
mengenal Dia dan kuasa-Nya, mereka membutuhkan cara untuk mengembangkan
iman mereka melalui hubungan pribadi dengan Dia. Dia menggunakan alat-alat
fisik bukan karena Dia membutuhkannya, melainkan karena mereka membutuhkan
alat-alat itu.[15]
Ini semua dilakukan oleh Tuhan Yesus karena Dia
berusaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan sampai pada tingkat kehidupan yang
diciptakan-Nya.[16]
Hakikat Metode Pengajaran Yesus
Sebagaimana telah disinggung
dalam latar belakang masalah, ada beberapa metode penting yang dipakai oleh Tuhan Yesus dalam
pelayanan dan pengajaran-Nya selama di dunia ini. Choun, Jr, mengatakan bahwa selaku Pendidik yang sangat
sempurna, Tuhan Yesus adalah satu teladan yang paling tepat dalam memilih dan
menerapkan metode-metode atau model pengajaran yang kreatif dan inovatif. [17] Choun mendaftarkan ada duapuluh cara
pendekatan yang sangat kreatif yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam pengajaran
dan pelayanan-Nya. [18]
Dari keduapuluh cara pendekatan ini delapan di antaranya diambil dari contoh
yang terdapat dalam Injil Yohanes, dan duabelas lainnya bersumber dari Injil
Sinoptik. Untuk memersingkat, penulis hanya akan mengutip beberapa hal yang
penting, khususnya yang bersumber dari Injil Sinoptik seperti berikut ini:
Pertama, memecahkan masalah
(Markus 10:17-22)—untuk menggerakkan orang-orang agar dapat memahami dan
menerapkan kata-kata Yesus.
Kedua, percakapan (Markus
10:27)—untuk menggerakkan orang-orang kepada ketaatan
Ketiga,
pertanyaan-pertanyaan—seperti yang terekam dalam kitab-kitab Injil, Yesus
mengajukan lebih dari 100 pertanyaan dengan tujuan membangkitkan para
pendengar-Nya untuk berpikir dan mencari kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Keempat, menjawab—Tuhan Yesus
menggunakan jawaban untuk menggerakkan orang-orang agar menyadari keberadaannya
dan apa yang mereka perlukan agar mengalami pertumbuhan secara rohani. Yesus
mendorong orang-orang agar bisa menemukan kebenarannya.
Kelima, ceramah atau “kuliah”
(Matius 5-7)—Tuhan Yesus menggunakan ceramah untuk memberikan perintah atau
instruksi dengan meyakinkan orang-orang di dalam kebenarannya.
Keenam, pemakaian Kitab Suci
(Matius 4:1-11;22:37 dyb., dll)—dalam mengajar, Tuhan Yesus banyak mengutip
Perjanjian Lama untuk menyampaikan tentang kebenaran Allah.
Ketujuh, kontras (Matius
5:21-22, 33-34, 38-39, 43-44)—Tuhan Yesus membandingkan Kerajaan-Nya dengan
prinsip-prinsip dunia, memberikan kepada para pendengar suatu pilihan untuk
taat atau menolak.
Kedelapan, simbol-simbol atau
lambang (Matius 26:17-30); Yohanes 13:1-20)—Tuhan Yesus menggunakan lambang,
seperti pada waktu melaksanakan perjamuan Paskah sebelum kematian-Nya, Dia
mencuci kaki para murid-Nya, untuk mengajar pelajaran-pelajaran besar.
Kesembilan, keteladanan (Matius
15:32; Lukas 18:15-17)—Yesus sebagai Pendidik Agung, adalah Kebenaran dan
menjadikan Dia sebagai teladan selaku Anak Manusia yang mencintai Allah
Bapa-Nya.
Kesepuluh, motivasi (Matius
16:24-27; 20:21-28; Markus 1:16-18)—Yesus memotivasi/mendorong para
pengikut-Nya untuk mengambil suatu langkah atau tindakan. Ia membangkitkan
respons pendengar-Nya untuk mengasihi dan taat ke Bapa.
Kesebelas, kesan dan ungkapan
(Matius 4;19-20; 7:20)—Yesus memakai diri-Nya untuk menjadikan murid-Nya
terkesan sehingga memotivasi mereka untuk bertindak dan taat. Tuhan Yesus
adalah Allah yang menjadi manusia, sehingga Ia membantu para murid-Nya untuk
membuat keputusan bagi diri mereka.
Keduabelas, melalui diri-Nya
(Matius 28:19-20)—Tuhan Yesus memiliki kualitas sebagai seorang Mahapendidik:
ada visi global, memahami manusia, menguasai semua pengetahuan, kemampuan dalam
mengajar, dan suatu kehidupan yang patut dijadikan contoh kepada mereka yang
diajar.
Dari sini nampak jelas
bagaimana totalitas Yesus selaku
Pendidik yang melakukan pengajaran dengan seluruh aspek kehidupan dan diri-Nya,
agar para murid atau orang-orang yang menerima pengajaran-Nya dapat
memahami dan menerima sepenuhnya untuk dilaksanakan dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Karakteristik Pengajaran Yesus
Sebagai seorang pribadi dan manusia sejati, Tuhan Yesus adalah sumber paling penting untuk motivasi setiap individu,
termasuk pendidik. Dalam pengajaran-Nya, Tuhan Yesus memiliki karakteristik-karakteristik
yang tidak terdapat pada tokoh pendidikan mana pun. Beberapa di antara
karakteristik pengajaran Yesus yang terpenting, adalah:[19]
Adanya Otoritas
Otoritas yang dimiliki oleh Tuhan Yesus diakui oleh para murid, bahkan
musuh-musuh-Nya sekalipun, bahwa Dia memang
memiliki kuasa dan otoritas. Karena Ia bisa melakukan perkara-perkara
besar yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain, maka orang-orang berkomentar
bahwa tindakan dan perkataan-Nya
memiliki kuasa (Matius 7:28-29). Sehingga tidak mengherankan kalau
orang-orang yang selama ini memusuhi-Nya (orang-orang Farisi, Saduki, imam-imam
kepala, para ahli Taurat dan tua-tua) sampai harus memertanyakan tentang kuasa
yang dimiliki oleh Tuhan Yesus (Matius 7:28-29). Otoritas Yesus yang besar itu tentu bukan
datang dengan sendirinya. Selain karena Dia adalah Anak Allah, tetapi juga
memiliki penuntutan yang luar biasa. Dia mengawali pelayanan-Nya dengan
berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam (Matius 4:2). Injil
Lukas 2:41-52 juga mencatat tentang Yesus yang baru berusia duabelas
tahun sedang berdiskusi dengan para tokoh agama dan ahli Kitab di dalam Bait
Allah. Di sana Dia juga sedang bersoal-jawab tentang Alkitab. Paling tidak ada sembilan kali dalam
Injil Sinoptik disebutkan bahwa Tuhan Yesus secara langsung menyebut nama Kitab
Suci sebagai referensi dalam pengajaran-Nya. Tentu saja, meskipun tidak seperti
Tuhan Yesus, tetapi sebagai pendidik sekolah teologi
yang sudah mengalami lahir baru juga harus memiliki kuasa Tuhan
Yesus.
Adanya Kewajaran dan Keaslian.
Tuhan Yesus selalu tampil secara wajar dan apa adanya. Dia bisa marah kalau
memang harus marah—misalnya ketika harus
mengusir orang yang berjual beli di Bait Allah (Matius 21:12-17) --atau
ketika Petrus melarang Tuhan Yesus untuk pergi ke Yerusalem untuk
menderita (Matius 16:22-23). Tetapi pada bagian lain
Tuhan Yesus lebih banyak menunjukkan sikap kasih dan lemah lembut-Nya, seperti
yang dilakukan-Nya terhadap Yakobus dan Yohanes ketika sepuluh murid-Nya yang
lain memarahi mereka karena minta suatu kedudukan jika kelak sudah berada di
surga. Tidak ada kepalsuan pada diri-Nya. Sifat kewajaran (genuineness) semacam ini sudah seharusnya ada pada setiap pendidik
Kristen (termasuk dosen sekolah teologi), baik itu di gereja maupun di sekolah;
karena para pendidik itu menjadi cermin hidup yang dilihat dan disaksikan oleh
banyak pihak, seperti awan yang mengelilingi kita (Ibrani 12:1).
Adanya Kekuatan Nalar dan
Alasan.
Ketika Tuhan Yesus berbicara atau beragumentasi dengan banyak kalangan, Ia
selalu memakai nalar dan alasan yang masuk akal, sehingga tidak ada seorang pun
yang mampu mendebat-Nya. Kebanyakan mereka lalu menjadi bungkam. Misalnya saja
ketika orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang membawa perempuan berzina
yang diperhadapkan kepada Tuhan Yesus
dengan maksud untuk mencari kesalahan-Nya. Alih-alih mengalahkan Tuhan Yesus,
mereka justru akhirnya ditempelak dengan dosa mereka sendiri, ketika mereka tidak
berani melempari perempuan itu dengan batu, karena mereka adalah juga
orang-orang yang berdosa (Yohanes 7:53-8:11). Seorang pendidik juga harus belajar memiliki nalar sedemikian
sehingga tidak dipermainkan, melainkan dihormati para peserta didiknya.
Adanya Hubungan Pribadi dengan Murid.
Salah satu sifat yang paling menonjol dalam diri Tuhan Yesus adalah
hubungan pribadi-Nya dengan para murid
yang sedemikian akrab dan hangat. Sepanjang hidup pelayanan-Nya, siang dan malam, Dia hampir selalu bersama dan berada di tengah-tengah para murid, baik
dalam keadaan susah maupun senang, aman maupun bahaya. Dari situ pun para murid dapat belajar banyak secara langsung dari
kehidupan Tuhan Yesus yang tidak ada satu pun yang tersembunyi.
Sesungguhnya kehadiran dan kebersamaan itulah yang menjadikan mereka
tenang, bahkan tinggal di mana pun Yesus tinggal—meskipun ”tidak ada tempat”
bagi-Nya untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20; Lukas 9:58). Dalam
kebersamaan Tuhan Yesus juga mengenal sifat para murid secara pribadi, demikian
sebaliknya. Itulah sebabnya maka murid-murid tidak hanya belajar dari-Nya dan
mengenal Dia, melainkan juga bisa menerapkan pengajaran Tuhan Yesus dalam
kehidupan praktis dan pelayanan mereka.
Dalam kebersamaan-Nya ini Tuhan Yesus juga tidak segan-segan memuji
(Matius 16:17), atau sebaliknya menegur
jika melakukan suatu kesalahan atau bersikap tidak tepat (Matius 16:23).
Oleh karena itu para murid takut ”kehilangan” Dia sehingga Petrus mengatakan
akan berjuang dan membela mati-matian terhadap orang-orang yang mencoba
”mencelakai-Nya”, meskipun sikap Petrus (dan juga murid-murid lainnya) justru
tidak mendapatkan pujian dari Tuhan Yesus, bahkan sebaliknya (Matius 26:30-35;
47-56; Markus 14:47-56; Lukas 22:47-53).
Ciri-ciri Pengajaran Yesus
Ketika menjelaskan tentang ”Hukum Mengajar” dari tujuh
hukum yang ditulis oleh Gregory,[20]
dia menandaskan agar para pendidik memberikan
rangsangan dan pengarahan kepada aktivitas-aktivitas pribadi murid, dan sedapat
mungkin jangan memberitahukan apa pun kepada murid sesuatu yang dapat dipelajari sendiri.[21]
Ini merupakan salah satu bentuk teknik dari pembelajaran. Tuhan Yesus juga menerapkan
teknik-teknik seperti itu. Tetapi yang jelas bahwa teknik-teknik pengajaran
yang dipakai oleh Tuhan Yesus selalu bertujuan untuk memberikan motivasi kepada
para pendengarnya. Berikut ini penulis sarikan penjelasan Leon Marsh terkait
dengan teknik Tuhan Yesus dalam
pengajaran-Nya seperti berikut:[22]
Pertama, Yesus menggunakan teknik bertanya. Tuhan Yesus menggunakan teknik bertanya secara
langsung kepada para pengikut-Nya untuk
mencapai keberhasilan memotivasi
mereka. Dalam Alkitab terdapat lebih dari 100 pertanyaan yang dipakai oleh
Tuhan Yesus. Misalnya untuk menegur suara hati orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat (Matius 23:17); menantang iman mereka (Markus 8:29); untuk membungkam
kritikan (Markus 10:3); untuk mengungkit
perasaan Nikodemus (Yohanes 3:10), untuk memaksa agar mereka berpikir (Matius
21:28-32), dll.
Kedua, kemampuan untuk menarik dan menguasai
perhatian. Tuhan Yesus menggunakan
banyak cara untuk menarik perhatian. Dia biasa menggunakan alam dalam
memberikan penjelasan pengajaran-Nya untuk menarik perhatian pendengar.
Misalnya tentang penabur, pohon ara, bunga di padang, burung-burung, dsb.
Kata-kata yang biasa digunakan seperti, ”Behold”
”Lihatlah!” [23]atau,
”kamu telah mendengar...” (Matius 5:21, 27, 33, 38, 43), dll.
Ketiga, menekankan pada hal-hal yang positif. Tuhan
Yesus banyak mengutip dan menjelaskan Perjanjian Lama untuk memberikan
penerapan aplikasi positif bagi para pendengar. Kadang-kadang Ia juga
menggunakan aspek negatif terhadap hukum Musa dengan mengatakan, ”janganlah
kamu ...” ataupun secara positif, ”hendaklah kamu ...” atau ucapan senada,
misalnya, ”Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan... kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”
(Matius 22:37-40).
Keempat, Dia menggunakan hal-hal yang gampang
dimengerti untuk menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami. Tuhan Yesus misalnya, menjelaskan bagaimana relasi
yang terjalin antara murid dengan pendidiknya itu ibarat carang yang
harus tetap lekat pada pokok anggurnya (Yohanes 15:1-5); pohon ara yang tidak berbuah untuk melukiskan orang
percaya yang tidak berbuahkan iman yang benar (Lukas 13:6); perumpamaan kambing
dan domba untuk menunjukkan orang-orang yang baik dan jahat/orang percaya dan
orang berdosa (Matius 25:31-46), dll.
Kelima, Dia menggunakan contoh-contoh yang konkret. Misalnya untuk mengajarkan
tentang pemeliharaan Allah Dia memakai burung sebagai lukisan, kerendahan
hati, Dia menunjuk pada anak-anak, untuk
menunjukkan bahwa Dia tidak membeda-bedakan orang, maka Dia makan dengan
mereka, termasuk orang berdosa, seperti makan di rumah Zakheus, dll.
Keenam, Tuhan Yesus memakai hal-hal yang menakutkan
untuk membuat perbandingan. Tuhan Yesus membandingkan
dengan hal-hal yang menakutkan untuk memotivasi para pendengar agar merenungkan
apa yang seharusnya dilakukan (Matius 26:24).
Ketujuh, Tuhan Yesus memakai sifat keingintahuan
para murid untuk memberi motivasi kepada mereka agar dapat melakukan hal yang
sama. Misalnya Dia mencontohkan tentang Natanael sebagai
orang yang tidak memiliki tipu daya (tulus) di seluruh Israel. Atau memberikan contoh diri-Nya ketika Dia
mengatakan, ”Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan
menyelesaikan pekerjaan-Nya’ (Yohanes 4:34).
Kedelapan, Tuhan Yesus menggunakan
perumpamaan-perumpamaan atau lukisan untuk menjelaskan apa yang dikatakan-Nya dengan maksud agar kebenaran yang dikatakan-Nya itu
menjadi jelas. Sebagaimana telah
disinggung di bagian depan menurut Stein,[24]
Tuhan Yesus menggunakan simile ketika
menegur orang Farisi yang munafik dilukiskan sebagai ”kubur yang bersapu kapur,
padahal di dalamnya tulang-belulang” (Matius 23:27), atau menggunakan metafora, ”... pergilah kepada
domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 10:6) atau hiperbola, ”Hai kamu pemimpin-pemimpin
buta, nyamuk kamu tepiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta di dalamnya kamu
telan” (Matius 23:24) atau epigram, misalnya,
”Yang terakhir akan menjadi yang terdahulu, dan yang terdahulu akan menjadi
yang terakhir” (Matius 20:16). Ia juga memakai
kalimat yang paradoks, seperti
”Setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan, dan setiap orang yang
merendahkan diri akan ditinggikan” (Lukas 14:11). Tuhan Yesus juga menggunakan irony atau ejekan, misalnya ketika
berbicara dengan orang Farisi tentang kebutuhan akan keselamatan dan kebenaran,
”... bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Lukas
5:31). Kemudian metonymy, misalnya,
”Juga di kota-kota lain, Aku harus memberitakan Injil, ...” (Lukas 4:43). Lalu synedoche, misalnya, ”Pada-Ku ada
makanan yang tidak kamu kenal” (Yohanes 4:32). Atau anthitesis, ”Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah
ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya,” (Markus
9:35). Bahkan exclamation, misalnya
dalam Matius 23, ”Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
hai kamu orang-orang munafik ...”. Tetapi Dia juga menggunakan apostrophe atau tanda-tanda, misalnya, ”Celakalah engkau hai Khorazim! Celakalah engkau hai
Betsaida! Karena jika Tirus dan Sidon terjadi mukjizat-mukjizat yang telah
terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung ...”
(Matius 11:21-22).
Tuhan Yesus juga memakai allusion (sindiran/kiasan).
Contoh: ”Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya
kembali.” (Yohanes 2:19). Tuhan Yesus juga memberikan ”reward” atau hadiah melalui pengajaran-Nya
yang dipakai untuk mendorong murid atau pengikut-Nya untuk mengambil langkah
yang konkret. Ayat yang paling terkenal adalah Yohanes 3:16 (terkait dengan
percakapan dengan Nikodemus) dan Yohanes 4:13,14 (percakapan dengan perempuan
Samaria) tentang air kehidupan. Demikian pula ketika Petrus menanyakan apa
upahnya kalau mengikut Dia karena telah meninggalkan segala sesuatu, maka Tuhan
Yesus menjawab bahwa dia akan mendapat upahnya di surga.
Kesembilan, Tuhan Yesus meminta mereka untuk
meneladani dan mengikut-Nya secara pribadi. Murid-murid dan para
pengikut-Nya setiap hari melihat dan mengamati langsung apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh Tuhan Yesus. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak atau tidak mau
percaya dan mengikuti Dia. Demikian pula
bagi para pendidik, mereka semestinya melakukan apa yang mereka katakan dan mengatakan apa
yang seharusnya dilakukan.
Melihat ini semua,
maka tentu saja tidak serta-merta semua pendidik bisa menjadi pendidik atau
pengajar yang baik. Mengajar memerlukan
keterampilan. Eavey benar sekali ketika mengatakan bahwa “mengajar adalah suatu
seni” [25]
Untuk itu dalam mengajar harus
memerhatikan beberapa faktor penting yang saling berkaitan. Menurut Eavey ada tiga faktor utama,[26]
yaitu faktor: murid (terkait dengan soal kematangan, sebagai pribadi yang berkembang, kemampuan,
intelektualitas dsb.); subjek atau
materi pengajaran (termasuk di dalamnya apakah bisa memberikan pengalaman yang
baru bagi murid); dan pendidik, sebagai pribadi yang mendorong dan membimbing
para murid untuk mengalami hal-hal baru
untuk dapat berkembang dan bertumbuh dalam kemajuan yang diharapkan. Khususnya
bagi seorang pendidik, dibutuhkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi
sehingga dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Penulis sangat setuju dengan Daniel Lenox
Barlow[27]
yang menulis dalam bukunya, “Educational
Psychology: The Teaching-Learning Process” tentang kriteria-kriteria para
pendidik Kristen, yang menurutnya perlu memiliki kriteria-kriteria sebagaimana
dijelaskannya melalui akronim CHAMPIONS
yang merupakan kependekan dari:
C—Christ centered. Seorang pendidik yang baik akan dapat dilihat dan
diukur dari sampai sejauh mana ia telah menjadikan Kristus sebagai pusat dalam
kehidupan mereka. Kristosentris atau egosentris?
H—Historically knowledge. Allah adalah pusat dari sejarah. Pendidik
Kristen bukan saja memahami sejarah dunia, melainkan harus mengerti benar
bagaimana Allah berkarya dalam dunia ini melalui orang-orang percaya.
A—Affectively wholesome. Seorang pendidik harus memiliki emosi yang
sehat dan mampu mengontrolnya. Ini penting, oleh karena itu mutlak harus berada di bawah kontrol Roh Kudus.
Itulah sebabnya maka pendidik harus bisa mengasihi peserta didiknya, dan
terlebih kepada Allah sendiri yang telah
menyelamatkannya.
M—Morally upright. Seorang
pendidik harus memiliki moral, mental dan martabat yang baik dan tulus.
Integritas moralnya berdasar serta bersumber pada firman Allah yang “jauh
berada di lubuk hatinya”. Dia haruslah seorang yang bisa dipercaya karena
memiliki karakter kristiani yang baik.
P—Physically able. Secara fisik harus cakap dan terampil untuk
melaksanakan tugas-tugasnya. Seorang pendidik juga harus menyadari bahwa
tubuhnya adalah Bait Roh Kudus, sehingga dia
harus selalu menjaga dan memelihara tubuhnya untuk tetap sehat sehingga
mampu untuk terus melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab.
I—Intelectually mature. Kematangan intelektual merupakan salah satu wujud
kematangan kemampuan kognitifnya. Ia haruslah seorang yang cakap dalam
berpikir, cara pandang dan menilai, mendengar, memecahkan masalah, dsb.
O—Oriented to his profession. Seorang pendidik harus selalu berorientasi pada profesinya sebagai seorang pendidik Kristen yang taat dan
mengasihi Tuhan, sehingga dapat mengasihi para peserta didiknya. Seluruh orientasi dan cara pandangnya terhadap peserta didik
harus didasarkan pada panggilan dan kasih Yesus Kristus
terhadap dirinya. Dengan demikian maka barulah dia akan dimampukan oleh Tuhan untuk mendidik peserta didiknya dengan baik.
N—Notable in his
relationship. Pendidik
haruslah seorang yang terpandang dan memiliki pergaulan serta relasi yang baik dengan semua orang. Dia harus bisa menjadi contoh
bagi orang lain. Hal itu disebabkan oleh karena Roh Kudus sendirilah yang
menguasai dan mengubah hidupnya. Sehingga orang lain bisa menyaksikan buah-buah
Roh Kudus yang terpancar dari kehidupannya. Ia tahu harus berbuat apa dan
bagaimana terhadap orang lain sesuai dengan karakter kekristenannya. Ia tahu
bagaimana harus mengasihi murid dan sesamanya karena ia mencintai dan dicintai
Tuhan.
S—Spiritually
discerning. Yakni memiliki ketajaman rohani karena hubungan
pribadinya yang akrab dengan Tuhan sehingga dia mampu membedakan antara yang baik dan yang jahat; antara
kebenaran dan ketidakbenaran, kekudusan dan dosa, dsb. Ini akan diperoleh ketika seorang pendidik benar-benar menyukai firman Tuhan dengan merenungkannya melalui persekutuan
pribadinya setiap hari; sehingga ia bukan hanya “mengetahui” firman Tuhan dan kebenarannya, melainkan
juga harus mengalami dan memilikinya.
Penulis merekomendasikan bahwa kesembilan hal tersebut perlu dimiliki oleh setiap pendidik Kristen. Tuhan Yesus adalah satu-satunya Pendidik yang
paling kreatif dan inovatif dalam pengajaran-Nya. Tidak pernah ada satu pelajaran pun yang dilakukan
oleh Tuhan Yesus yang bersifat stereotip.[28]
Dia tidak bisa disejajarkan atau disetarakan dengan ahli pendidikan mana pun
dan kapan pun. Ide-ide-Nya sangat orisinal, sehingga para ahli
sesudah-Nya—termasuk di zaman modern ini—sebenarnya hanya mengembangkan dari
apa yang sudah dilakukan oleh Tuhan Yesus sebelumnya. Tentu tidaklah berlebihan
jika pada akhirnya Price mengatakan bahwa “tidak pernah ada orang yang mengajar
seperti Yesus, karena semua metode yang kita pakai sekarang ini semuanya telah
dipakai oleh Tuhan Yesus, sekurang-kurangnya dalam bentuk yang sederhana” [29]
Prinsip dan
Penerapan Metode Pengajaran Yesus
Meskipun banyak
pilihan metode yang bisa dipakai, namun
seorang pendidik tidak bisa lalu
seenaknya atau secara sembarangan memakai metode tertentu. Berkaitan dengan
metode, Cully menjelaskan demikian, “Method
is everything which a teacher does to teach and through which a pupil learn.
Methods are ways of communication.”[30] Jadi dapat dikatakan bahwa metode adalah
segala upaya atau cara yang dipakai oleh seorang pendidik, dalam pengajaran di
mana para peserta didik dapat belajar dan mengerti, karena metode adalah cara
atau jalan komunikasi yang baik. Menurut Snyder, agar metode yang dipakai itu
dapat dimanfaatkan secara efektif, maka seorang pengajar paling tidak terlebih dahulu harus memertimbangkan lima
hal mendasar seperti berikut: [31] Pertama, apakah metode yang dipakai itu
memang sejalan dengan filosofi mengajar pendidik atau pendidik yang
bersangkutan? Sebagai seorang pendidik
Kristen atau bahkan pendidik sekolah teologi, pemakaian metode harus dapat
memertajam peran dan pengenalan terhadap Roh Kudus dalam proses
belajar-mengajar yang berlangsung dan dalam kehidupan pribadi mereka. Kedua,
apakah metode itu memang cocok dengan tujuan pengajaran itu sendiri? Hal ini
dikarenakan tidak semua metode itu pasti
cocok untuk dipakai pada semua mata pelajaran. Masing-masing harus disesuaikan
dengan isi dan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Ketiga, dan ini yang
penting, yaitu bahwa metode harus bisa dipahami baik oleh pengajar maupun yang
diajar (pendidik-peserta didik). Jangan sampai terjadi pendidik menganggap
metode yang dipakai adalah yang paling tepat, padahal peserta didik kurang
bisa mengikuti karena kurang memahaminya. Keempat, apakah metode itu juga dapat
mendorong adanya pertumbuhan kelompok
atau kelas? Apakah kelas lalu terdorong untuk bertumbuh dan meningkat menjadi
kelompok yang matang, mandiri dan kuat? Kelima, apakah metode itu dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dalam proses belajar-mengajar? Artinya
bukan metode yang kaku, tapi masih dapat diubah dalam satu kondisi atau situasi
tertentu kalau memang mengharuskan demikian.
Tidak jauh berbeda dengan Snyder, Kristianto, juga
mengatakan bahwa sebelum seorang pendidik menyampaikan materi
pengajarannya, terlebih dulu harus
memerhatikan hal-hal berikut: [32]
Pertama, sebelum menentukan metode yang akan dipakai, dia harus menyiapkan bahan pelajaran yang akan
disampaikan di kelas dengan baik. Kedua,
memilih metode yang sesuai. Faktor yang sangat
menentukan seorang pendidik memilih metode adalah usia peserta didik,
materi yang disajikan dan waktu penyelenggaraan. Ketiga, pendidik menggunakan
metode secara bervariasi, tidak monoton,
meskipun itu mungkin metode yang paling baik yang bisa digunakan. Keempat,
pendidik menggunakan metode yang cocok
dan dapat membuka komunikasi dengan peserta didik. Kelima, pendidik harus
mengatur tempat sebagai fasilitas yang akan digunakan dalam sebuah metode.
Terkait dengan soal pemilihan metode yang hendak dipakai oleh pendidik,
menurut Sahardjo, harus menyesuaikan dengan jenis belajar yang ada pada tujuan
pelajaran seperti pada saat menentukan strategi pengajaran. Ada beberapa
prosedur untuk memilih metode. 1) Dari setiap tujuan, apakah kita berurusan
dengan problem informasi, kinerja atau kombinasi antara keduanya? 2) Bagi
setiap tujuan, pertimbangkan golongan dasar pengetahuan (bersifat informasi
faktual, konsep atau prinsip atau kombinasi) atau kecakapan (reproduktif
sederhana maupun rumit) yang hendak diajarkan? 3) Berdasarkan kedua hal itu,
kemudian putuskan metode mana yang paling cocok, penemuan atau pemaparan. 4)
Pertimbangkan pembatasan praktis yang tak mungkin disingkirkan, baik faktor
sumberdaya, target populasi maupun sistem yang lebih luas. 5) Selanjutnya
pilihlah beberapa metode yang patut digunakan.[33] Dengan
mengutip pendapat Romiszowski, lebih lanjut Sahardjo mengatakan bahwa pemilihan
metode sesuai dengan jenis belajar adalah: a) Belajar dan mengajar fakta, b)
Belajar dan mengajar prosedur, c)
Belajar dan mengajar konsep, d) Belajar dan mengajar prinsip, dan e) Belajar
dan mengajar kecakapan.[34]
Sasaran akhir dari
penggunaan metode menurut Iris V. Cully adalah untuk membantu para murid agar
dapat memenuhi kehendak Allah dan rencana-Nya dalam relasinya terhadap pribadi
dan sesama manusia, serta dapat menyaksikan
imannya dalam berbagai cara.[35]
Jadi seorang pendidik atau pendidik tidak
boleh menggunakan metode secara serampangan, melainkan harus
dipersiapkan secara matang dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
pembelajaran, baik yang berhubungan dengan materi maupun objek belajar.
Peningkatan
Profesi Melalui Training
Banyak
pendidik sekolah teologi atau seminari yang merasa sudah cukup dengan bekal dan
ilmu yang dimiliki. Anggapan bahwa peningkatan pengetahuan dan keterampilan itu
cukup didasari oleh bekal ilmu yang sudah dipelajari sebelumnya serta
pengalaman ditambah dengan membaca-baca buku itu sudah cukup. Padahal untuk
pendidik atau pendidik sekolah-sekolah atau perpendidikan tinggi non teologi
(sekular), kemampuan mengajar mereka selalu ditingkatkan melalui berbagai
penataran, mulai dari bagaimana cara membuat model satuan pelajaran atau
kontrak perkuliahan, cara membuat kisi-kisi, pengenalan dan aplikasi
metode-metode pembelajaran sampai dengan
penataran soal pengelolaan kelas, pengelolaan sekolah, administrasi/
manajemen pendidikan, profesi kependidikan dan lain-lain. Bahkan sekarang
dengan adanya sistem atau program sertifikasi, para pendidik atau pendidik
sekolah-seolah non teologi telah dilengkapi dengan hal-hal yang terkait dengan
masalah tersebut. Paling-paling yang
diikuti oleh para pendidik sekolah teologi adalah program PEKERTI dan Applied
Approach (AA) guna mendapatkan sertikat mengajar di perpendidikan tinggi.
Padahal menurut Tim Siemens dkk,[36]
training atau penataran untuk para pemimpin dan pendidik (pendidik-dan
pendidik) Kristen itu amat penting guna
meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajarnya, bukan terbatas hanya pada
soal penguasaan bahan/materi pengajaran, melainkan juga dalam pemakaian metode
yang tepat.
Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh dua orang profesor dari Denver Seminary, Brown
dan Williams, sebagaimana dikutip oleh
Tim Siemens dkk., mengatakan bahwa ada paling tidak ada sepuluh tugas penting yang berkaitan dengan pelayanan
pendidikan dengan urut-urutan sebagai berikut:
% Tugas
97 Mendemonstrasikan dan mampu
untuk menjangkau murid/orang
95 Melatih para pendidik
94 Merekrut pendidik
94 Mendemonstrasikan dan mampu bekerja sama
dengan para pendidik dan pekerja
lainnya
93 Mendemonstrasikan kemampuan seni mendengar
93 Merencanakan dan memimpin training para
pendidik
92 Membimbing para pendidik lepas/honorer
91 Memimpin kelompok
89 Menggunakan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip belajar
87 Meningkatkan training untuk para pendidik[37]
Dari sini nampak
jelas bahwa dari sepuluh tugas, ada tiga hal yang berkaitan langsung dengan
soal training, yaitu pada nomor dua (melatih para pendidik), nomor enam
(merencanakan dan memimpin training para pendidik) dan nomor sepuluh (meningkatkan training untuk
para pendidik). Dengan kata lain, peningkatan kemampuan mengajar bagi para
pendidik atau pendidik itu menempati posisi yang sangat penting, bahkan menjadi
suatu keharusan. Seorang pendidik atau pendidik yang tidak mau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mengajarnya, maka ia akan ketinggalan dan tidak
bisa maju. Dengan berbagai training yang diadakkan dan diikuti oleh para
pendidik atau pendidik, maka mereka pasti berkembang dan maju.
Menguasai dan
Menerapkan Metode-metode Pengajaran Yesus
Pengetahuan
tanpa penguasaan dan penerapan tidak ada
artinya. Oleh karena itu seorang pendidik harus
memiliki dan menerapkan ketiga-tiganya, yaitu mengetahui, menguasai
serta menerapkan metode peragaan, metode
drama, metode cerita, metode ceramah, metode bertanya dan metode diskusi dalam
pengajarannya. Dalam penerapannya,
pendidik atau pendidik perlu menerapkan pengajaran
yang demokratis, seperti dikemukakan
oleh Leon Marsh yang mengatakan bahwa apabila murid diajar dengan
gaya atau iklim yang demokratis, maka gambaran diri (self image) nya pasti juga akan dapat
berkembang dengan lebih baik.[38] Bagaimana pun harus diakui,
bahwa seorang pendidik yang baik dan penuh perhatian
akan disenangi oleh para peserta didiknya. Seorang pendidik adalah juga sebagai agen kasih Allah bagi para peserta didiknya.
Adapun
ciri-ciri pengajaran yang demokratis itu
menurut Marsh[39] adalah sebagai berikut: pertama,
pendidik menggalakkan partisipasi
peserta didik dalam interaksi di kelas;
kedua, pendidik
mendelegasikan tanggung jawab kelas kepada peserta didik; ketiga, pendidik tidak menerapkan
prosedur yang kaku; keempat, pendidik
mampu menciptakan interaksi dalam kelas antara pendidik dan peserta didik
dengan sangat baik; kelima, peran pendidik dalam kelas ditentukan oleh kebutuhan dalam kelas, dan bukan semata-mata yang telah
digariskan oleh pendidik sendiri; keenam, pendidik yang demokratis akan mengelola kelasnya
dengan fleksibel, tidak kaku dalam
menggunakan pendekatan langsung maupun tidak langsung dalam proses pembelajaran terhadap peserta
didiknya.
Dari sini
nampak bahwa tujuan pemakaian metode dalam pengajaran itu adalah supaya baik
peserta didik maupun pendidik merasa senang dan nyaman dalam mengajar maupun
belajar yang tercipta dalam suasana belajar yang kondusif untuk hasil yang
optimal.
Menguasai
Hukum Mengajar
Dalam karya klasiknya, The Seven Laws of Teaching (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Penerbit Gandum Mas, Malang dengan Judul “Tujuh Hukum Mengajar”,
pen.), John Milton Gregory[40]
menuliskan ketujuh hukum tersebut yang secara ringkas dapat dituliskan sebagai
berikut:
1. Hukum pendidik (istilah ini tetap dipertahankan seperti aslinya, pen.)
bunyinya demikian, “Seorang pendidik
harus memahami bahan yang akan diajarkan.” Kalimat ini memiliki
falsafah yang sangat mendalam, yaitu bahwa pendidik seharusnya memahami
terlebih dahulu apa yang akan diajarkan, dan tidak mengajarkan apa yang belum diketahui atau yang belum dipahaminya.
2. Hukum murid, “Seorang murid adalah orang yang memiliki minat penuh untuk
memerhatikan pelajaran yang
diberikan oleh pendidik”.
3. Hukum bahasa. “Bahasa pengantar yang dipakai antara pendidik dan murid
harus dimengerti oleh kedua belah
pihak.” Jadi bahasa yang dipakai antara pendidik dengan murid harus bahasa
merupakan bahasa komunikasi yang sederhana dan mudah dimengerti.
4. Hukum pelajaran. “Bahan pelajaran yang akan diberikan harus dapat diterangkan dengan menunjukkan segi-segi
kebenaran yang sudah diketahui oleh murid; apa yang belum diketahui harus
dijelaskan melalui apa yang sudah
diketahuinya.” Dengan kata lain, bahan yang diberikan harus apa yang
diketahui oleh murid. Jadi pendidik tidak akan mengajar sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan murid.
5. Hukum mengajar. “Mengajar berarti merangsang
dan memakai pikiran murid untuk
menangkap buah pikiran atau menguasai segi kesenian yang dikehendaki.” Merangsang berarti membangkitkan daya pikir
peserta didik untuk mengerti dan memahami mengenai apa yang diajarkan. Jadi ini
merupakan tugas pendidik.
6. Hukum belajar. “Belajar berarti berpikir
sampai mengerti sendiri dan
menerima suatu gagasan atau segi kebenaran yang
baru; atau membiasakan diri melakukan
suatu bidang kesenian atau keterampilan baru.”
Ini merupakan tugas murid.
7. Hukum evaluasi atau mengulang. “Ujian
dan bukti mengenai keberhasilan pengajaran yang telah diberikan, proses
penyelesaian dan pengulangan, sifatnya adalah mengulangi, memikirkan kembali, memahami kembali dan menciptakan kembali kemudian menerapkan bahan yang telah diajarkan,
yaitu pengetahuan dan cita-cita serta
kesenian yang telah disampaikan.” [41]
Ketujuh hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dalam proses pembelajaran, sehingga peserta
didik pun akan lebih mudah termotivasi
oleh pendidik yang memiliki sifat dan
kemampuan seperti yang diharapkan oleh mereka.
Dalam dunia
pendidikan Kristen, termasuk pendidikan di gereja perlu mengadakan berbagai
penyesuaian dalam pelaksanaannya. Mereka
ini memiliki latar belakang kepercayaan yang berbeda (baik karena berpindah
agama, baru percaya, tingkat kepercayaan atau iman) dalam keluarga yang berbeda, dsb. Bahkan
dalam berbagai hal juga berbeda,
baik dari segi intelektual, gender, usia, kebudayaan dan tingkat sosial,
lingkungan. Karena itu ada kalanya—bagi gereja-gereja yang mampu—orang-orang
yang tinggal di daerah pinggiran atau daerah tertentu perlu diadakan
penjemputan dengan kendaraan gereja. Orang-orang seperti ini perlu mendapatkan
perhatian dan pelayanan yang disesuaikan dengan latar belakang mereka
tadi. Oleh karena itu dalam penetapan dan pengembangan kurikulum harus
selalu dipersiapkan untuk menghadapi segala perkembangan dan situasi yang baru
dan berbeda dalam jemaat. Hal yang sama juga terjadi dalam
pendidikan di sekolah, ketika seorang pendidik diperhadapkan dengan kondisi peserta didik dengan latar belakang yang beragam.
Setiap pendidik pasti akan memiliki motivasi yang kuat untuk
belajar apabila memiliki interes
terhadap hal tersebut. Interes atau minat, atau
ketertarikan terhadap sesuatu dengan sendirinya akan mendorong individu
untuk melakukan dengan baik, termasuk terhadap hal-hal yang bagi orang lain
barangkali dianggap sulit. Timbulnya ketertarikan atau interes ini tidak
terlepas dari peran seorang pendidik yang
memiliki perhatian penuh kepada para muridnya, di mana ia tidak hanya
memerintah atau meminta seorang murid melakukan sesuatu yang diharapkannya,
melainkan dirinya sendiri memberi contoh dan melakukannya. Peserta didik akan senang melakukan sesuatu
yang baru apabila pendidik juga mau melakukan apa yang
ingin dilakukan oleh peserta didik.
Pengalaman hidup,
khususnya kehidupan Kristen yang telah diselamatkan dan dilahirkan kembali
melalui kuasa Roh Kudus, merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan. Karena dari sini ia akan
terus berjalan menurut panggilan Tuhan
dalam setiap disiplin kehidupannya.
Disiplin berarti menjadi peserta didik dalam
sekolah Kristus. Artinya ia harus selalu belajar dan membelajarkan diri
sebagai seorang murid yang memuridkan orang lain. Dengan demikian maka
pengalaman hidupnya sebagai orang yang sudah lahir baru akan berpengaruh pula
terhadap proses pembelajarannya melalui
kuasa Roh Kudus. Dia akan mengajar dengan penuh kasih seperti Kristus telah
mengasihinya. Seorang pendidik harus
bisa menjadikan diri sebagai alat peraga hidup yang siap dipertontonkan kepada
peserta didik. Dirinya akan menjadi contoh, teladan, potret hidup yang menghidupkan. Peserta didik akan belajar dari kehidupan pendidik yang
seperti ini.
Pada saat kita telah
menerima panggilan Tuhan Yesus, sebenarnya kita telah menerima amanat untuk melayani,
termasuk mengajar. Panggilan pertama kepada para murid-Nya adalah “Mari,
ikutlah Aku!” (Matius 9:9) yang ditutup dengan satu perintah atau amanat, “Pergilah …, jadikanlah
…, baptislah …, dan ajarlah…!” (Matius 28:28). Ketika Tuhan
Yesus mengutus para murid-Nya, Ia
memakai analogi “Seperti Bapa telah mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus
engkau…” (Yohanes 17:18).[45] Dengan kata lain, seorang pendidik adalah seorang utusan bagi para
peserta didik.
Kemampuan Meningkatkan Motivasi
Cara kerja otak manusia
itu sangat unik. Semakin banyak stimulus yang diterimanya, akan semakin
memertajam memori seseorang. Merriam dan Caffarella mengatakan bahwa orang
dewasa juga dapat memertajam ingatan dan belajarnya melalui memory aids dalam kegiatan belajarnya.[46] Kegiatan di sini termasuk bagaimana caranya
individu itu belajar sendiri dan apa
yang diperolehnya melalui pembelajaran dengan berbagai metode yang digunakannya
itu. Individu dapat ditingkatkan motivasinya melalui pemberian valensi negatif
dan valensi positif. Yaitu stimulasi pemberian kondisi untuk tidak mengulangi
suatu tindakan berdasarkan pengalaman yang merugikan, atau terus mencoba
mengulangi suatu tindakan yang dirasakan selalu memberikan kenyamanan atau
menguntungkan. Oleh karena itu
menurut Gangel—yang mengutip pendapat Krathwohl,[47] yang memaparkan
pendapatnya berdasarkan taksonomi Bloom—mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang
harus dicapai dalam pendidikan Kristen
adalah: cognitive, affective dan conative
(bukan psikomotor sebagaimana diungkapkan oleh Bloom). Cognitive berkaitan dengan
apa yang seharusnya diketahui oleh peserta didik, affective berhubungan dengan apa yang dirasakan, sementara conative berhubungan dengan apa yang
semestinya hendak dilakukan. Apakah
hubungan antara tiga domain belajar dengan tingkah laku individu? Berikut adalah gambaran contoh konkret yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
Dari
diagram ini nampak, bahwa individu
(dalam hal ini murid) akan dapat
mengalami perubahan dalam sikap, tingkah
laku dan kebiasaan hidupnya sehari-hari apabila dia telah mengerti, memahami makna atau nilai guna dari suatu kebenaran dan bisa
mengaplikasikannya dalam kehidupannya
sehari-hari melalui apa yang dilihat, dipelajari serta melalui contoh dan
teladan orang-orang maupun lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya Leon Marsh melontarkan pertanyaan,
mengapa seorang pendidik harus memberikan perhatian yang memadai terhadap para
murid atau peserta didik? Jawabannya adalah karena mereka itu memiliki nilai
yang sangat penting dan berharga, sebagaimana dirangkum oleh Leon Marsh berikut ini:[48]
1. Allah perduli untuk setiap hidup yang terpisah (God cares for each separate life).[ Matius 10:30-31].
2. Peserta didik itu lebih penting daripada semua
lembaga/ institusi (The learner is more
important than all institution). [Matius 12:12; Markus 2:27].
3. Peserta didik itu lebih berharga dibandingkan
dengan seluruh ciptaan lainnya.(The learner is more
important than the whole created order).[ Markus 8:36; Matius 6:25; Lukas 12:15.].
4. Penyitaan/perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh
peserta didik dari kehidupan yang sebenarnya itu menyesatkan dan merugikan (Forfeiture by a learner of his true life is
deplored). [Markus 8:37; 9:43; Matius 16:26; 18:8; Lukas 9:25].
5. Peserta didik yang paling remeh pun, tetap berharga bagi Allah (The most insignificant
learner is precious to God). [Matius 18:10; 18:12-24; Lukas 15:4-7].
6. Pribadi yang terburuk sekalipun, masih bernilai
di mata Allah. (The worst person
still has value in God’s sight) [Matius 11:19; Markus 2:15; Lukas 5:30-32; 15:3-10;
15:11-32].
Apa yang dikatakan oleh Leon Marsh benar sekali. Melalui keenam butir
pernyataannya itu dalam kaitannya dengan pendidikan ia menegaskan bahwa: pertama,
Allah peduli terhadap setiap bagian dari kehidupan peserta didik; kedua, peserta didik itu lebih penting
jika dibandingkan dengan institusi-institusi atau lembaga yang ada. Ketiga, peserta didik lebih penting jika
dibandingkan dengan seluruh ciptaan
lainnya. Keempat, adalah suatu
kerugian besar dan harus disesali
apabila peserta didik kehilangan arti kehidupan yang sebenarnya. Kelima, peserta didik yang dianggap
paling rendah atau remeh sekalipun sangat
mulia di hadapan Tuhan. Keenam,
peserta didik yang paling jelek
sekalipun, tetap sangat berharga dalam pandangan Allah.[49]
Gangel
menekankan bahwa analisis terakhir dari
Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:18-20 (ditambah dengan Kisah Para
Rasul 2:42) adalah amanat untuk mengajar. Bahkan untuk menegaskan betapa pentingnya
amanat itu, Gangel menggarisbawahi
peringatan Murch terhadap para pendidik untuk memilih antara “mengajar
atau binasa”[50]
Arti dari pernyataan itu sangat jelas, yaitu kalau para pendidik atau pemimpin
Kristen tidak mau mengajar, maka berarti membiarkan mereka akan binasa.
Sehingga ini bukan lagi suatu pilihan, tetapi keharusan. Menurut William,
orang-orang akan bisa beriman kepada Kristus hanya melalui pengajaran firman
Allah dan kuasa Roh Kudus.[51] Dengan demikian pendidikan Kristen baru bisa
dikatakan Kristen jika para pendidik dan
peserta didik benar-benar bergantung
kepada pekerjaan Roh Kudus dalam lingkungan pembelajaran mereka. Adalah Kristen jika tujuan dan sasarannya
adalah untuk kemuliaan dan kehormatan
bagi nama Tuhan dan kerajaan-Nya. Adalah Kristen jika kurikulum itu
dikembangkan berdasarkan pengajaran
firman Allah serta pemahaman teologi alkitabiah. Itu adalah Kristen ketika
terdapat pemahaman yang menyeluruh dengan perspektif bahwa Allah yang memegang
kendali, dan bahwa para pendidik maupun peserta didik secara tulus mencari
kepenuhan keinginan kehendak Allah dan maksud-Nya terhadap segala perkara. [52]
Selanjutnya
Williams menjelaskan bahwa yang menjadi tujuan pendidikan Kristen
adalah membawa orang-orang untuk diselamatkan melalui iman kepada Tuhan Yesus
Kristus, melatih mereka dalam kehidupan pemuridan, serta melengkapi mereka
untuk pelayanan Kristen di dunia dewasa ini. Tujuan, sasaran, dan nilai-nilai
dari pendidikan Kristen itu bersumber dari dasar teologis alkitabiah.
[1] Robert w. Pazmiño, Foundational
Issues in Christian Education (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2004),
45 ff.
[2] Robert H. Stein, The Method and
Message of Jesus Teachings, (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox
Press, 1994), 1 dyb.
[3] Dalam hal ini Alkitab terjemahan New
Revised Standard Version dan Alkitab Terjemahan BIS lebih tepat jika
dibandingkan dengan Alkitab terjemahan New
International Vesion (NIV) maupun Alkitab Terjemahan Baru (TB-LAI).
[4] Herbert J. Klausmeier, Learning
and Human Abilities (New York and London: Harper & Row, Publishers,
1966), 164.
[6] Cornelius Jaarsma, Human
Development, Learning and Teaching (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans
Publishing Company, 1961), 243-245.
[7] Ibid, 245.
[8] Lois E. LeBar, Education that Is
Christian (terj.) (Malang: Gandum
Mas, 2006), 77.
[9] Ibid. 79.
[10] Clarence H. Benson, Sunday School
Succes (Wheaton, Illinois: Evangelical Teacher Training Education, 1976),
68.
[11] LeBar, 84.
[12] Ibid.
[13] LeBar, 89.
[14] Ibid.
[15] LeBar, 96.
[16] Ibid., 117.
[17] Robert Joseph Choun, Jr. “Choosing and Using Creative Methods” dalam The Christian Educator’s Handbook on
Teaching (3rd Edition). Eds. Kenneth O. Gangel & Howard G.
Hendricks (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2003), 166.
[18] Ibid, 166-168.
[19] Leon Marsh, Educational
Psychology for Christian Education (Fort Worth, Texas: Southwestern Baptist
Theological Seminary, 1982), 260-261.
[20] Almarhum John Milton Gregory adalah Dekan Pertama pada Universitas
Illinois, yang menulis buku The Seven
Laws of Teaching yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada
tahun 1884.
[21] John Milton Gregory, Tujuh Hukum
Mengajar (terj.) (Malang: Gandum Mas, t.t.), 103.
[22] Marsh, 261-264.
[24] Stein, 7 ff.
[25] C.B. Eavey, Principles of
Teaching for Christian Teachers (Grand Rapids, Michigan: Zondervan
Publishing House, 1966), 234.
[26] Ibid., 234.
[27] Daniel Lenox Barlow, Educational
Psychology: The Teaching Learning Process (Chicago: Moody Press, 1985), pp.
220-221. Bahan ini telah diringkas oleh Penulis.
[28] Michael S. Lawson & Robert J. Choun, Jr. Directing Christian Education: The Changing Role of The Christian
Education Specialist ( Chicago: Moody Press, 1992), 32.
[29] Price, 99.
[30] Irish V.Cully, Ways to Teach
Children (Phliladelphia: Fortrees Press, 1966), 8.
[31] Alton G. Snyder, Teaching Adults (Philadelphia:
The Judson Press, 1960), 34-35.
[32] Paulus Lilik Kristianto, Prinsip
& Praktik Pendidikan Agama Kristen (Jogyakarta: Penerbit Andi, 2006),
84.
[33] Hadi P. Sahardjo, Pendidikan Kristen: Prinsip Pendidikan yang
Mengakar Pada Iman Kristen dan Kebenaran Alkitab (Batu: Departemen
Literatur YPPII, 2007), 169.
[34] Ibid., 170.
[35] Iris V. Cully, Ways to Teach
Children (Philadelphia: Fortrees Press, 1966), 17-18.
[36] Tim Siemens, Roy Reiswig, Gordon West, “Training Christian Leaders and
Teachers: Principles and Practice” dalam Michael S. Lawson & Robert J.
Choun, Jr. Directing Christian Education (Moody
Press: Chicago, 1992), 139.
[37] Ibid., 139-140
[38] Marsh, 252.
[39] Ibid., 252.
[40] Gregory, 19 dyb.
[41] Ibid., 21.
[42] Marsh, 252-253.
[43] Ibid., 257-8
[44] Ibid., 258-9
[45] Yohanes 17:18.
[46] Sharan B. Merriam & Rosemary S. Caffarella, Learning in Adulthood: A Comprehensive Guide (San Fransisco:
Jossey-Bass Publishers, 1991), 166.
[47] Kenneth O. Gangel & Howard G. Hendricks, The ChristianE Educator’s Handbook on Teaching: A Comprehension
Resource on Distinctiveness of True Christian Teaching (Grand Rapids,
Michigan: Baker Books, 2003),
152-153.
[48] Marsh, 1
[49] Marsh, 1.
[51] Dennis E. Williams, “Christian Education” dalam Michael J. Anthony
(Ed.). Evangelical Dictionary of
Christian Education (Grand Rapids,
Michigan: Baker Academic, 2001), 132.
[52] Ibid., 133.
No comments:
Post a Comment